Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Palembang - Tak hanya dikenal dengan Kain Songket atau Jumputan, Palembang ternyata juga memiliki ukiran kain batik yang telah ada sejak jaman Kerajaan Palembang hingga awal kemerdekaan Indonesia. Kain-kain itu bahkan dipamerkan di Museum Negeri Sriwijaya atau Museum Balaputra Dewa, Palembang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Edukator Museum Balaputra Dewa, Beny Pramana Putra, batik Palembang ini mempunyai dua versi untuk awal mula pembuatannya. Pertama adalah 300 tahun yang lalu, saat Kedipaten Jipang masuk ke Kerajaan Palembang yang saat itu dipimpin oleh Ki Gede Ing Suro.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tapi, kalau kata Sejarahwan Muhamad Yamin, batik itu masuk ke kita pada abad ke 9, yang saat itu dipimpin oleh Dinasti Syailendra. Nah, yang pasti, kita meyakini, batik itu sudah ada sejak Kesultanan Palembang Darusalam," kata Beny saat ditemui di museum pada Rabu, 2 Oktober 2024.
Beny mengatakan, batik Palembang sendiri memiliki 23 jenis, yaitu semage, japri, kembang teh, kembang cengkeh, geribik, biji pare, maskot, bang, betawi, kangkung, kembang bakung, biji timun, pagi sore, keladi, semagean, jakung, kerak mutung, lasem, sisik iwak, encim, selahi, demekan dan kapal.
Dari 23 jenis tersebut, dikenal dengan cerita tersendiri dalam sejarah Kerajaan Palembang. Seperti batik dengan jenis semage yang dipengaruhi oleh dua kerajaan besar di Jawa dan Melayu, di mana batik itu hanya dipakai saat upacara adat saja, seperti upacara kematian dan juga pernikahan.
"Sebab, batik jenis semage itu lebih tinggi dibanding jenis lainnya. Baik nilai yang terkandung di dalam ukirannya, dan juga nilai materi, yang lebih mahal dari jenis lainnya," kata Beny.
Tak hanya semage, yang memiliki nilai tinggi. Batik pagi sore, ternyata juga menggambarkan cerita krisis ekonomi di Kerajaan Palembang. Di mana, jenis batik ini memiliki dua motif yang bisa dipakai dua kali dalam satu hari.
"Dulu ada krisis moneter, jadi kain batik ini sengaja dibuat dengan dua motif di dalam satu kain. Jadi, orang-orang bisa pakai lebih dari satu kali di satu harinya," kata laki-laki yang mengenakan baju Jumputan itu.
Lalu, juga ada jenis batik encim, yang merupakan akulturasi budaya Melayu dan Cina. Beny mengatakan, batik jenis ini biasanya digunakan oleh kaum Tionghoa. Hal ini merupakan akulturasi budaya.
"Sebetulnya bukan membedakan ras dan suku ya, batik-batik ini emang dibuat dengan menggabungkan cerita sejarah dan juga budaya. Bisa dibilang ini merupakan akulturasi budaya," katanya.
Namun, yang menjadi sorotan, kata Beny, kain batik Palembang tak lagi diproduksi secara massal. Bahkan, tak ada rumah produksi khusus untuk Batik Palembang. "Kalau di Palembang, cuma ada satu pengrajin yang bisa request pembuatan batik, namanya Pak Agus yang punya Toko Rumah Batik 17," kata dia.
Tidak adanya produksi secara khusus, kata Beny, hal itu dikarenakan pengerjaan kain batik yang cukup rumit. Karena, teknik Batik Palembang memang cukup berbeda dengan batik pada umumnya. Sehingga, hal itu menjadi alasan tidak adanya produksi batik di Palembang.
"Tapi, jenis batik kita masih banyak diproduksi di Jawa, khususnya di Gresik, Jawa Timur," jelasnya.
Beny juga menjelaskan, hal lain yang mempengaruhi tidak adanya rumah produksi batik di Palembang, adalah dikarenakan popularitasnya yang minim. Saat ini kata Beny, Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) sedang memperkenalkan batik khas yang ada di 17 kabupaten/kota. Dimana, setiap kabupaten/kota memiliki batiknya sendiri-sendiri.
"Itu kita buat berdasarkan sejarah, ornamen dan peninggalan yang ada di setiap daerahnya. Ini juga merupakan salah satu upaya untuk memperkenalkan batik daerah kembali," jelasnya.