Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Perjalanan

Mengenal Sunda Wiwitan di Kampung Adat Cireundeu Kota Cimahi

Sunda Wiwitan, yang dianut masyarakat Kampung Adat Cireundeu, Kota Cimahi, mengejarkan kasih sayang terhadap sesama dan alam.

19 April 2025 | 10.12 WIB

Papan ucapan "Wilujeng sumping di Kampung Cireundeu Rukun Warga 10" di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Kamis, 20 Maret 2025. Tempo/Nia Nur Fadillah.
Perbesar
Papan ucapan "Wilujeng sumping di Kampung Cireundeu Rukun Warga 10" di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Kamis, 20 Maret 2025. Tempo/Nia Nur Fadillah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Bandung - Sejauh 7,6 kilometer dari pusat Kota Cimahi, ada Kampung Adat Cireundeu yang masih menjaga budaya Sunda dan kepercayaan nenek moyang. Kampung ini diperkirakan sudah ada sejak abad ke-16 dan sekarang dihuni oleh masyarakat keturunan Tionghoa dan Sunda. Masyarakat di kampung ini memiliki keragaman agama dan kepercayaan. Dihuni oleh 367 kepala keluarga atau 1.200 jiwa, 50 kepala keluarga atau 800 orang di antaranya adalah masyarakat adat yang menganut kepercayaan Sunda Wiwitan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Sunda Wiwitan berasal dari dua kata yaitu Sunda dan Wiwitan. "Wiwitan" berarti "asal", "mimiti", atau "ajaran pertama". Ajaran yang diyakini oleh masyarakat adat ini diturunkan kepada generasi berikutnya secara lisan. Salah satu ajarannya ialah tri tangtu atau tiga ketentuan hidup, yang terdiri dari tekad, ucapan, dan tingkah laku atau perbuatan yang baik.

Konsep Keesaan

Ais Pangampih atau pemimpin kepercayaan di Kampung Adat Cireundeu, Abah Widi, menjelaskan bahwa Sunda Wiwitan meyakini nilai keesaan yang artinya meyakini adanya satu Tuhan. Dalam bahasa Sunda, ia mengatakan bahwa masyarakat Cirendeu menyebut Sang Pencipta sebagai Mahakawasa atau Mahakuasa. “Jadi nu Mahakawasa mah ngawasa sadayana alam sareng ciptaanna, kalebet manusa nu di mulyakeun ku nu kagungannana. Disebat nu Kawasa teh teu aya bandinganna. (Jadi yang Mahakuasa itu menguasai seluruh alam dan ciptaannya, termasuk manusia yang dimuliakan oleh yang memilikinya. Disebut Mahakuasa karena tidak ada yang menandinginya),” kata  Abah Widi, yang ditemui akhir Maret 2025. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Abah Widi, ada dua ibadah pengikut Sunda Wiwitan di Cireundeu, yakni ibadah terhadap Mahakuasa dengan terus mengingat bahwa manusia adalah ciptaannya dan harus menjaga sekaligus berbuat baik kepada ciptaan yang lainnya. Kemudian, ada ibadah dengan sesama makhluk hidup, baik itu manusia, tumbuhan, dan hewan lewat perbuatan baik dalam kehidupan sehari-hari.

Setiap tahun, penghayat Sunda Wiwitan memperingati Tahun Baru Sunda yang disebut Tutup Tahun Ngemban Tahun. Tahun baru ini biasanya digelar dengan menampilkan pertunjukan seni pada tanggal 20-an. Tidak hanya itu, ada kegiatan nyepen atau berdiam diri di ruang khusus selama satu minggu dari tanggal 1 sampai 7 syuro. Selama nyepen berlangsung, mereka tidak makan dan minum, tidak keluar ruangan, tidak bicara, dan hanya intropeksi diri agar selalu bersyukur. Oleh karena itu, kegiatan ini hanya dilakukan oleh orang mampu menjalankannya.

Kepercayaan yang Membumi

Di kampung adat yang ada di Kota Militer itu, warga mengenal cara ciri bangsa serta cara ciri manusia. Cara ciri bangsa meliputi budaya, bahasa, aksara, serta warna kulit. Sedangkan cara ciri bangsa adalah tuntunan hidup dalam kehidupan bermasyarakat, di antaranya welas asih atau kasih sayang, undak usuk atau keturunan, dan wiwaha yudha naraga. "Wiwaha yudha naraga, urang kedah gaduh pertimbangan atanapi gaduh kawani merangan hawa nafsu aya dina diri urang (Wiwaha yudha naraga, kita harus punya pertimbangan atau mempunyai keberanian melawan hawa nafsu yang ada dalam diri kita,”  Abah Widi menjelaskan.

Cara yang dilakukan oleh masyarakat adat untuk menjaga alam adalah dengan adanya hukum adat yang disebut hukum adikodrati, hukum pasti, atau hukum ketuhanan. Hukum tersebut salah satunya berlaku saat ke hutan. Baik masyarakat lokal atau pengunjung dilarang menggunakan alas kaki agar alam terjaga dengan baik. Selain itu, orang yang ke hutan tidak diizinkan menggunakan pakaian warna merah, sebab warna itu ada dalam diri manusia, baik itu darah, emosional, dan nafsu.

Ritual Alam 

Sebagai bentuk timbal balik terhadap alam ada tradisi yang biasa disebut dengan ritual alam, termasuk dalam menjaga mata airnya. Abah Widi yang merupakan Ais Pangampih generasi ke-5 di Kampung Adat Cireundeu, menjelaskan bahwa tradisi itu dilakukan dengan mengadakan ritual dengan sesajen. Ritual ini merupakan bentuk ungkapan rasa terima kasih terhadap alam dan Tuhan yang menciptakan alam. Dengan ritual ini, masyarakat merasa mengembalikan sesuatu yang mereka ambil dari alam.

Salah satu masyarakat adat di Kampung Adat Cireundeu, Tri, menceritakan cara ia beribadah sehari-hari. Dalam ibadah, kata dia, ada olah rasa yang biasa dilakukan sebelum dan sesudah tidur. Hal itu dilakukan dengan introspeksi terhadap perbuatannya dan mencoba memperbaiki diri agar tidak menyakiti makhluk hidup lainnya.

Tri juga mengatakan bahwa toleransi di Kampung Adat Cirendeu cukup baik. Masyarakat Sunda Wiwitan hidup berdampingan bersama orang yang memiliki agama dan kepercayaan lain. "Kami punya prinsip tidak satu pengakuan yang penting satu pengertian. Kami mengajarkan kasih sayang,” katanya. 

NIA NUR FADILLAH

Mila Novita

Mila Novita

Bergabung dengan Tempo sejak 2013 sebagai copywriter dan menjadi anggota redaksi pada 2019 sebagai editor di kanal gaya hidup. Kini menjadi redaktur di desk Jeda yang meliputi gaya hidup, seni, perjalanan, isu internasional, dan olahraga

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus