IA memang tidak sampai selesai mempelajari ilmu penataan
artistik (art directing). Tapi jelas bukan itu soal yang jadi
sumber kekecewaannya sehingga ia terpaksa hijrah dari bidangnya.
"Di sini penata artistik hampir tidak ada artinya, cuma
embel-embel"? kata Ami, 37 tahun 7 pekan silam. Sejumlah film ia
kerjakan sebagai penata artistik tapi di sana ia tidak merasa
berbuat apa-apa. "Produser kita belum menyadari hal itu, hingga
banyak kali film dibikin tanpa seorang penata artistik". Meski
mendapat porsi yang teramat kecil dengan bayaran yang amat
murah, Ami toh bekerja keras. Dan Festival Film Indonesia di
Surabaya sepakat untuk memilih pemuda kelahiran Jakarta ini
sebagai penata seni terbaik untuk festival itu lewat film
A.M.B.I.S.I.
Di dunia film Indonesia seorang yang telah mendapat hadiah
festival biasanya mendapat banyak kesempatan kerja, tapi Ami
ternyata dihindari oleh nasib baik demikian. "Saya pikir-pikir,
kalau begini terus, tidak bakalan saya bisa kerja kreatif",
keluh Ami yang kemudian juga sering mengisi kosongnya sebagai
pemain film. Ia ingin jadi sutradara saja. Ini memang bukan
keinginan berlebihan, sebab di Indonesia, mereka yang tak
ketentuan pendidikan dan pengalamannya saja tiba-tiba bisa jadi
sutradara. "Selama jadi penata artistik, saya juga memperhatikan
teman-teman bikin film. Saya belajar dari Asrul Sani, Sjuman
Djaja, Wim Umboh, Niko dan Abbas Akup", begitu Ami menjelaskan.
Dan Ami Priyono bekas mahasiswa Sekolah Film Moskow memang jadi
sutradara.
Filmnya yang pertama, Dewi, tidak beredar di Jakarta. Ini
lantaran ribut antara produser dan pemilik modal. Film Karmila
yang kini sedang menyedot sejumlah besar penonton, juga nyaris
tidak bisa ditonton. Meliwati proses rumit, menghabiskan waktu
yang cukup panjang, film itu akhirnya beredar juga. Dan produser
Yudi Astono Cahaya langsung membikin kontrak dengan Ami. Kini
Ami sibuk menyiapkan film Kenangan Desember untuk PT Baskara
Film. Sementara itu beberapa produser lainnya dikabarkan sedang
menanti kesempatan berikutnya untuk mencoba tenaga sutradara
baru ini.
T: Tawaran yang banyak itu apakah anda akan terima semua?
J: Saya menghadapi tawaran itu dengan sebuah prinsip. Saya hanya
akan bisa bikin 3 film dalam 2 tahun. Dengan begitu saya akan
cukup waktu mengisi diri supaya tidak kering, tidak kehabisan
kreatifitas.
T: Adakah prinsip lain yang anda pegang dalam menghadapi para
produser?
J: Bagi saya honorarium adalah soal ke dua. Untuk bekerja, saya
perlu kondisi obyektif. Saya perlu cerita yang baik, pembiayaan
yang luwes, karyawan yang baik dan laboratorium harus Tokyo.
Film-film yang menghasilkan uang banyak semua dibuat dengan
prinsip ini, coba anda perhatikan.
T: Setelah mendapat kesempatan jadi sutradara, apakah ambisi
anda selanjutnya?
J: Sederhana. Ingin berkomunikasi dengan penonton. Sebagian
besar film kita kurang berkomunikasi dengan penontonnya. Ini
saya kira disebabkan lantaran kebanyakan sutradara kita kurang
memperhatikan keinginan penontonnya. Saya tidak akan bikin film
macam-macaum. saya cuma ingin film ini bukan dengan "h besar.
Kalau nanti saya cukup punya uang lebih, saya akan coba bikin
film-film ekspresi diri dengan biaya dari saku saya sendiri.
Sembari bersiap-siap memulai pembuatan film Kenangan Desember.
Ami juga masih harus merampungkan pembicaraan dengan PT Madu
Segara, produser film Karmila yang berhasil menarik banyak
penonton itu.
T: Apakah lanjutan Karmila itu dibikin lantaran film Karmila
sekarang ini membawa untung besar?
J: (jawaban dari pihak Madu Segara) Untung besar terang tidak,
sebab uang yang tertanam juga besar (93 juta) dan uang itu lama
terkatung-katung lantaran ribut yang sampai ke pengadilan dulu
itu. Pembuatan seri berikut dilakukan lantaran permintaan banyak
orang dan kalangan perbioskopan. Investasi kita nanti tidak akan
sebesar dulu, sebab biasanya film serial macam itu akan kurang
menghasilkan uang.
J: (jawaban Ami): Bagi saya film Karmila yang sudah beredar itu
barulah buka layar. Konflik-konflik hidup berkeluarga justru
akan ditemukan pada seri lanjutannya nanti.
Para peminat film nasional sebentar lagi akan menyaksikan karya
terbaru Ami Priyono, Kampus Biru, yang diangkat dari novel
Ashadi Siregar.
T: Kabarrya penggarapan Kampus Biru tidak serapi Karmila.
J: Hal itu mungkin disebabkan oleh waktu kerja yang sempit.
Pemotretan Karmila menghabiskan waktu 45 hari, sedang Kampus
Biru cuma 28 hari. Bahan baku yang dipakai oleh Karmila juga
lebih baik, juga studio. Dan Kampus Biru dibuat ketika Karmila
masih dalam sengketa, dan suasana itu ada membawa pengaruh
kurang baik pada diri saya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini