Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hiburan

Di Kampung Wisata Flory Sleman Yogyakarta, Puluhan Anak Muda Berkumpul Soroti Keberlanjutan Lingkungan

Puluhan anak muda membedah bagaimana kultur sosial, dunia pendidikan, dan lingkungan saling berelasi di Kampung Wisata Yogyakarta

4 Agustus 2024 | 16.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Yogyakarta - Persoalan lingkungan belakangan menjadi sorotan karena mulai mendatangkan bencana bagi manusia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Padahal ketika lingkungan itu dirawat dan dijaga, akan memberikan banyak dampak ekonomi dengan ancaman bencana alam minimal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Daerah Istimewa Yogyakarta, belakangan digencarkan penutupan puluhan titik penambagan ilegal oleh pemerintah karena dikhawatirkan memicu kerusakan alam dan menimbulkan bencana ke depan.

Lantas, apakah pemicu kerusakan lingkungan hanya sebatas penambangan liar itu?

Puluhan anak muda dari berbagai universitas di Yogyakarta tampak berkumpul di kawasan Kampung Wisata Flory Kabupaten Sleman Yogyakarta, Sabtu, 3 Agustus 2024.

Mereka coba membedah bagaimana kultur sosial, dunia pendidikan, dan lingkungan saling berelasi.

Mereka menyoroti makin besarnya gap sosial di masyarakat belakangan ini yang dipicu pesatnya arus informasi, terutama melalui media sosial.

Satu kekhawatiran jika gap sosial itu makin besar dan dibiarkan, berdampak pada rusaknya kultur yang merembet pada lingkungan terutama di desa-desa yang masih lestari dan kental adat istiadatnya. 

Terlebih di Yogyakarta dan Jawa Tengah, masih menjadi basis hidupnya sejumlah kearifan lokal dan memiliki alam yang masih terawat.

"Dari gerakan yang kami lakukan dengan turun langsung ke desa-desa terpencil di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah, banyak remaja yang persepsi hidupnya kini berpatokan pada informasi media sosial," kata mahasiswa dari Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta Ilham Ramdani pada Sabtu.

Padahal yang ditawarkan di media sosial seringkali berlawanan dengan realitas sosial di pedesaan-pedesaan. 

"Gaya hidup flexing (pamer kekayaan) di media sosial, gambaran remaja yang sudah kaya raya tanpa diketahui prosesnya, menimbulkan gap besar karena situasi realitasnya tidak seperti itu," kata dia.

Pola pikir instan warga desa

Tren seragam di media sosial itu dinilai ikut berkontribusi memicu pola pikir instan di kalangan anak muda tak terkecuali di desa-desa. Pola pikir instan seperti ingin cepat kaya tanpa proses ini yang dikhawatirkan mengabaikan alam.  

"Sampai ada desa yang sekolahnya kekurangan siswa, anak-anaknya tak berminat lagi sekolah," kata Ilham yang sejak Maret 2024 lalu bersama puluhan mahasiswa dan pelajar turun ke 10 desa di Yogya dan Jawa Tengah dalam Gerakan Turun Sekolah. 

Lebih miris, ujar Ilham, ketika jalan untuk menjadi kaya itu mulai dilakukan dengan melakukan eksploitasi lingkungan agar mendapat keuntungan finansial secara cepat, seperti melakukan penambangan liar, menggunduli hutan yang memicu banjir dan longsor.

"Kami saat ini berupaya memberi pemahaman di desa-desa yang kami sambangi, melalui sekolah terutama, bahwa apa yang digambarkan di media sosial itu tak semuanya seperti realitas sebenarnya,"

"Kami mendorong anak anak merasa senang kembali belajar di sekolah, mendorong pemuda melestarikan adat istiadatnya, lebih menjaga alamnya agar tak memicu bencana di kemudian hari," imbuh dia.

Menurutnya, para mahasiswa dan pelajar yang terlibat gerakan turun ke desa desa itu juga sebagai refleksi memahami keadaan dunia pendidikan saat ini.

Merawat lingkungan

Aktivis pendidikan yang juga Dosen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi UGM Yogyakarta Muhammad Nur Rizal dalam forum itu mengatakan aktivitas manusia di era industri 4.0 membuat bumi bekerja semakin berat.

"Dengan aktivitas manusia saat ini, bumi bekerja 1,5 lipat lebih berat dari kemampuannya, ini yang akhirnya kerap memicu bencana alam akhir akhir ini akibat eksploitasi lingkungan," kata Rizal.

Rizal mengatakan tantangan berat saat ini bagi generasi muda karena mereka dihadapkan pada kesenjangan ekologikal.

"Jadi selain harus menghadapi tantangan sosial untuk masa depannya, mereka harus bisa menjaga keberlanjutan lingkungannya," ujar pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan itu.

Oleh sebab itu, kata, Rizal, perlu diantisipasi hilangnya jati diri pada kalangan muda ini. Termasuk mereka yang beraktivitas di pedesaan yang masih kuat kulturnya dalam merawat lingkungan.

PRIBADI WICASONO

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus