Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Karmila dan hiburan dengan "b"...

Wawancara tempo dengan ami priyono, tentang prinsip-prinsip menghadapi tawaran-tawaran produser, pembuatan film dan krea- tivitas. ami dipilih sebagai penata film terbaik lewat film "ambisi". (fl)

30 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA memang tidak sampai selesai mempelajari ilmu penataan artistik (art directing). Tapi jelas bukan itu soal yang jadi sumber kekecewaannya sehingga ia terpaksa hijrah dari bidangnya. "Di sini penata artistik hampir tidak ada artinya, cuma embel-embel"? kata Ami, 37 tahun 7 pekan silam. Sejumlah film ia kerjakan sebagai penata artistik tapi di sana ia tidak merasa berbuat apa-apa. "Produser kita belum menyadari hal itu, hingga banyak kali film dibikin tanpa seorang penata artistik". Meski mendapat porsi yang teramat kecil dengan bayaran yang amat murah, Ami toh bekerja keras. Dan Festival Film Indonesia di Surabaya sepakat untuk memilih pemuda kelahiran Jakarta ini sebagai penata seni terbaik untuk festival itu lewat film A.M.B.I.S.I. Di dunia film Indonesia seorang yang telah mendapat hadiah festival biasanya mendapat banyak kesempatan kerja, tapi Ami ternyata dihindari oleh nasib baik demikian. "Saya pikir-pikir, kalau begini terus, tidak bakalan saya bisa kerja kreatif", keluh Ami yang kemudian juga sering mengisi kosongnya sebagai pemain film. Ia ingin jadi sutradara saja. Ini memang bukan keinginan berlebihan, sebab di Indonesia, mereka yang tak ketentuan pendidikan dan pengalamannya saja tiba-tiba bisa jadi sutradara. "Selama jadi penata artistik, saya juga memperhatikan teman-teman bikin film. Saya belajar dari Asrul Sani, Sjuman Djaja, Wim Umboh, Niko dan Abbas Akup", begitu Ami menjelaskan. Dan Ami Priyono bekas mahasiswa Sekolah Film Moskow memang jadi sutradara. Filmnya yang pertama, Dewi, tidak beredar di Jakarta. Ini lantaran ribut antara produser dan pemilik modal. Film Karmila yang kini sedang menyedot sejumlah besar penonton, juga nyaris tidak bisa ditonton. Meliwati proses rumit, menghabiskan waktu yang cukup panjang, film itu akhirnya beredar juga. Dan produser Yudi Astono Cahaya langsung membikin kontrak dengan Ami. Kini Ami sibuk menyiapkan film Kenangan Desember untuk PT Baskara Film. Sementara itu beberapa produser lainnya dikabarkan sedang menanti kesempatan berikutnya untuk mencoba tenaga sutradara baru ini. T: Tawaran yang banyak itu apakah anda akan terima semua? J: Saya menghadapi tawaran itu dengan sebuah prinsip. Saya hanya akan bisa bikin 3 film dalam 2 tahun. Dengan begitu saya akan cukup waktu mengisi diri supaya tidak kering, tidak kehabisan kreatifitas. T: Adakah prinsip lain yang anda pegang dalam menghadapi para produser? J: Bagi saya honorarium adalah soal ke dua. Untuk bekerja, saya perlu kondisi obyektif. Saya perlu cerita yang baik, pembiayaan yang luwes, karyawan yang baik dan laboratorium harus Tokyo. Film-film yang menghasilkan uang banyak semua dibuat dengan prinsip ini, coba anda perhatikan. T: Setelah mendapat kesempatan jadi sutradara, apakah ambisi anda selanjutnya? J: Sederhana. Ingin berkomunikasi dengan penonton. Sebagian besar film kita kurang berkomunikasi dengan penontonnya. Ini saya kira disebabkan lantaran kebanyakan sutradara kita kurang memperhatikan keinginan penontonnya. Saya tidak akan bikin film macam-macaum. saya cuma ingin film ini bukan dengan "h besar. Kalau nanti saya cukup punya uang lebih, saya akan coba bikin film-film ekspresi diri dengan biaya dari saku saya sendiri. Sembari bersiap-siap memulai pembuatan film Kenangan Desember. Ami juga masih harus merampungkan pembicaraan dengan PT Madu Segara, produser film Karmila yang berhasil menarik banyak penonton itu. T: Apakah lanjutan Karmila itu dibikin lantaran film Karmila sekarang ini membawa untung besar? J: (jawaban dari pihak Madu Segara) Untung besar terang tidak, sebab uang yang tertanam juga besar (93 juta) dan uang itu lama terkatung-katung lantaran ribut yang sampai ke pengadilan dulu itu. Pembuatan seri berikut dilakukan lantaran permintaan banyak orang dan kalangan perbioskopan. Investasi kita nanti tidak akan sebesar dulu, sebab biasanya film serial macam itu akan kurang menghasilkan uang. J: (jawaban Ami): Bagi saya film Karmila yang sudah beredar itu barulah buka layar. Konflik-konflik hidup berkeluarga justru akan ditemukan pada seri lanjutannya nanti. Para peminat film nasional sebentar lagi akan menyaksikan karya terbaru Ami Priyono, Kampus Biru, yang diangkat dari novel Ashadi Siregar. T: Kabarrya penggarapan Kampus Biru tidak serapi Karmila. J: Hal itu mungkin disebabkan oleh waktu kerja yang sempit. Pemotretan Karmila menghabiskan waktu 45 hari, sedang Kampus Biru cuma 28 hari. Bahan baku yang dipakai oleh Karmila juga lebih baik, juga studio. Dan Kampus Biru dibuat ketika Karmila masih dalam sengketa, dan suasana itu ada membawa pengaruh kurang baik pada diri saya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus