Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Musim gugur tempat-tempat hiburan

Tahun 1976 ini tempat-tempat hiburan mengalami ke- lesuan, karena pengaruh kehidupan ekonomi dunia me- rosot, perubahan antara selera masyarakat dan kemampuan produktivitas produsen tempat hiburan. (hb)

14 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI musim hujan 1976 inipun, tempat hiburan di negeri ini tidak lagi menjamur. Justru sebaliknya. Lagi rontok dan prihatin. "Memang sedang mengalami kelesuan. Ini terjadi bukan hanya di Indonesia atau khususnya di Jakarta. Tapi merupakan gejala yang menyeluruh di seantero dunia", ujar Sutopo Jasamihardja, Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta. Ia menyebutkan penyebabnya: "Pengaruh kehidupan ekonomi yang sedang merosot di dunia, dan kemerosotan yang dialami proyek-proyek besar seperti perkayuan dan lain-lain di Indonesia, dan perobahan antara selera masyarakat dan kemampuan produktivitas produsen tempat hiburan di sini". Agak panjang juga. Pendeknya, Sutopo melihat kelesuan di bidang tempat hiburan ini juga melanda Bangkok, Manila, Singapura dan lain-lain. Galeb Husin, seorang agen artis di antara 4 agen artis di Ibukota yang aktif, tampak merasakannya pula."Di Singapura", kata pemimpin D'Star Entertainment yang berkantor di Hotel Sabang itu, "sejak 2 tahun terakhir ini agen-agen artis di sana dilanda sepi. baru akhir-akhir ini saja mereka kelihatan bangkit lagi". Meski jumlah badan seperti itu di Jakarta tercatat resmi di Direktorat III kesejahteraan DKI tak kurang dari 9 buah, tapi yang benar-benar aktif selain D'Star Entertainment ialah Jakarta Artis, Zaiba dan Rizas. Dan gejala melesu ini (seperti juga gejala menjamurnya dulu) juga mengenai kota-kota lain di Indonesia. "Perkembangan tempat hiburan di Medan selkarang ini", tulis koresponden TEMPO Zakaria M. Passe dari Medan, "seperti kerakap tumbuh di batu. Sudah senen-kemis". Setumpuk laporan dengan nada sama datang dari Surabaya, Banjarmasin, Samarinda, Ujungpandang dan Bandung (lihat: Sepi Di Setiap Kota). Adapun di Jakarta, yang menyolok rontoknya ialah tempat hiburan bernama klab malam alias night club. "Yang masih dalam keadaan operasi sekrang tinggal 16 buah saja. Tahun 1971/1972 jumlahnya mencapai 33 buah", tutur Wim Tomasoa, Wakil Ketua Bapparda/ Dinas Pariwisata DKI. Padahal menurut Eddy Rosadi, yang mendampingi Wim, tak ada pembatasan, asal disesuaikan dengan kebutuhan menurut pertimbangan lokasi untuk kelima wilayah DKI. Tentu saja sebelum surat izinnya diteken Gubernur Haji Ali Sadikin, lokasinya ditilik-tilik dulu sesuai apa tidak dengan prinsip, "jauh dari sekolah, tempat ibadah dan rumah kediaman". Tapi sesuai atau tidak dengan prinsip-prinsip itu, bagaikan bunga-bunga layu kena jamah angin -- klab malam itu berguguran "Ada yang cuma berumur 2 hari", tutur Eddy Rosadi lagi. Dan memang klab malam Wichita yang berlokasi di kawasan Menteng itu, begitu usai melakukan upacara pembukaan, 2 hari kemudian tak mampu lagi melanjutkan kegiatan. Kenapa? Sepanjang pengamatan Rosadi, yang oleh Sutopo Jasamihardja sehari-hari diserahi tugas mengurus perkembangan klab-klab malam, "mereka biasanya semata-mata berdasarkan perasaan. Atau latah, lebih tepatnya".. Padahal menurut Eddy, mestinya pertama-tama yang harus difikirkan ialah tenaga ahlinya. Yang penting di antaranya, seperti juga klab malam di luar negeri, ialah seorang ahli yang bisa nengendus perasaan dan selera publik setempat. Lalu soal kedua, modal. Modal yang ditanam mereka tak begitu besar. Hingga tak bisa mengejar biaya yang dikeluarkan buat tetap bertahan mencari popularitas di permulaan usaha. Menurut Eddy, yang rasanya bisa diterima orang yang biasa di bidang bisnis, "6 bulan pertama jangan dulu mengharap untung. Tapi cukup dulu bisa bertahan". Tapi cara bertahan pun agaknya tak pula selalu tepat. Ada klab malam yang menyewa taxi agar berjejer di depan atau dekat klab malam supaya disangka orang selalu tampak ramai. Taxi-taxi itu konon disewa Rp 600 selama nongkrong beberapa menit. Atau ada yang mengobral undangan gratis untuk memenuhi klab malamnya. Tentu saja tipuan seperti itu tak akan mampu-bertahan lama. Sementara hasilnya amat diragukan. "Dan ternyata klab malam yang melakukan hal begitu tak pernah bertahan lama", cetus seorang manager klab malam. Ini kabarnya yang menyebabkan Abul Hayat, itu haji asal Madura yang dijuluki "pangeran" klab malam ("raja"-nya adalah almarhum Haji Usmar Ismail dari Miraca Night Club) sering gonta-ganti menangani klab malam yang dari luar tampak sukses, padahal sebenarnya merugi. Bahkan terakhir ini, menurut laporan pembantu TEMPO di Surabaya Anshari Thayib, "Blue Ocean di Surabaya juga menemui kematiannya di tangan Abul Hayat". Dan kalau cuma mengandalkan popularitas (apalagi palsu), Miraca Sky Club, itu klab malam di puncak Toserba Sarinah, lebih dari populer. Sebagai pelopor di bidang hiburan malam, Miraca boleh dibilang bertahun-tahun memegang monopoli. Jadi mustahil tak punya langganan. Tapi toh ia mati juga. Konon karena lokasinya yang di atas angkasa itu. Meski menurut Galeb Husin, yang dulu lama ikut aktif menanganinya, "ada sebab lain". Yakni. "tak memakai hostes". Tapi seperti juga diakuinya, setelah dicoba memakai hostes pun -- tak lebih dari 12 orang katanya -- toh ternyata tak menolong. Dan meski kemudian Miraca berganti nama, New Miraca Night Club, dengan management orang-orang Kosgoro, hidupnya toh tak bisa dipertahankan juga. Juga karena soal perlengkapan yang buruk, seperti lift sering macet, AC tak jalan yang menyebabkan New Miraca ditinggalkan para langganannya. Akhirnya New Miraca bangkrut akhir Agustus 1975. Atau ada yang cuma mengandalkan relasi hotel, karena kebetulan berlokasi di lingkungan sebuah hotel, seperti Maxim Santai yang berlokasi di bawah Hotel Kartika Plaza. Menurut Jack Alfonso pimpinannya kepada Syarif Hidayat dari TEMPO, Maxim Santai hampir saja bangkrut di tahun 1975. Kini ia mengubah haluan. Yakni dengan usaha cari langganan sendiri tanpa mengandalkan pada tamu-tamu hotel. Yaitu dengan menawarkan 100-an wanita cantik yang disebut lady escort -- tak lain hostes juga -- yang bisa diajak tamu bersantai di 37 meja di ruangan biasa dan 17 meja di box. Para lady escort itu diasuh oleh 4 "mami" yang mampu berbahasa asing satu atau dua, yang bisa bertindak sebagai perantara. Dengan begitu diharapkan para tamu asing terpikat jadi langganan. Bila Ditopang..... Akan halnya New Miraca yang bangkrut, ia termasuk grup LCC dan Koca, suatu unit usaha di lingkungan Kosgoro pimpinan Mayjen Isman. Hingga klab malam LCC yang mendekam di bawah Monas sejak 1971 itu jadi tempat berhijrah para langganan New Miraca almarhum. Dengan hostes sebanyak 150 orang (ada yang berasal dari eks Miraca), LCC rata-rata tiap malamnya menerima tamu sekitar 50-an. Suatu jumlah yang menurut managernya Ismunandar, "cuma cukup buat mempertahankan LCC bernafas terus". Tapi kata Ismunandar bahwa "LCC tak pernah punya masa keemasan, dan hanya tetap steady' menunjukkan pula bahwa klab malam tersebut tak mengalami perkembangan yang berarti. Dan memang keadaan gedung dan suasana klab malam itu tak nengalami perobahan, sejak hampir 5 tahun lalu. Tapi bahwa LCC Group sudah bisa merentangkan sayapnya d i Surabaya, boleh jadi menunjukkn bisnis klab malam itu lumayan mampu bertahan, bila ditopang badan usaha semacam Kosgoro (Koperasi Gotong Royong). Namun itu mungkin suatu perkecualian. Tentu tak salah pandangan Eddy Rosadi bahwa sebuah klab malam bisa hidup, "bila memiliki tehnik management yang baik, lokasi yang cocok, pembinaan karyawan yang tepat dan modal yang cukup". Katanya buat bisa membangun usaha bidang ini diperlukan modal sekitar Rp 30 jutaan. Dan dengan 250 karyawan tetap, LCC tampaknya memang memenuhi syarat-syarat itu. Tamu sebanyak itu, menurut Ismunandar dan pimpinan Kosgoro, dirasa "cukup". "Itu banyak, Iho", ujar Isman, itu tokoh Brigade 17 -- tentara pelajar masa revolusi dulu. "Dengan usaha ini kita membantu memecahkan masalah pengangguran", ujar Isman lagi. Dan grup LCC katanya tak pernah ditunjang oleh keuangan hasil unit lain dati Kosgoro, "bahkan LCC harus nyumbang Kosgoro". Dan grup LCC baik di Jakarta atau Surabaya (dengan Excecutive Manaernya Yuni Amir biduan tenar itu) diyakini Ismunandar punya prospek, "sepanjang pemerintah masih memberikan izin, tetap akan berdiri". Tentu saja Gubernur Ali Sadikin tak akan menaruh keberatan terhadap hidup suburnya klab malam seperti LCC, Galaxy, Tropicana, Latin Quarter, Maxim Santai dan lain-lain yang berjumlah 16 itu. Seperti kata Syariful Alam, Humas DKI yang baru haji itu, "DKI menginginkan suatu usaha hidup dan berkembang secara wajar sebagai perusahaan. Sebab bila suatu usaha berkembang baik, toh akan menguntungkan DKI juga". Apalagi dengan pungutan tempat hiburan (termasuk yang merangkap perjudian dan tempat judi seperti kasino Petak IX, Copacabana), berupa pajak pembangunan I (pungutan karena mengadakan jual beli makanan dan minuman), pajak tontonan, minuman keras, reklame dan lain-lain, DKI konon dapat mengisi kasnya Rp 6 milyar setahunnya. Tampaknya ke-16 klab malam itu memenuhi itu harapan. Yang menolak disebut "lesu" sekarang ini adalah Galaxy. "Kita sampai sekarang tetap jalan. Tak pernah menunggak pajak. Atau telat membayar artis dan agennya atau menelantarkan karyawan", tutur drs. Yeward Hussny, manager Galaxy. Galaxy dulu mengontrak gedung PWI Pusat di Jalan Veteran selama 5 tahun dan barusan habis, lalu pindah ke gedung bekas klab malam Paprika yang telah mati di jalan Juanda. Menurut Yeward, sejak dibuka, Galaxy tetap berjalan baik berkat "disiplin kuat perusahaan" terhadap fihak yang terlibat di daIamnya. "Bahkan bila artis terlambat mengadakan show kami tak mau membayarnya, walaupun mereka main terus". Dan kepada para hostesnya, Galaxy mengadakan kontrak selama 1 tahun. Dengan hak 50% dari Rp 2500 hostes fee (rata-rata klab malam menarik tarif setinggi ini sejak awal 1975), pemeliharaan kesehatan oleh dokter perusahaan, antar jemput dan asrama dengan membayar Rp 5 ribu kalau mau, hostes tak bisa berpindah-pindah klab malam seenaknya. Ini berbeda dengan di LCC yang membebaskan para hostes keluar masuk bekerja di sana sesuka hatinya. Sebab Ismunandar punya pendirian, "mereka 'kan bebas memilih pekerjaan yang disukainya". Sedang di Galaxy bila 3 hari mereka tak masuk tanpa alasan yang masuk akal managernya bisa dipecat dan kehilangan semacam uang jaminan yang dipungut dari hostes sebesar 10% dari hostes feenya. Terasa kejam juga. Tapi begitulah Hussny menanamkan disiplin kepada 90 hostesnya yang terbagi 2 keIompok: yakni free lance yang boleh melayani tamu sore hari, dan starlet yang hostes daIam arti sesungguhnya. Dengan begitu ia mampu mempertahankan hidup klab malamnya. Juga di sini ada sistim keanggotaan klah (kini sudah sekitar 100-an anggota). Tentu saja sejak dimulai langkah pertama ia sudah siap-siap dikoceknya dengan Rp 30 jutaan modal pertama. Gagasan Muluk Tapi tentunya apa yang dilakukan Galaxy, LCC atau Maxim Santai hanyalah salah satu cara memperpanjang naras. Atau semacam cara bersaing. Sebab agaknya perkembangan klab malam akan lain dari keadaan sekarang, bila INCA (Indonesia Night Club Association) yang pernah dicetuskan akan dibentuk, sempat lahir dan bergerak. Perhimpunan yang punya gagasan muluk sebagai wadah tempat membina dan memajukan klab malam itu, menurut Sekjennya sendiri, yang tak lain adalah Yeward Hussny, "sama sekali tak pernah ada langkah karena kurang backing" Maksudnya, "tak ada sanksi yang tegas baik dari pemerintah atau perhimpunan". Hingga tak aneh, bila misalnya gagasan-gagasan ini tidak bisa jalan: bagaimana mencegah persaingan antar klab malam, bagaimana meminta keringanan pajak, bagaimana mempermudah prosedur memasukkan artis, bagaimana membina hostes yang waktu itu merupakan profesi baru. Hal-hal itu mestinya bisa dipecahkan itu wadah tapi sampai kini tetap hanya impian bagus selama lebih 5 tahun. Hasilnya, sekarang ini kehidupan dan perkembangan klab malam -- menurut Eddy Rosadi sudah "tak untung, tak rugi tapi juga tak berkembang". Sebagai usaha dagang, ya, prihatinlah. Dan keprihatinan yang paling terasa ialah pada jenis tempat hiburan yang bernama tempat mandi uap alias steambath. Meski usaha ini juga tak dikenai pembatasan, jumlah tempat mandi uap tak pernah lebih dari 34 buah. Dan meski tempat hiburan ini pernah pasang naik seperti klab malam, tak berarti mereka kemudian bisa menikmati masa mengalirnya uang secara langgeng. Dusit Thani, misalnya, menurut pimpinan sehari-harinya, Kun, mengalami pasang sekitar 1972-1973. Pada watu itu jumlah tamu rata-rata sekitar 400 seharinya. Dengan "perempuan pemijit" sekarang 40 (giliran siang) dan 70 (giliran malam), dan kamar sebanyak 27 yang jalan, tenpat mandi uap ini merosot jumlah tamunya jadi sekitar 100-an saja. Bahkan ketika pengurusnya mengendus gerak merosot sejak masa dininya, mereka memperkenalkan cara memikat tamu dengan mengadakan happy hour. "Jam-jam bahagia ini mereka sediakan antara jam 10-11 pagi dan 18-19. Tarifnya 50% dari biasa alias separuh dari Rp 5000 (VIP) dan Rp 3000 (biasa). "Mula-mula memang memikat para tamu datang. Rata-rata sehari mencapai 50-an", tutur Kun. Bagaimana sekarang? "Sepi, mas. Paling-paling, 20-an". Nasib yang paling parah menimpa tempat mandi uap Pink 21 Tempat mandi uap yang berlokasi di tempat amat ideal ini, yakni pusat perdagangan dan perusahaan besar-besar di Jakarta Kota, ternyata nyaris menutup usahanya karena ketiban kurangnya jumlah tamu. "Sekarang-sekarang ini kami pernah terima tamu seharinya paling banyak 3 orang", tutur Ikhwan Rosidi, pimpinan sehari-harinya. Dengan perempuan pemijit sebanyak 60 orang (bergilir siang atau malam) dan kamar 20 buah (yang jalan cuma 17 buah), pada waktu-waktu dulu lebih 50 tamu bisa dijeratnya. Ikhwan mengira kemerosotan yang diderita perusahaannya, meski ia sulit merabanya, mungkin karena faktor kehidupan ekonomi. Yakni karena lesunya dunia perdagangan. Tapi ia tak bisa menjelaskan secara detail dan kongkrit. Yang jelas, tamu-tamu tetap merosot dan nyaris bikin bangkrut, bila tak didapatnya Rp 30 ribu sebulan dari 16 buah mesin permainan keping uang alias coin machine game. Selain itu juga Pink 21 menyontek Dusit Thani, menyediakan "jam-jam bahagia". Tak Terima Gaji Lalu apa sebab rumah-rumah yang menyediakan perempuan-perempun yang punya kepintaran memberikan "jam-jam bahagia" itu tetap bisa bertahan? Bahkan jumlahnya tak pernah mengalami kemerosotan menyolok seperti klab malam? Meski juga tak bertambah? Sulit dijawab. Tapi mungkin bisa dilihat dari sistim ikatan kerja di sana. Wanita-wanita tukang pijit itu rata-rata tak menerima gaji. Mereka cuma menerima komisi 10 dari harga tiket, ditambah sejumlah uang (rata-rata tempat mandi uap memberikan Rp 7500) bila mereka mencapai target tertentu sebulannya. Masing-masing rumah pijat punya target berbeda. Dusit Thani misalnya harus mencapai 100 tahun untuk bisa meraih uang bulanan Rp 7500 sedang Pink 21 cukup 25 tahun saja. Penghasilan lainnya ialah yang diterima bila si pemijat berhasil memberi suatu "pelayanan". Bentuk "pelayanan ini hanya diketahui si tamu laki-laki dan si wanita pemijat saja -- dengan saksi selembar handuk kecil, mesin uap, dipan dan kamar yang sekelilingnya berkaca cermin. Tapi tentu tak hanya klab malam dan mandi uap saja tempat-tempat hiburan di Jakarta. Bahkan pada tahun-tahun pertama Ali sadikin menduduki jabatan gubernurnya, ia tak pernah mengerlingkan matanya ke arah kedua itu tempat hiburan. Sebab tempat hiburan yang paling tua di Jakarta, yang berbau impor dan disangka punya daya tarik buat rakyat banyak ialah pacuan anjing di Senayan. Dibuka sejak 18 April 1970, gelanggang pacuan anjing asal Australia Greyhound itu dinamai Djakarta Canidrome Sport Club. "Sekitar Pebruari 1969 dalam suatu pertemuan dengan saya", tutur Philip Kong Ceneral Manager DCSC, "Gubernur Ali Sadikin mengemukakan keinginannya membuka gelanggang pacuan anjing. Maksudnya untuk mengisi kekosongan Jakarta dengan tempat hiburan dan tontonan. Terutama untuk para turis asing". Maka dengan modal Rp 1,5 juta. DCSC melengkapi canidromenya dengan komputer, mesin penjualan karcis toto dan peralatan lainnya yang serba luks. Di sana ada greyhound berkaki panjang-panjang, mata tajam, naluri berburu tinggi dan sanggup berlari dalam kecepatan tinggi. Mula-mula setiap Rabu, Sabtu dan Minggu malam, anjing-anjing itu saling berlomba mengejar kelinci-kelincian listrik dan merupakan tontonan baru yang mengasyikkan dan mendebarkan. Selain bersitat menghibur juga ada adu untungnya dengan adanya jenis taruhan model baru: toto greyhound. Yakni, menebak anjing yang berlomba, para pemasang akan menerima hadiah uang. Dengan greyhound sekitar 400-an dan karyawan 433 orang (sebagian pegawai lepas), DCSC yang berada di bawah management PT Southwest Invesment & Development Co. (Indonesia), hari-hari permulaannya berhasil menarik pengunjung sekitar 2000-an dan omzet taruhan Rp 2O juta. Tapi begitu pacuan kuda Pulo Mas, klab malam dan tempat mandi uap, Hai lai, bowling dan ice skating muncul, pengunjung pacuan anjing pun merosot. "Pada waktu itu pemegang saham sudah banyak yang akan menjual sahamnya. Tapi tak laku" tutur Philip Kong. Itu berlangsung sampai 2 tahun. Kemudian diizinkan membuka 6 hari seminggu dan menyelenggarakan lotto. Kabarnya untuk izin lotto, DCSC menerima Rp 240 juta per tahun sedang DKI sendiri menerima Rp 400 juta. Alasan pembukaan lotto, "kami memerlukan biaya tambahan buat penyelenggaraan pacuan 6 hari seminggu". Terjadi lagi kenaikan jumlah pengunjung dan omzet taruhan. Kini dengan greyhound 50 ekor dan 400 karyawan (termasuk 160 perawat anjing) dan 10 orang asing, pacuan anjing setiap malamnya beromzet Rp 8-9 juta. Masih belum bisa kembaIi ke keadaan di saat-saat permulaan buka. Tapi Philip agak sedikit lega. "Sekarang kami sudah mulai menutup hutang-hutang. 12 tahun lagi kami sudah bisa menyelesaikannya. Baru sesudah itu bisa menguntungkan", ujar Philip. Nasib begini menurut Philip sama sekali di luar fikiran direksi. Hingga niat semula mendirikan gelanggang pacuan serupa di kota lain (misalnya Medan atau Surabaya) tinggal impian belaka. Kuda Lengang Lalu bagaimana nasib pacuan kuda Pulo Mas? Sudah sejak 2 tahun lalu tempat tontonan dan hiburan raksasa ini sepenuhnya dipegang orang Indonesia. Tapi puing-puing keprihatinan yang ditinggalkan Australia belum bisa hilang. "Untuk memperbaiki keadaan Pacuan Kuda Pulo Mas, harus ada investasi yang besar", kata Alex E. Kawilarang, General Managernya tanpa menyebut jumlah tertentu. Gelanggang pacuan ini merupakan kongsi antara pemerintah DKI dan Australia. Sekarang ini menurut Kawilarang, masih dalam persoalan, apakah fihak Australia akan kembali atau tidak. "Tapi sudah 2 tahun ini tak ada tanda-tanda mereka akan kembali" tutur Kawilarang. "Ada atau tidak orang Australia kita jalan terus'. Tak ada efek apa-apa" tukas Syaiful Rizal, Manager Totalisator. Bagi Rizal agaknya yang penting apakah penyelenggaraan pacuan akan memasukkan uang atau tidak melalui totonya. Meski setelah ditinggalkan orang Australia, jumlah agen toto sudah susut jadi 3 saja. Dan itu pun sifatnya hanya sambilan. Artinya agen-agen itu tak hanya mengurusi toto. Sedang ketika masih dipegang Australia jumlahnya sampai 15, dan mereka benar-benar hanya mengurusi toto pacuan kuda saja. "Tapi mereka melakukan langkah yang salah. Membuka banyak agen dengan peralatan dan fasilitas agen serba mewah dan megah seperti di Australia. Karena menyangka di sini pacuan kuda sudah populer seperti di Australia. Ternyata meleset. omzet taruhan tak pernah bergeser sekitar Rp 8 Rp 9 juta". menurut Syaiful Rizal, penyelenggaran pacuan baru akan menguntungkan kelasnya bisa menjalankan perlombaan, bila omzet toto mencapai sekitar Rp 2O juta. Sepanjang sejarahnya, cuma ketika pembukaan (28 Agustus 1971), yang dihadiri Presiden Suharto, pacuan kuda Pulo Mas mencapai angka puncak Rp 22 juta. Tak aneh bila kabarnya pacuan kuda tersebut harus disubsidi DKI. Tapi tak jelas berapa besarnya. Menurut Kawilarang biaya operasi proyek itu sebulannya tak kurang dari Rp 25 juta. Itu untuk hadiah-hadiah kuda yang berpacu saja. Dengan kegiatan pemilik kuda sekitar 70 orang, dengan jumlah kuda Pony asal dalam negeri 100-an ekor dan 200-an ekor jenis Thoroughbred asal Australia, Pacuan Kuda Pulo Mas harus menyediakan hadiah-hadiah, (mulai Rp. 40 sampai Rp. 400 ribu atau lebih) dalam pacuan. Tergantung jenis kuda yang berlomba dalam pacuan sebanyak 11 kali setiap hari Minggunya. Tentu saja tak mungkin cuma mengandalkan hasil toto yang minim itu. Apalagi dari uang masuk pengunjung (sekitar 2000-an) yang membayar Rp 200 per orang. Sebetulnya ada jalan pintas buat memasukkan uang bagi Pacuan Kuda Pulo Mas, yakni dengan membuka toto alias lottery tatalisator seperti di pacuan anjing Senayan. Tapi pemerintah DKI tampak enggan memberi izin. Menurut Syariful Alam, "menyangkut larangan judi oleh pemerintah pusat". Lagi pula Kawilarang sendiri tampak enggan juga. "Lotto tak ada hubungannya dengan kuda. Orang cuma menebak angka", katanya. Baginya,"diperlukan waktu 10-12 tahun buat gelanggang pacuan kuda itu akan berjalan baik dan bertaraf internasional" Sedang bagi Rial agaknya hal itu tak jadi soal. Karena ia pernah menyodorkan seorang cukong untuk keperluan itu. Tapi yang terang ada perobahan yang berarti setelah orang Australia tak lagi bercokol di sana. "Dulu kuda Pony tak boleh ikut berpacu", kata Kawilarang yang tak bersedia bicara soal kebijaksanaan DKI tentang pacuan kuda Pulo Mas. Dengan begitu perkembangan perkudaan terangsang maju. Sebab dengan adanya kesempatan turut pacuan, kemungkinan jadi pemenang jadi terbuka. Itu berarti mendapatkan hadiah. "Tak menguntungkan. Cuma dengan hadiah itu kita bisa mengembalikan biaya pemeliharaan dan melatihnya" ujar Jopie Aning, pemilik ' kuda yang 18 Januari lalu memenangkan piala Tanah Sereal dengan hadiah Rp 400 ribu. Menu-rut Aning, sebulannya diperlukan sedikitnya Rp 30 ribu buat makanan sang kuda. Belum lagi membayar honor joki kabarnya sekitar Rp 20 ribuan -- selain persen 10%, bila kuda yang dipacunya memenangkan hadiah. Harga kuda yang masih muda 1 - 1 1/2 tahun sekitar Rp 100 ribuan. Sedang kuda Australia Thorohbreadd yaug sudah afkir berharga Rp 500-an ribu. Tampaknya memang sukar memacu proyek pacuan kuda Pulo Mas lebih cepat, untuk merubah dari keadaannya yang memprihatinkan sekarang ini. Meski begitu bagi DKI apa boleh buat, proyek tempat hiburan raksasa itu harus tetap dipacu meskipun secara "lambat", seperti kata Kawilarang. Karena bagaimanapun menurut Syariful Iagi "proyek Pacuan Kuda sudah menguntungkan". Bukan karena memasukkan uang, tapi, "menarik penanam modal ke daerah Pulo Mas, mematangkan tanah di sana hingga jadi tanah yang siap dibangun dan gairah pembibitan kuda ditingkatkan, menyerap tenaga kerja dan tontonannya sendiri memang menarik". Dan karena alasan "menarik", selain efek sampingan lain, Gubernur Ali Sadikin dengan sendirinya mudah mencoretkan tanda tangannya menyetujui penyelenggaraan sesuatu tempat hiburan. Ice skating di Senayan. bowling di Kartika Plaza dan Ancol dan Hai Lai juga di Ancol pun muncullah dalam kehidupan Jakarta. Sebagai tempat hiburan model baru? Ice skating tentu saja membetot orang-orang berbondong datang. Di hari-hari permulaan tahun dibukanya, pertengahan 1972, lantai es beku seluas 40 x 25 M, di bawah Canvas Dame kuning dengan konpressor bervoltase 3000 volt itu mampu membetot pengunjung rata-rata 3000-3500 selama 15 jam operasinya. "Masa gemilang kami alami di periode 1972-'73. Betul-betul meledak", tutur Gandaru wakil Manager Operasi. "Tapi hanya kalangan masyarakat klas atas", tambahnya. Ini terlihat misalnya dari deretan sekitar 2000 motor dan mobil yang keluar masuk tempat parkir di sana. Hingga tak heran bila uang parkir pun sempat terkumpul Rp 10 ribu per hari. Bahkan pernah Rp 30 ribu. Setelah setahun berjalan, katanya orang kecil yang naik bis dan jalan kaki pun nampak sering datang dan bermain. Tapi usaha ini menaikkan tarif. Kini jadi Rp 200 per 2 jam untuk nonton saja. Tadinya (1972) cuma Rp 100 untuk nonton sampai selesai. Bahkan potongan harga buat anak sekolah yang datang berombongan 20 orang juga dicabut. Sebab menurut Subadio, manager operasi yang baru sebulan di sana, "ongkos produksi meningkat". Yang jelas, 57 karyawan (pekerja dan instruktur skate es) yang diperas tenaganya secara intensif itu (tak kenal hari libur) perlu perbaikan gaji. Dan biaya produksi sekitar Rp 2,5-3 juta (bahkan pernah Rp 3,4 juta), tak bisa dibiarkan jadi penyebab itu tempat hiburan milik Indonesia lce Skate Rink Centre Ltd, dengan modal pertama Rp 200 juta itu, harus ketiban bangkrut. Untung sekarang belum. Tapi hantu kebangkrutan mungkin tengah mengendap-endap di 2 tempat permainan bowling, yaitu Djakarta Bowling Centre di bawah Hotel Kartika Plaza dan Jaya Ancol Bowl di Taman Impian Jaya Ancol. "Tendensi masa sulit memang sudah nampak. Tapi belum serius", tutur Roberto dari Djakarta Bowling Centre Kartika Plaza. Tempat hiburan yang dibangun orang Singapur Tju Tek Fat dengan modal Rp 96 juta itu, setengah tahun setelah pembukaan oleh Presiden Suharto pertengahan tahun l970, mula-mula menarik pengunjung melimpah ruah. Meski tarifnya cukup tinggi, Rp 250 per game pada jam 09-14 dan Rp 300 jam 14-24. "Harus dibatasi maksimum 3 game saja. Supaya bergiliran", tutur Roberto mengenang masa itu. Itu berlangsung sekitar 1970-'71-an, karena anggapan, "jadi anggota perkumpulan bowling menaikkan status sosial". Lalu terjadi kemerosotan. Selain sebabnya Jaya Ancol BOWL dan Blok M muncul, juga anggapan, "status sosial naik itu beralih ke golf dan jadi anggota Executive Club". Melorot Dengan jalur 40 buah dan karyawan 7 orang, JAB yang dibuka Ny. Tien Suharto setahun setelah DBC (di sini cuma 16 jalur saja), selain menambah jumlah tempat bowling, tentunya juga terasa sebagai saingan. Meski di Ancol lebih mahal tarifnya. Yaitu Rp 275 jam 09-14 per game dan Rp 325 dari jam 14-24 dan Rp 200 buat pelajar. Dan cuma karena promosi yang gencar, dengan mengadakan turnamen-turnamen ke luar negeri dan pertandingan setempat dengan hadiah, "masa gemilang terjadi setelah 2-3 tahun pembukaan", tutur Mardi Wahid, assisten Managernya. Dan kini, Mardi bersama 42 karyawan (termasuk 5 instruktur) juga sulit "mempertahankan gambar grafik pengunjung agar tidak melorot terus saban bulannya". Padahal kedua tempat melempar bola seberat 8-16 pon itu memiliki langganan khususnya sendiri-sendiri. Di Kartika Plaza terdiri dari anak-anak muda, sedang Ancol penggemarnya banyak para Nyonya, yang menurut Ny. Lena Tjandra, seorang penggemar "main bowling untuk melangsingkan tubuh". Dan apa boleh buat, menurunnya grafik pengunjung itu juga menyusul ke tempat permainan Hai Lai di Taman Impian Jaya Ancol. Permainan asal Spanyol, cuma sempat menikmati masa-masa gemilangnya di hari-hari permulaan bukanya. 17 Mei 1971. Permainan bola yang konon tertua di dunia ini, di arena bernama Cancha yang panjangnya 54 M, lebar 11 M dan tinggi 10,5 M, menurut O.H. Panggabean. GM nya, "memasuki tahun ke 2-3, dengan grafik menunjukkan angka menurun". Usaha sejenis macam pacuan kuda atau greyhound, bahkan juga dibukanya Taman Mini, diduga Panggabean sebagai sebab-sebabnya. Permainan pelota (bola Hai lai) seberat 130 gram, yang diterjangkan dengan kecepatan 300 Km per jam ke dinding berlapis batu marmer keras berbentuk kotak hitam tebal 17 m dengan memakai Cesta alat pelempar pelota yang bentuknya seperti paruh itu, kini cuma mampu menyedot peminat (dihitung memakai alat teller) sekitar 2000-an rata-rata tiap malamnya. Dulu 5000-an. Seperti juga pacuan anjing, kuda. Hai lai pun mampu menyedot pengunjung sejumlah tersebut, selain karena asyik dengan tontonan permainan 24 pelotaris yang bertanding dalam sedikitnya 14 game itu, juga karena adanya taruhan toto. Dengan uang mulai Rp 200 sampai Rp 5000, pengunjung bisa membeli selembar toto jenis Win Place atau Forecast yang menjanjikan hadial uang besar. Terutama Forecast, dengan hadiah terbanyak kali 100, dengan kemungkinan menang 1:32. "Hampir tiap malam saya suka datang ke mari", tutur Halim Lesmana, seorang berusia kl. 50-an tahun. "Permainannya mengasyikkan", tambah kakek yang sering datang dengan cucu-cucunya itu. 'Kalau hati lagi senang bisa pasang toto", komentar Panggabean, bernada iklan. Ia amat berbangga hati. Awal Pebruari kemarin, gelanggang Hai lai itu mampu menurunkan pelotaris pribumi, setelah menggodognya selama 5 tahun dan diakui oleh perkumpulan Hai lai di Spanyol. Namun meski begitu, permainan olahraga merangkap permainan taruhan, belum juga mampu mengembalikan jumlah pengunjung seperti di hari-hari pertama buka. Mungkin seperti juga nasib tempat-tempat hiburan lainnya yang dilanda gejala merosot dan ada di antaranya sedang mengalami musim gugur, masih syukur bila saja bisa bertahan. Sekarang ini mata para pengusaha tempat-tempat hiburan sedang diarahkan ke permainan bilyar, yang lagi menyebar menggelinding ke mana-mana. Ini mirip yang pernah dialami hiburan lainnya dulu. Sampai kapan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus