Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Banyak tradisi masih terpelihara dan terus diperingati di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Salah satunya Tradisi Saparan Wonolelo yang perhelatannya dipusatkan di area Kompleks Makam Ki Ageng Wonolelo, Dusun Pondok Wonolelo, Kalurahan Widodomartani, Ngemplak, Sleman Yogyakarta, pada 11 hingga 26 Agustus 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saparan Wonolelo telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Domain Adat Istiadat Masyarakat, Ritus dan Perayaan-Perayaan pada 2018.
Menariknya, dalam puncak gelaran tradisi itu, ada 1,5 ton apem berbentuk gunungan ludes diserbu masyarakat yang setia menanti di area Makam Ki Ageng Wonolelo pada Jumat sore 25 Agustus 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kue apem yang terbuat dari kelapa dan tepung ketan itu disebarkan dari atas menara dengan cara dilempar ke berbagai arah lalu ditangkap dan diperebutkan masyarakat.
"Kenapa apem, apem berasal dari bahasa Arab yang berlafal Affum yang berarti permintaan maaf, maknanya kita harus bisa memaafkan kesalahan orang lain, meskipun orang tersebut tidak minta maaf," ujar Ketua Trah Ki Ageng Wonolelo Kawit Sudiyono Jumat 25 Agustus 2023.
Apem dipilih sebagai simbol sedekah sesuai oleh-oleh yang dipilih Ki Ageng Wonolelo usai menunaikan ibadah haji kala itu.
Kisah Ki Ageng Wonolelo
Lalu siapa sebenarnya Ki Ageng Wonolelo sehingga ada tradisi untuk mengenangnya?
Ki Ageng Wonolelo atau Syekh Jumadigeno merupakan anak dari Syekh Khaki (Jumadil Qubro), cucu dari Pangeran Blancak Ngilo, dan cicit dari Prabu Brawijaya V.
Syekh Jumadigeno memiliki dua orang adik, yaitu Syekh Wasibageno dan Panembahan Bodo. Setelah memiliki ilmu yang cukup, beliau ditugaskan untuk menyebarkan agama Islam hingga mendirikan pondok Wonolelo.
Hal tersebut dapat dilihat dari peninggalan Ki Ageng Wonolelo seperti Al-Qur'an, potongan mustaka masjid, tombak, tongkat, kopiah dan baju ontrokusumo. Pusaka dan benda peninggalan Ki Ageng Wonolelo inilah yang kemudian dikirim setiap bulan Sapar pada setiap tahunnya.
Kawit menuturkan apem yang disebarkan dibungkus plastik satu per satu dengan pertimbangan kesehatan.
Sedangkan sebanyak 1,5 ton apem yang disebar merupakan buatan warga dari 12 rukun tetangga atau RT setempat. Setiap warga mengumpulkan 50 apem ditambah kiriman apem di luar trah yang juga dibungkus plastik.
"Trah atau keturunan Ki Ageng Wonolelo rutin menggelar tradisi ini setiap tahunnya termasuk saat pandemi meskipun dilakukan secara terbatas dan hanya di kalangan internal pondok," kata Kawit.
Menyebarkan Islam
Maknanya tradisi ini untuk mengenang Ki Ageng Wonolelo yang menyebarkan Islam, mempererat silaturahmi baik sesama trah maupun lainnya dan menggerakkan perekonomian warga sekitar.
"Jadi disamping spiritual juga ada manfaatnya ekonominya," tutur Kawit, selaku generasi ke sembilan keturunan Ki Ageng Wonolelo.
Penyebaran apem juga menandai puncak Kirab Pusaka Saparan Ki Ageng Wonolelo. Kirab pusaka tersebut dibarengi kirab gunungan apem, bregada, tari-tarian dan fragmen dengan rute dari Masjid Ki Ageng Wonolelo menuju Makam Ki Ageng Wonolelo.
Selama tradisi itu, digelar berbagai acara, seperti pengajian, festival apem, pentas seni, dan pasar malam.
Bupati Sleman Kustini Sri Purnomo menuturkan perlunya aktivitas yang terus memupuk rasa cinta dan handarbeni (memiliki) masyarakat terhadap kesenian dan kebudayaan lokal. "Sehingga masyarakat juga terus semangat untuk melestarikan kebudayaan yang dimiliki," kata dia.
PRIBADI WICAKSONO