Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Menanti Matahari di Balik Seminung Danau Ranau

Danau Ranau di perbatasan Sumatera Selatan dan Lampung merupakan salah satu destinasi petualangan yang mengasyikkan. Lengkap dengan pantai berpasir.

27 Juli 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Danau Ranau di perbatasan Kabupaten Lam pung Barat, Provinsi Lampung, dan Kabupaten OKU Selatan, Provinsi Su matera Selatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Parliza Hendrawan
Wartawan Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERJALANAN kali ini cukup melelahkan karena harus ditempuh dalam waktu sekitar delapan jam. Kami menempuh perjalanan sekitar 343 kilometer dari Palembang ke Danau Ranau dengan kendaraan pribadi. Mobil tidak bisa dipacu cepat, rata-rata 70-80 kilometer per jam, bahkan terkadang di bawah 50 km karena masih banyak jalan berlubang dan belum beraspal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selepas magrib, dalam perjalanan pada hari kedua Idul Fitri itu, kami berhenti di Simpang Sender, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan. Selain mengisi bensin, kami membeli nasi bungkus dan camilan untuk santap malam di pinggiran Danau Ranau yang sudah di depan mata. Sekitar 20 menit kemudian, perjalanan berakhir di Hotel Serasan Seandanan, yang berada persis di pinggir danau.

Hari semakin gelap. Tamu hotel belum ramai. Udara dingin berembus. Dingin membekap. Kami akan berada tiga hari untuk menikmati danau terbesar di Sumatera bagian selatan dan terbesar kedua di Sumatera setelah Danau Toba ini. Danau tersebut berada di perbatasan Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung, dan Kabupaten OKU Selatan, Provinsi Sumatera Selatan.

Namun rasa penasaran terhadap danau itu tidak bisa dibendung. Setelah santap malam dan mandi, malam itu juga, anak-anak mulai ngajakin turun ke pinggiran danau. Namun rencana tersebut ditunda karena gerimis serta lampu penerangan di sekeliling danau agak kurang.

Kami memilih selonjoran di penginapan. Meskipun tanpa penyejuk ruangan, istirahat malam itu cukup sebagai bekal untuk berpetualang esoknya. Mengejar matahari terbit serta menikmati gelombang tipis di tengah danau berair tawar itu merupakan dua agenda yang telah dituliskan di buku saku.

Selain itu, salah seorang anggota keluarga yang tinggal di sana menawarkan obyek yang lebih menarik, dan kata dia, belum banyak dikenal orang. Destinasi yang dimaksud adalah wahana permainan air, Pantai Bidadari, Pantai Pelangi, Pulau Pisang, dan tempat pemandian air panas di Pulau Marissa, yang berada persis di pinggir danau.

Bertualang ke Pemandian Air Panas

Pagi buta pada hari kedua di sana atau tepatnya hari ketiga Lebaran, udara masih begitu dingin ketika kami memutuskan ke luar penginapan menuju pinggiran danau. Kami berjalan kaki sekitar 200 meter dan tiba persis di jembatan yang menjorok ke tengah danau, yang dikenal sebagai salah satu spot incaran untuk ber-selfie.

Di sana, kami sempat menantikan munculnya pancaran sinar matahari dari balik Gunung Seminung dan lapisan putih kehitam-hitaman awan yang berkabut. Namun, hingga melewati pukul 7 pagi, momen tersebut tidak juga datang karena matahari tertutup kabut. Bahkan indahnya Gunung Seminung pun hampir tidak tampak sama sekali.

Tidak ingin kecewa, anak-anak mengajak mendekati lereng gunung dengan cara menyeberangi danau menggunakan perahu kayu milik nelayan dan warga di dermaga di depan Pasar Banding Agung, di tepi danau. Setelah bersepakat harga sewa Rp 500 ribu pulang-pergi, kami serombongan berjumlah sekitar 20 orang pun memulai petualangan.

Sebelum berangkat, pemilik perahu mengingatkan kami untuk membawa bekal makanan dan minuman agar tidak kelaparan di perjalanan. Saat itu, jarum arloji menunjukkan pukul 07.30. Perahu berangkat menuju destinasi awal, yaitu pemandian air panas.

Di perjalanan, dari atas perahu, mata dimanjakan dengan keindahan alam yang mengelilingi danau, seperti kebun, perkampungan, dan gunung. Semakin siang, kabut semakin menipis dan membuat mata semakin leluasa menikmati hutan yang menghijau di lereng gunung. Dari kejauhan, tampak pula petani sayur dan buah-buahan sedang menggarap lahan. Sesekali, kami berpapasan dengan pencari ikan. Ada yang menjaring, memancing, dan menjala ikan.

Sekitar 45 menit kemudian, perahu tiba di dermaga kecil di Pulau Marissa. Di sebelahnya, terdapat air panas alami dari lereng Gunung Seminung. Tiket masuknya Rp 15 ribu per orang. Di sana, pengunjung dapat menikmati air panas dan hawa dingin sekaligus dengan berenang ke sana-kemari.

Memang, antara lokasi pemandian air panas dan danau hanya dipisahkan tembok dan beronjong kawat. Dengan demikian, setiap pengunjung dapat memilih salah satu di antaranya atau menikmati keduanya sekaligus, seperti yang kami lakukan. Mandi air panas yang mengandung belerang itu hitung-hitung sebagai terapi sakit kulit.

Seusai mandi, perut mulai terasa lapar. Tak sulit mencari makan di sana. Aneka makanan tersedia di sekitar dermaga, seperti nasi pindang, nasi ayam, gado-gado, serta beragam jenis minuman dingin dan hangat. Harganya tidak bakalan menjebol kantong. Dengan Rp 20 ribu, makan siang dapat dinikmati dengan sukacita. Adapun untuk urusan buah tangan, di sana kita juga bisa berbelanja kaus dan kemeja wisata serta buah alpukat.

Menjelang sore, perjalanan kami teruskan menelusuri beberapa spot menarik lainnya. Pengemudi perahu menuntun kami untuk mampir sejenak ke pulau yang dari kejauhan tampak seperti seekor kura-kura. Jaraknya tidak lebih dari 10 menit dari kolam air panas tadi.

Di tengah pulau itu konon terdapat banyak kucing yang hidup liar. Di pulau ini, pengunjung juga dapat menikmati ikan bakar air tawar, seperti nila dan kepiat. Untuk memanjakan lidah, penjualnya menyiapkan aneka jenis sambal, lalapan hijau, disertai nasi putih beraroma sedap. Namun, karena masih kenyang, kami tidak sempat menikmati kuliner itu.

Tak terasa perjalanan pulang ke dermaga di depan Pasar Banding Agung telah tiba. Sebagaimana lazimnya, pengunjung diminta pulang lebih awal sebelum matahari tenggelam. Kata penduduk, semakin sore, ombak akan semakin tinggi menghantam badan perahu. Apalagi perahu yang kami tumpangi dan sepertinya hampir semua alat transportasi sejenis tersebut tidak dilengkapi pelampung ataupun alat komunikasi radio.

Pantai Berpasir di Tepian Ranau

Selama ini, saya selalu berprasangka bahwa pantai berpasir hanya ada di tepian laut lepas. Di pinggiran Danau Ranau dan lereng Gunung Seminung di Banding Agung, ternyata juga terdapat pantai berpasir. Lokasinya sekitar 10 menit perjalanan dari tempat kami menginap di tengah Kota Banding Agung.

Untuk menuju lokasi, kendaraan roda empat harus diparkir di tanah lapang yang cukup luas, persis di depan dua rumah makan terapung. Jalan akses ke lokasi hanya bisa dilalui oleh pejalan kaki dan sepeda motor.

Warga sekitar menyebutnya sebagai Pantai Bidadari. Di sinilah lokasi pilihan kami pada hari ketiga. Meskipun panjang pantai tidak lebih dari 500 meter, pengunjung dapat menikmati Bidadari yang dihiasi pasir gunung kuning kecokelatan itu dengan penuh keceriaan.

Asyiknya lagi, sebagian Pantai Bidadari diteduhi pohon kelapa dan rumpun bambu. Bahkan kami bisa menikmati hijaunya tanaman padi milik warga. Pantai dan sawah serta kebun kopi di sana hanya dibatasi oleh pematang.

Setiba di lokasi, anak-anak langsung menumpahkan rasa penasarannya bermain di tepian danau dengan air yang jernih. Sebagian anggota rombongan dewasa menceburkan diri ke dalam danau sembari sesekali menonton anak-anak yang sedang bermain bola di lapangan berpasir agak kasar itu.

Sementara itu, pengunjung lainnya asyik berswafoto di atas pondok dan bangku pembaringan yang terbuat dari bambu. Tidak ada sama sekali rasa waswas takut akan hantaman ombak karena memang pagi itu air danau sedang tenang. Selain itu, sepertinya tempat pemandian tersebut bukan termasuk jalur perahu dan kapal nelayan, sehingga ombaknya hampir tidak tampak.

Tanpa terasa, hari semakin siang. Suara azan zuhur hampir berkumandang ketika kami harus meninggalkan lokasi untuk bertandang ke destinasi berikutnya. Rasa penasaran terus membuncah untuk menjelajah dan menikmati aneka hal lain di sana.


Angkutan hingga Buah Tangan

Danau Ranau tercatat sebagai danau terbesar kedua di Sumatera setelah Danau Toba. Danau ini terletak di perbatasan Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung, dan Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Provinsi Sumatera Selatan. Danau ini tercipta dari gempa besar dan letusan vulkanis dari gunung berapi yang membuat cekungan besar.

Secara geografis, topografi Danau Ranau adalah perbukitan yang berlembah. Hal itu praktis menjadikan danau tersebut memiliki cuaca yang sejuk. Danau ini terkenal menyimpan aneka ikan air tawar, seperti mujair, kepor, kepiat, dan harongan.

Perjalanan dari Palembang menuju Danau Ranau bisa ditempuh dengan dua rute. Pada perjalanan kali ini, kami menggunakan jalan lintas Komering, yakni Kota Palembang-Indralaya-Kayuagung-Simpang Talang Pangeran-Martapura-Muara Dua-Simpang Sender-Danau Ranau.

Namun, pada perjalanan sebelumnya, saya pernah menggunakan jalur Palembang-Indralaya-Prabumulih-Beringin-Baturaja-Martapura-Muara Dua-Simpang Sender-Danau Ranau. Perbedaannya terdapat pada jarak dan waktu tempuh. Bila pada rute pertama kita cukup menempuh waktu sekitar delapan jam, pada rute kedua diperlukan waktu 9-10 jam dengan kondisi jalanan normal.

Bila Anda dari Kota Bandar Lampung, akses ke sana juga cukup baik menggunakan jalur lintas dari Bukit Kemuning-Liwa-Krui-Danau Ranau. Perjalanan akan memakan waktu sekitar 6 jam 30 menit.

Selain menggunakan kendaraan pribadi, biasanya wisatawan dapat menggunakan jasa bus carter. Juga tersedia angkutan umum travel, yang melayani antar-jemput ke alamat sehingga lebih mudah. Di Palembang, angkutan travel dapat dijumpai di titik pemberangkatan di Jalan Kolonel Atmo atau di kawasan pangkal Jembatan Ampera bagian ulu.

Untuk sarana akomodasi, di sekitar danau cukup banyak hotel dan penginapan dengan tarif beragam, bergantung pada fasilitasnya, mulai Rp 100 ribuan. Kami sekeluarga menginap di sebuah penginapan tanpa AC dengan harga Rp 250 ribu per kamar. Penyejuk ruangan memang tidak terlalu penting di sana karena cuacanya sejuk.

Sebaiknya, sebelum ke sana, Anda membaca-baca dulu informasi hotel di Internet, baik soal harga maupun fasilitasnya. Lebih baik, Anda memesan hotel dulu sehingga begitu tiba bisa langsung masuk dan istirahat. Dengan demikian, Anda tidak harus berkeliling mendatangi satu per satu hotel-hotel itu.

Daerah itu dikenal sebagai salah satu daerah pertanian. Aneka hasil hutan bisa dijadikan buah tangan untuk keluarga di kota. Alpukat, gula merah, dan bubuk kopi merupakan oleh-oleh wajib. Tentu saja, sebagaimana lazimnya di lokasi wisata, kaus bergambar lokasi wisata juga mudah dijumpai di sana.

Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan terus berusaha menarik wisatawan untuk berkunjung ke sana. Salah satunya dengan mengadakan Festival Danau Ranau (FDR) yang pada tahun ini digelar pada 3-7 Juli lalu.

Festival tersebut menampilkan pergelaran seni dan budaya, seperti seni tutur Adi-adi, fashion show pakaian adat oleh anak-anak, parade budaya, ritual tetangguh, kicau burung, dan gowes Danau Ranau. "Mulai tahun depan, Festival Danau Ranau akan masuk dalam kalender nasional," kata Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sumatera Selatan, Aufa Syahrizal.

Selain Danau Ranau, di OKU Selatan, pelancong dapat menikmati keindahan alam lainnya, seperti Air Terjun Subik Tuha, arung jeram Sungai Selabung, candi, dan Gunung Seminung. PARLIZA HENDRAWAN

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus