Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Menelusuri Ngarai Terbaik Dunia di Buleleng

Buleleng menyimpan ngarai berhutan. Jurang sempit itu dialiri sungai dan air terjuan. Canyoning jadi satu-satunya cara untuk menjelajahi keindahannya.

15 Agustus 2019 | 22.09 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ngarai Buleleng tak seperti ngarai umumnya yang berdinding batu. Ngarai Buleleng menyediakan sungai dan hutan serta air terjun untuk diarungi. TEMPO/Wahyu Setiawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Buleleng - Ngarai Bulelang berlokasi di sisi utara kaldera raksasa Buyan-Beratan—yang selama ini lebih terkenal sebagai kompleks pariwisata Bedugul—wilayah selatan Kabupaten Buleleng yang berbukit-bukit menyimpan banyak wahana canyoning. Atlas mencetak dengan jelas ratusan sungai berjajar dari sana menuju pantai utara Pulau Bali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Michael Denissot, Co-Chairman International Canyoning Organization for Professionals, hakulyakin hampir semua sungai dan ngarai yang sebagian besar belum tereksplorasi itu tak kalah dibanding Tukad Banyu Mala. Menurut dia, kombinasi sungai, batuan padas, dan hutan di sepanjang lembah menjadikan Buleleng Selatan—dan Bali pada umumnya—sebagai lokasi canyoning (susur ngarai, goa, dan sungai) terbaik di dunia. "Kalian hanya akan menemukan tebing batu di Eropa," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satunya Tukad Yeh Kebus—dalam bahasa Bali berarti sungai air panas—yang ada Desa Gitgit, sekitar 13 kilometer ke arah selatan dari Kota Singaraja. Ngarai panjang yang membelah sisi timur dan barat desa ini menawarkan belasan air terjun, bahkan mungkin lebih jika air terjun mini juga dihitung.

Tiga hari sebelum terjun ke ngarai Aling-aling, Agoeng Wijaya dan Wahyu Setiawan mencobanya, juga dipandu Supii Liem dan Abraham Firmansyah. Berbeda dengan Banyu Mala, yang berisi tebing-tebing menjulang, Tukad Yeh Kebus menawarkan pemandangan hutan yang menjadi pagar jurang. Di sini lompatan tertinggi hanya sekitar enam meter.

Kejutan muncul ketika kami rappelling dari ketinggian 17 meter, tepat di sebelah Air Terjun Bertingkat, yang menjadi garis akhir petualangan. Firman yang berjaga di bawah menghentikan kami di ketinggian lima meter dari permukaan kolam. Bergantian dia menuntun kami menapaki batu padas di tepi tebing, mendekati lidah air terjun yang menderu. 

Bak tirai raksasa, derai air terjun itu ternyata menyembunyikan sebuah gua. Dari balik air terjun yang bergemuruh, kami melompat ke kolam. Kali ini tepat ke kaki air terjun. Sebuah akhir yang sekali lagi memompa adrenalin setelah dentuman air bertubi-tubi menghantam helm ketika saya berupaya kembali ke permukaan. 

Kolam berwarna hijau zamrud, yang terbentuk dari air terjun TEMPO/Wahyu Setiawan

Awal Mula Petualangan

Supii Liem menggenggam erat tali pengaman yang melilit pinggang saya. Beberapa sentimeter lagi ujung depan sepatu bot saya menyentuh bibir tebing. Tak ada lagi jalan di depan saya. Di bawah sana ada kolam raksasa yang bergejolak karena bertubi-tubi dihantam air terjun setinggi 14 meter, tepat di sebelah kanan saya. Di sekeliling kami hanya batu padas yang menjulang.

"Lompat, Mas. Jangan terlalu banyak berpikir," kata Supii. Ah... enak saja dia berbicara. Beberapa saat sebelumnya, kami memang sudah tiga kali melompat dari bibir air terjun. Tapi yang tertinggi hanya tujuh meter. Sedangkan kali ini saya harus melompat dari jarak setinggi empat lantai gedung bertingkat. Seketika kaki ini rasanya tak lagi bertulang. Telinga mulai meradang. Tarikan napas juga semakin berat ketika sesekali saya mencuri pandang ke bawah.

Nyali ini menciut, tapi malu jika mundur. Di depan saya tadi, Pham Luong An, turis wanita asal Vietnam yang ikut dalam rombongan kami, berani melompat lebih dulu. Dia bahkan langsung terjun tak sampai sedetik setelah Supii menyemangatinya. Sinting! 

Apalah daya, saya memang harus terjun. Kaki kanan pun mengayun ke depan, melangkah lebar, lalu menapak di udara. Tubuh saya menderas turun, terisap oleh gravitasi. "Woooh…," saya pun berteriak merasakan tekanan darah mengalir dari kaki ke kepala. Saya masih sempat membuka kedua lengan untuk menjaga keseimbangan ketika melayang di udara.

Byuuur….

Pemandangan yang sesaat tadi gelap berubah menjadi semburat gelembung-gelembung air. Untuk sesaat tubuh saya terisap beberapa meter ke dalam kolam. Tapi, jauh sebelum sampai ke dasarnya, tubuh kembali bergerak ke atas. Rasa girang membuncah ketika tubuh ini kembali ke permukaan air. Di atas, ratusan kelelawar berhamburan dari atap-atap ceruk seolah-olah ingin ikut merayakan keberhasilan saya. Mungkin juga mereka kesal karena kaget mendengar jeritan yang menggema. 

Fotografer Tempo, Wahyu Setiawan, lebih beruntung (atau justru merugi). Dengan alasan mengamankan kamera di dalam tas punggungnya, dia tidak terjun. Wahyu menuruni tebing dengan meluncur memakai tali. Kita biasa menyebutnya flying fox. "Yuhuuu," teriakan Wahyu kembali menggaduhkan jurang yang sunyi.

Itulah secuil adegan ketika awal bulan lalu saya, Wahyu, dan An melakukan canyoning di sepanjang Sungai Banyu Mala, Desa Sambangan, Kabupaten Buleleng, Bali. Karena kegiatan ini tergolong ekstrem, kami dipandu Supii dan Abraham Firmansyah. Keduanya instruktur bersertifikat profesional dari Adventure and Spirit, penyedia layanan wisata canyoning yang bermarkas di Desa Gitgit, sebelah tenggara Desa Sambangan.

Berlima kami mengarungi tukad—bahasa Bali yang berarti sungai—bak pasukan katak siap tempur. Badan kami terbungkus setelan berbahan neoprene, semacam karet elastis mirip pakaian selam. Tali pengaman (harness) lengkap dengan satu set cincin kait (carabiner) melilit di pinggang dan paha. Belum lagi helm pengaman, sarung tangan, sepatu bot, dan tas di punggung berisi ratusan meter tali kernmantle.

Semua itu diperlukan karena, selama canyoning, kami tak hanya melompat ke sungai dari atas tebing. Di dalam jurang itu, kami juga harus berenang, menggelincir di atas batuan, dan menuruni air terjun lewat tali (rappelling). 

Terdengar mengerikan? Percayalah, saya, yang tak pernah melakukan semua kegiatan tersebut, juga sempat ketar-ketir. Begitu pula Wahyu, yang tak begitu gape berenang. Itulah sebabnya perlu waktu dua hari bagi kami sebelum memutuskan terjun ke Tukad Banyu Mala.

Tapi pesan Michael Denissot, bos Adventure and Spirit yang juga Co-Chairman International Canyoning­ Organization for Professionals, tiga hari sebelumnya, membuat kami penasaran. "Kalian harus mencoba Aling. Di sanalah surganya," kata Mika—begitu Michael biasa dipanggil. Aling yang dimaksud ialah air terjun Aling-aling, yang bakal menjadi garis akhir canyoning di Banyu Mala. 

Tukad Banyu Mala persis seperti arti namanya. Banyu adalah air, sedangkan mala—warga melafalkannya male—berarti kotor. Ranting dan daun memang memenuhi tepian sungai, berayun-ayun terbawa air menabrak dinding bebatuan. Tapi, di dalam sana, kami memang menemukan surga.

Bukan surga berisi sungai dengan pohon di kiri dan kanannya seperti dalam gambaran kitab-kitab suci, melainkan ngarai dalam dan panjang bertepikan tebing yang menjulang.

Saking tingginya, langit di atas kami hanya tampak seperti garis putih selebar jengkal tangan. Dari sana, sinar matahari menerobos masuk di beberapa titik, membentuk siluet lembah, seolah-olah tak berdaya menjangkau kami di dasar tahang.

Beriringan kami berenang pelan, menapaki batuan, dan memberosot. Beberapa kali pula saya tak kuasa menahan diri untuk menenggelamkan tubuh, berjingkat-jingkat, mencipratkan air ke udara. Jurang dengan batuan padas yang menjulang pun berubah menjadi tempat persembunyian yang sempurna untuk bertingkah sedikit kekanak-kanakan.

Tentu saja Supii dan Firman terus mengawasi tingkah polah kami. Sepanjang perjalanan, mereka bergantian menginformasikan tantangan di depan. Beberapa kali rambu-rambu mereka sampaikan lewat isyarat tangan—karena deru air terjun terkadang memaksa kami berteriak jika ingin suara kami terdengar.

Ketika kami berhadapan dengan bibir air terjun, misalnya, Supii menunjukkan telapak tangan kanannya sebagai tanda stop. Tangan kirinya membuat garis virtual ke arah air sebagai tanda batas kami boleh mendekat. Baru jika tangannya melambai, kami boleh mendekat, memasang tali pengaman seperti yang dia ajarkan sebelum berangkat tadi.

Beberapa kali juga Firman menunjukkan tangan kanannya mengusap punggung telapak tangan kiri sebagai isyarat batuan licin. Kami harus berhati-hati. Mereka juga sering melekatkan kedua lengan ke arah dada, sebagai tanda kami harus sedikit menekuk kaki ketika nanti menyentuh permukaan air yang tak begitu dalam.

Seluruuut…. Byur…! Tukad Banyu Mala seolah-olah memang sengaja menyiapkan sirkuit alami siap pakai bagi kami untuk berperosotan.

Tak jauh dari situ, air terjun tak bernama setinggi 20 meter menyambut kami. "Rappelling lima belas meter, lalu lompat pada lima meter terakhir," kata Supii memberi arahan di bibir tebing. Firman sudah menunggu untuk membantu kami melompat di bawah.

Setiap kali harus rappelling, saya menghela napas dalam-dalam. Saya tak begitu percaya pada alat bantu khas para pendaki tebing, hingga menggenggam kernmantle terlalu kencang. Lengan pun pegal menahan berat badan yang memang sedikit berlebih. Turun pun menjadi lebih sulit.

Tapi tak mungkin saya menolak turun. Di bawah sana, ada kolam berukuran satu kali lapangan futsal menunggu kami. Airnya berwarna hijau zamrud yang teduh. Di sisi kanan, tampak air terjun mini dari Tukad Api berlomba mengisi telaga. Dua bongkah batu raksasa seukuran rumah tersangkut di antara dua tebing, 20 meter di atas kami.

Kami berlima terus melongok ke atas. Perasaan ngeri bakal tertimpa batu tersebut bercampur dengan pertanyaan bagaimana bisa benda sebesar itu nangkring di sana. Mungkin selama ini tebing sengaja mengapitnya erat-erat agar kita, manusia, bisa menikmati aliran sungai dan pemandangan di dalamnya. 

Setelah enam jam menelusuri tahang gelap, tibalah kami di mulut ngarai yang dari kejauhan tampak bak gua raksasa yang lebat oleh pepohonan. Di depan sana, sebuah kolam besar berukuran dua kali lapangan basket harus diseberangi. Tepat di baliknya, Aling-aling sudah menunggu.

Menuruni air terjun setinggi 41 meter itu, lengan saya semakin kelu. Tentu, kali ini saya tak harus melompat. Terlalu tinggi. Kami harus menuruninya dengan tali. Beberapa kali kaki terpeleset ketika menapaki dinding tebing sembari bersenggayut di tali. Tapi semuanya terbayar ketika kami tiba di dasar air terjun dan mengakhiri perjalanan. Kami berjingkatan, tertawa, dan saling tos. Saya dan Wahyu saling pandang, sambil menggelengkan kepala, hampir tak mempercayai keajaiban alam yang sesaat tadi kami lewati.

Selain rapeling di air terjuang, canyoning juga mengharuskan berosotan di derasnya air. TEMPO/Wahyu Setiawan

Desa Gitgit

Desa Gitgit, yang terkenal dengan obyek wisata air terjun Gitgit, terletak sekitar 65 kilometer sebelah utara Denpasar, Bali. Kira-kira 13 kilometer sebelah selatan ibu kota Kabupaten Buleleng, Singaraja. Adapun Sambangan, lokasi air terjun Aling-aling, tak jauh di sebelah barat laut Gitgit. AGOENG WIJAYA

Agoeng Wijaya

Agoeng Wijaya

Berkarier di Tempo sejak awal 2006, ia banyak mendalami isu ekonomi-politik, termasuk soal tata kelola sumber daya alam. Redaktur Pelaksana Desk Sains dan Lingkungan ini juga aktif dalam sejumlah kolaborasi investigasi global di sektor keuangan dan perpajakan. Alumnus Universitas Padjajaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus