DI musim hujan 1976 inipun, tempat hiburan di negeri ini
tidak lagi menjamur. Justru sebaliknya. Lagi rontok dan
prihatin. "Memang sedang mengalami kelesuan. Ini terjadi bukan
hanya di Indonesia atau khususnya di Jakarta. Tapi merupakan
gejala yang menyeluruh di seantero dunia", ujar Sutopo
Jasamihardja, Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta.
Ia menyebutkan penyebabnya: "Pengaruh kehidupan ekonomi yang
sedang merosot di dunia, dan kemerosotan yang dialami
proyek-proyek besar seperti perkayuan dan lain-lain di
Indonesia, dan perobahan antara selera masyarakat dan kemampuan
produktivitas produsen tempat hiburan di sini". Agak panjang
juga. Pendeknya, Sutopo melihat kelesuan di bidang tempat
hiburan ini juga melanda Bangkok, Manila, Singapura dan
lain-lain.
Galeb Husin, seorang agen artis di antara 4 agen artis di
Ibukota yang aktif, tampak merasakannya pula."Di Singapura",
kata pemimpin D'Star Entertainment yang berkantor di Hotel
Sabang itu, "sejak 2 tahun terakhir ini agen-agen artis di sana
dilanda sepi. baru akhir-akhir ini saja mereka kelihatan
bangkit lagi". Meski jumlah badan seperti itu di Jakarta
tercatat resmi di Direktorat III kesejahteraan DKI tak kurang
dari 9 buah, tapi yang benar-benar aktif selain D'Star
Entertainment ialah Jakarta Artis, Zaiba dan Rizas.
Dan gejala melesu ini (seperti juga gejala menjamurnya
dulu) juga mengenai kota-kota lain di Indonesia. "Perkembangan
tempat hiburan di Medan selkarang ini", tulis koresponden TEMPO
Zakaria M. Passe dari Medan, "seperti kerakap tumbuh di batu.
Sudah senen-kemis". Setumpuk laporan dengan nada sama datang
dari Surabaya, Banjarmasin, Samarinda, Ujungpandang dan Bandung
(lihat: Sepi Di Setiap Kota).
Adapun di Jakarta, yang menyolok rontoknya ialah tempat hiburan
bernama klab malam alias night club. "Yang masih dalam keadaan
operasi sekrang tinggal 16 buah saja. Tahun 1971/1972 jumlahnya
mencapai 33 buah", tutur Wim Tomasoa, Wakil Ketua Bapparda/
Dinas Pariwisata DKI. Padahal menurut Eddy Rosadi, yang
mendampingi Wim, tak ada pembatasan, asal disesuaikan dengan
kebutuhan menurut pertimbangan lokasi untuk kelima wilayah DKI.
Tentu saja sebelum surat izinnya diteken Gubernur Haji Ali
Sadikin, lokasinya ditilik-tilik dulu sesuai apa tidak dengan
prinsip, "jauh dari sekolah, tempat ibadah dan rumah kediaman".
Tapi sesuai atau tidak dengan prinsip-prinsip itu, bagaikan
bunga-bunga layu kena jamah angin -- klab malam itu berguguran
"Ada yang cuma berumur 2 hari", tutur Eddy Rosadi lagi. Dan
memang klab malam Wichita yang berlokasi di kawasan Menteng itu,
begitu usai melakukan upacara pembukaan, 2 hari kemudian tak
mampu lagi melanjutkan kegiatan.
Kenapa? Sepanjang pengamatan Rosadi, yang oleh Sutopo
Jasamihardja sehari-hari diserahi tugas mengurus perkembangan
klab-klab malam, "mereka biasanya semata-mata berdasarkan
perasaan. Atau latah, lebih tepatnya".. Padahal menurut Eddy,
mestinya pertama-tama yang harus difikirkan ialah tenaga
ahlinya. Yang penting di antaranya, seperti juga klab malam di
luar negeri, ialah seorang ahli yang bisa nengendus perasaan
dan selera publik setempat. Lalu soal kedua, modal. Modal yang
ditanam mereka tak begitu besar. Hingga tak bisa mengejar biaya
yang dikeluarkan buat tetap bertahan mencari popularitas di
permulaan usaha. Menurut Eddy, yang rasanya bisa diterima orang
yang biasa di bidang bisnis, "6 bulan pertama jangan dulu
mengharap untung. Tapi cukup dulu bisa bertahan".
Tapi cara bertahan pun agaknya tak pula selalu tepat. Ada klab
malam yang menyewa taxi agar berjejer di depan atau dekat klab
malam supaya disangka orang selalu tampak ramai. Taxi-taxi itu
konon disewa Rp 600 selama nongkrong beberapa menit. Atau ada
yang mengobral undangan gratis untuk memenuhi klab malamnya.
Tentu saja tipuan seperti itu tak akan mampu-bertahan lama.
Sementara hasilnya amat diragukan. "Dan ternyata klab malam yang
melakukan hal begitu tak pernah bertahan lama", cetus seorang
manager klab malam. Ini kabarnya yang menyebabkan Abul Hayat,
itu haji asal Madura yang dijuluki "pangeran" klab malam
("raja"-nya adalah almarhum Haji Usmar Ismail dari Miraca Night
Club) sering gonta-ganti menangani klab malam yang dari luar
tampak sukses, padahal sebenarnya merugi. Bahkan terakhir ini,
menurut laporan pembantu TEMPO di Surabaya Anshari Thayib, "Blue
Ocean di Surabaya juga menemui kematiannya di tangan Abul
Hayat".
Dan kalau cuma mengandalkan popularitas (apalagi palsu), Miraca
Sky Club, itu klab malam di puncak Toserba Sarinah, lebih dari
populer. Sebagai pelopor di bidang hiburan malam, Miraca boleh
dibilang bertahun-tahun memegang monopoli. Jadi mustahil tak
punya langganan. Tapi toh ia mati juga. Konon karena lokasinya
yang di atas angkasa itu. Meski menurut Galeb Husin, yang dulu
lama ikut aktif menanganinya, "ada sebab lain". Yakni. "tak
memakai hostes". Tapi seperti juga diakuinya, setelah dicoba
memakai hostes pun -- tak lebih dari 12 orang katanya -- toh
ternyata tak menolong. Dan meski kemudian Miraca berganti nama,
New Miraca Night Club, dengan management orang-orang Kosgoro,
hidupnya toh tak bisa dipertahankan juga. Juga karena soal
perlengkapan yang buruk, seperti lift sering macet, AC tak jalan
yang menyebabkan New Miraca ditinggalkan para langganannya.
Akhirnya New Miraca bangkrut akhir Agustus 1975.
Atau ada yang cuma mengandalkan relasi hotel, karena kebetulan
berlokasi di lingkungan sebuah hotel, seperti Maxim Santai yang
berlokasi di bawah Hotel Kartika Plaza. Menurut Jack Alfonso
pimpinannya kepada Syarif Hidayat dari TEMPO, Maxim Santai
hampir saja bangkrut di tahun 1975. Kini ia mengubah haluan.
Yakni dengan usaha cari langganan sendiri tanpa mengandalkan
pada tamu-tamu hotel. Yaitu dengan menawarkan 100-an wanita
cantik yang disebut lady escort -- tak lain hostes juga -- yang
bisa diajak tamu bersantai di 37 meja di ruangan biasa dan 17
meja di box. Para lady escort itu diasuh oleh 4 "mami" yang
mampu berbahasa asing satu atau dua, yang bisa bertindak sebagai
perantara. Dengan begitu diharapkan para tamu asing terpikat
jadi langganan.
Bila Ditopang.....
Akan halnya New Miraca yang bangkrut, ia termasuk grup LCC dan
Koca, suatu unit usaha di lingkungan Kosgoro pimpinan Mayjen
Isman. Hingga klab malam LCC yang mendekam di bawah Monas sejak
1971 itu jadi tempat berhijrah para langganan New Miraca
almarhum. Dengan hostes sebanyak 150 orang (ada yang berasal
dari eks Miraca), LCC rata-rata tiap malamnya menerima tamu
sekitar 50-an. Suatu jumlah yang menurut managernya Ismunandar,
"cuma cukup buat mempertahankan LCC bernafas terus". Tapi kata
Ismunandar bahwa "LCC tak pernah punya masa keemasan, dan hanya
tetap steady' menunjukkan pula bahwa klab malam tersebut tak
mengalami perkembangan yang berarti. Dan memang keadaan gedung
dan suasana klab malam itu tak nengalami perobahan, sejak
hampir 5 tahun lalu. Tapi bahwa LCC Group sudah bisa
merentangkan sayapnya d i Surabaya, boleh jadi menunjukkn
bisnis klab malam itu lumayan mampu bertahan, bila ditopang
badan usaha semacam Kosgoro (Koperasi Gotong Royong).
Namun itu mungkin suatu perkecualian. Tentu tak salah pandangan
Eddy Rosadi bahwa sebuah klab malam bisa hidup, "bila memiliki
tehnik management yang baik, lokasi yang cocok, pembinaan
karyawan yang tepat dan modal yang cukup". Katanya buat bisa
membangun usaha bidang ini diperlukan modal sekitar Rp 30
jutaan. Dan dengan 250 karyawan tetap, LCC tampaknya memang
memenuhi syarat-syarat itu. Tamu sebanyak itu, menurut
Ismunandar dan pimpinan Kosgoro, dirasa "cukup". "Itu banyak,
Iho", ujar Isman, itu tokoh Brigade 17 -- tentara pelajar masa
revolusi dulu. "Dengan usaha ini kita membantu memecahkan
masalah pengangguran", ujar Isman lagi. Dan grup LCC katanya tak
pernah ditunjang oleh keuangan hasil unit lain dati Kosgoro,
"bahkan LCC harus nyumbang Kosgoro". Dan grup LCC baik di
Jakarta atau Surabaya (dengan Excecutive Manaernya Yuni Amir
biduan tenar itu) diyakini Ismunandar punya prospek, "sepanjang
pemerintah masih memberikan izin, tetap akan berdiri".
Tentu saja Gubernur Ali Sadikin tak akan menaruh keberatan
terhadap hidup suburnya klab malam seperti LCC, Galaxy,
Tropicana, Latin Quarter, Maxim Santai dan lain-lain yang
berjumlah 16 itu. Seperti kata Syariful Alam, Humas DKI yang
baru haji itu, "DKI menginginkan suatu usaha hidup dan
berkembang secara wajar sebagai perusahaan. Sebab bila suatu
usaha berkembang baik, toh akan menguntungkan DKI juga". Apalagi
dengan pungutan tempat hiburan (termasuk yang merangkap
perjudian dan tempat judi seperti kasino Petak IX, Copacabana),
berupa pajak pembangunan I (pungutan karena mengadakan jual beli
makanan dan minuman), pajak tontonan, minuman keras, reklame dan
lain-lain, DKI konon dapat mengisi kasnya Rp 6 milyar
setahunnya. Tampaknya ke-16 klab malam itu memenuhi itu
harapan.
Yang menolak disebut "lesu" sekarang ini adalah Galaxy. "Kita
sampai sekarang tetap jalan. Tak pernah menunggak pajak. Atau
telat membayar artis dan agennya atau menelantarkan karyawan",
tutur drs. Yeward Hussny, manager Galaxy. Galaxy dulu mengontrak
gedung PWI Pusat di Jalan Veteran selama 5 tahun dan barusan
habis, lalu pindah ke gedung bekas klab malam Paprika yang
telah mati di jalan Juanda. Menurut Yeward, sejak dibuka,
Galaxy tetap berjalan baik berkat "disiplin kuat perusahaan"
terhadap fihak yang terlibat di daIamnya. "Bahkan bila artis
terlambat mengadakan show kami tak mau membayarnya, walaupun
mereka main terus". Dan kepada para hostesnya, Galaxy mengadakan
kontrak selama 1 tahun. Dengan hak 50% dari Rp 2500 hostes fee
(rata-rata klab malam menarik tarif setinggi ini sejak awal
1975), pemeliharaan kesehatan oleh dokter perusahaan, antar
jemput dan asrama dengan membayar Rp 5 ribu kalau mau, hostes
tak bisa berpindah-pindah klab malam seenaknya. Ini berbeda
dengan di LCC yang membebaskan para hostes keluar masuk bekerja
di sana sesuka hatinya. Sebab Ismunandar punya pendirian,
"mereka 'kan bebas memilih pekerjaan yang disukainya". Sedang di
Galaxy bila 3 hari mereka tak masuk tanpa alasan yang masuk
akal managernya bisa dipecat dan kehilangan semacam uang
jaminan yang dipungut dari hostes sebesar 10% dari hostes
feenya. Terasa kejam juga. Tapi begitulah Hussny menanamkan
disiplin kepada 90 hostesnya yang terbagi 2 keIompok: yakni free
lance yang boleh melayani tamu sore hari, dan starlet yang
hostes daIam arti sesungguhnya. Dengan begitu ia mampu
mempertahankan hidup klab malamnya. Juga di sini ada sistim
keanggotaan klah (kini sudah sekitar 100-an anggota). Tentu saja
sejak dimulai langkah pertama ia sudah siap-siap dikoceknya
dengan Rp 30 jutaan modal pertama.
Gagasan Muluk
Tapi tentunya apa yang dilakukan Galaxy, LCC atau Maxim Santai
hanyalah salah satu cara memperpanjang naras. Atau semacam
cara bersaing. Sebab agaknya perkembangan klab malam akan lain
dari keadaan sekarang, bila INCA (Indonesia Night Club
Association) yang pernah dicetuskan akan dibentuk, sempat lahir
dan bergerak. Perhimpunan yang punya gagasan muluk sebagai
wadah tempat membina dan memajukan klab malam itu, menurut
Sekjennya sendiri, yang tak lain adalah Yeward Hussny, "sama
sekali tak pernah ada langkah karena kurang backing" Maksudnya,
"tak ada sanksi yang tegas baik dari pemerintah atau
perhimpunan". Hingga tak aneh, bila misalnya gagasan-gagasan ini
tidak bisa jalan: bagaimana mencegah persaingan antar klab
malam, bagaimana meminta keringanan pajak, bagaimana mempermudah
prosedur memasukkan artis, bagaimana membina hostes yang waktu
itu merupakan profesi baru. Hal-hal itu mestinya bisa
dipecahkan itu wadah tapi sampai kini tetap hanya impian bagus
selama lebih 5 tahun. Hasilnya, sekarang ini kehidupan dan
perkembangan klab malam -- menurut Eddy Rosadi sudah "tak
untung, tak rugi tapi juga tak berkembang". Sebagai usaha
dagang, ya, prihatinlah.
Dan keprihatinan yang paling terasa ialah pada jenis tempat
hiburan yang bernama tempat mandi uap alias steambath. Meski
usaha ini juga tak dikenai pembatasan, jumlah tempat mandi uap
tak pernah lebih dari 34 buah. Dan meski tempat hiburan ini
pernah pasang naik seperti klab malam, tak berarti mereka
kemudian bisa menikmati masa mengalirnya uang secara langgeng.
Dusit Thani, misalnya, menurut pimpinan sehari-harinya, Kun,
mengalami pasang sekitar 1972-1973. Pada watu itu jumlah tamu
rata-rata sekitar 400 seharinya. Dengan "perempuan pemijit"
sekarang 40 (giliran siang) dan 70 (giliran malam), dan kamar
sebanyak 27 yang jalan, tenpat mandi uap ini merosot jumlah
tamunya jadi sekitar 100-an saja. Bahkan ketika pengurusnya
mengendus gerak merosot sejak masa dininya, mereka
memperkenalkan cara memikat tamu dengan mengadakan happy
hour. "Jam-jam bahagia ini mereka sediakan antara jam 10-11
pagi dan 18-19. Tarifnya 50% dari biasa alias separuh dari Rp
5000 (VIP) dan Rp 3000 (biasa). "Mula-mula memang memikat para
tamu datang. Rata-rata sehari mencapai 50-an", tutur Kun.
Bagaimana sekarang? "Sepi, mas. Paling-paling, 20-an".
Nasib yang paling parah menimpa tempat mandi uap Pink 21 Tempat
mandi uap yang berlokasi di tempat amat ideal ini, yakni pusat
perdagangan dan perusahaan besar-besar di Jakarta Kota,
ternyata nyaris menutup usahanya karena ketiban kurangnya jumlah
tamu. "Sekarang-sekarang ini kami pernah terima tamu seharinya
paling banyak 3 orang", tutur Ikhwan Rosidi, pimpinan
sehari-harinya. Dengan perempuan pemijit sebanyak 60 orang
(bergilir siang atau malam) dan kamar 20 buah (yang jalan cuma
17 buah), pada waktu-waktu dulu lebih 50 tamu bisa dijeratnya.
Ikhwan mengira kemerosotan yang diderita perusahaannya, meski ia
sulit merabanya, mungkin karena faktor kehidupan ekonomi. Yakni
karena lesunya dunia perdagangan. Tapi ia tak bisa menjelaskan
secara detail dan kongkrit. Yang jelas, tamu-tamu tetap merosot
dan nyaris bikin bangkrut, bila tak didapatnya Rp 30 ribu
sebulan dari 16 buah mesin permainan keping uang alias coin
machine game. Selain itu juga Pink 21 menyontek Dusit Thani,
menyediakan "jam-jam bahagia".
Tak Terima Gaji
Lalu apa sebab rumah-rumah yang menyediakan perempuan-perempun
yang punya kepintaran memberikan "jam-jam bahagia" itu tetap
bisa bertahan? Bahkan jumlahnya tak pernah mengalami
kemerosotan menyolok seperti klab malam? Meski juga tak
bertambah? Sulit dijawab. Tapi mungkin bisa dilihat dari sistim
ikatan kerja di sana. Wanita-wanita tukang pijit itu rata-rata
tak menerima gaji. Mereka cuma menerima komisi 10 dari harga
tiket, ditambah sejumlah uang (rata-rata tempat mandi uap
memberikan Rp 7500) bila mereka mencapai target tertentu
sebulannya. Masing-masing rumah pijat punya target berbeda.
Dusit Thani misalnya harus mencapai 100 tahun untuk bisa meraih
uang bulanan Rp 7500 sedang Pink 21 cukup 25 tahun saja.
Penghasilan lainnya ialah yang diterima bila si pemijat berhasil
memberi suatu "pelayanan". Bentuk "pelayanan ini hanya diketahui
si tamu laki-laki dan si wanita pemijat saja -- dengan saksi
selembar handuk kecil, mesin uap, dipan dan kamar yang
sekelilingnya berkaca cermin.
Tapi tentu tak hanya klab malam dan mandi uap saja tempat-tempat
hiburan di Jakarta. Bahkan pada tahun-tahun pertama Ali sadikin
menduduki jabatan gubernurnya, ia tak pernah mengerlingkan
matanya ke arah kedua itu tempat hiburan. Sebab tempat hiburan
yang paling tua di Jakarta, yang berbau impor dan disangka punya
daya tarik buat rakyat banyak ialah pacuan anjing di Senayan.
Dibuka sejak 18 April 1970, gelanggang pacuan anjing asal
Australia Greyhound itu dinamai Djakarta Canidrome Sport Club.
"Sekitar Pebruari 1969 dalam suatu pertemuan dengan saya",
tutur Philip Kong Ceneral Manager DCSC, "Gubernur Ali Sadikin
mengemukakan keinginannya membuka gelanggang pacuan anjing.
Maksudnya untuk mengisi kekosongan Jakarta dengan tempat hiburan
dan tontonan. Terutama untuk para turis asing".
Maka dengan modal Rp 1,5 juta. DCSC melengkapi canidromenya
dengan komputer, mesin penjualan karcis toto dan peralatan
lainnya yang serba luks. Di sana ada greyhound berkaki
panjang-panjang, mata tajam, naluri berburu tinggi dan sanggup
berlari dalam kecepatan tinggi. Mula-mula setiap Rabu, Sabtu
dan Minggu malam, anjing-anjing itu saling berlomba mengejar
kelinci-kelincian listrik dan merupakan tontonan baru yang
mengasyikkan dan mendebarkan. Selain bersitat menghibur juga ada
adu untungnya dengan adanya jenis taruhan model baru: toto
greyhound. Yakni, menebak anjing yang berlomba, para pemasang
akan menerima hadiah uang.
Dengan greyhound sekitar 400-an dan karyawan 433 orang (sebagian
pegawai lepas), DCSC yang berada di bawah management PT
Southwest Invesment & Development Co. (Indonesia), hari-hari
permulaannya berhasil menarik pengunjung sekitar 2000-an dan
omzet taruhan Rp 2O juta. Tapi begitu pacuan kuda Pulo Mas,
klab malam dan tempat mandi uap, Hai lai, bowling dan ice
skating muncul, pengunjung pacuan anjing pun merosot. "Pada
waktu itu pemegang saham sudah banyak yang akan menjual
sahamnya. Tapi tak laku" tutur Philip Kong. Itu berlangsung
sampai 2 tahun. Kemudian diizinkan membuka 6 hari seminggu dan
menyelenggarakan lotto. Kabarnya untuk izin lotto, DCSC menerima
Rp 240 juta per tahun sedang DKI sendiri menerima Rp 400 juta.
Alasan pembukaan lotto, "kami memerlukan biaya tambahan buat
penyelenggaraan pacuan 6 hari seminggu". Terjadi lagi kenaikan
jumlah pengunjung dan omzet taruhan. Kini dengan greyhound 50
ekor dan 400 karyawan (termasuk 160 perawat anjing) dan 10 orang
asing, pacuan anjing setiap malamnya beromzet Rp 8-9 juta.
Masih belum bisa kembaIi ke keadaan di saat-saat permulaan buka.
Tapi Philip agak sedikit lega. "Sekarang kami sudah mulai
menutup hutang-hutang. 12 tahun lagi kami sudah bisa
menyelesaikannya. Baru sesudah itu bisa menguntungkan", ujar
Philip. Nasib begini menurut Philip sama sekali di luar fikiran
direksi. Hingga niat semula mendirikan gelanggang pacuan serupa
di kota lain (misalnya Medan atau Surabaya) tinggal impian
belaka.
Kuda Lengang
Lalu bagaimana nasib pacuan kuda Pulo Mas? Sudah sejak 2 tahun
lalu tempat tontonan dan hiburan raksasa ini sepenuhnya dipegang
orang Indonesia. Tapi puing-puing keprihatinan yang ditinggalkan
Australia belum bisa hilang. "Untuk memperbaiki keadaan Pacuan
Kuda Pulo Mas, harus ada investasi yang besar", kata Alex E.
Kawilarang, General Managernya tanpa menyebut jumlah tertentu.
Gelanggang pacuan ini merupakan kongsi antara pemerintah DKI dan
Australia. Sekarang ini menurut Kawilarang, masih dalam
persoalan, apakah fihak Australia akan kembali atau tidak. "Tapi
sudah 2 tahun ini tak ada tanda-tanda mereka akan kembali"
tutur Kawilarang. "Ada atau tidak orang Australia kita jalan
terus'. Tak ada efek apa-apa" tukas Syaiful Rizal, Manager
Totalisator. Bagi Rizal agaknya yang penting apakah
penyelenggaraan pacuan akan memasukkan uang atau tidak melalui
totonya. Meski setelah ditinggalkan orang Australia, jumlah agen
toto sudah susut jadi 3 saja. Dan itu pun sifatnya hanya
sambilan. Artinya agen-agen itu tak hanya mengurusi toto. Sedang
ketika masih dipegang Australia jumlahnya sampai 15, dan mereka
benar-benar hanya mengurusi toto pacuan kuda saja. "Tapi
mereka melakukan langkah yang salah. Membuka banyak agen dengan
peralatan dan fasilitas agen serba mewah dan megah seperti di
Australia. Karena menyangka di sini pacuan kuda sudah populer
seperti di Australia. Ternyata meleset. omzet taruhan tak pernah
bergeser sekitar Rp 8 Rp 9 juta". menurut Syaiful Rizal,
penyelenggaran pacuan baru akan menguntungkan kelasnya bisa
menjalankan perlombaan, bila omzet toto mencapai sekitar Rp 2O
juta. Sepanjang sejarahnya, cuma ketika pembukaan (28 Agustus
1971), yang dihadiri Presiden Suharto, pacuan kuda Pulo Mas
mencapai angka puncak Rp 22 juta.
Tak aneh bila kabarnya pacuan kuda tersebut harus disubsidi DKI.
Tapi tak jelas berapa besarnya. Menurut Kawilarang biaya operasi
proyek itu sebulannya tak kurang dari Rp 25 juta. Itu untuk
hadiah-hadiah kuda yang berpacu saja. Dengan kegiatan pemilik
kuda sekitar 70 orang, dengan jumlah kuda Pony asal dalam
negeri 100-an ekor dan 200-an ekor jenis Thoroughbred asal
Australia, Pacuan Kuda Pulo Mas harus menyediakan hadiah-hadiah,
(mulai Rp. 40 sampai Rp. 400 ribu atau lebih) dalam pacuan.
Tergantung jenis kuda yang berlomba dalam pacuan sebanyak 11
kali setiap hari Minggunya. Tentu saja tak mungkin cuma
mengandalkan hasil toto yang minim itu. Apalagi dari uang masuk
pengunjung (sekitar 2000-an) yang membayar Rp 200 per orang.
Sebetulnya ada jalan pintas buat memasukkan uang bagi Pacuan
Kuda Pulo Mas, yakni dengan membuka toto alias lottery
tatalisator seperti di pacuan anjing Senayan. Tapi pemerintah
DKI tampak enggan memberi izin. Menurut Syariful Alam,
"menyangkut larangan judi oleh pemerintah pusat". Lagi pula
Kawilarang sendiri tampak enggan juga. "Lotto tak ada
hubungannya dengan kuda. Orang cuma menebak angka", katanya.
Baginya,"diperlukan waktu 10-12 tahun buat gelanggang pacuan
kuda itu akan berjalan baik dan bertaraf internasional" Sedang
bagi Rial agaknya hal itu tak jadi soal. Karena ia pernah
menyodorkan seorang cukong untuk keperluan itu. Tapi yang terang
ada perobahan yang berarti setelah orang Australia tak lagi
bercokol di sana. "Dulu kuda Pony tak boleh ikut berpacu", kata
Kawilarang yang tak bersedia bicara soal kebijaksanaan DKI
tentang pacuan kuda Pulo Mas. Dengan begitu perkembangan
perkudaan terangsang maju. Sebab dengan adanya kesempatan turut
pacuan, kemungkinan jadi pemenang jadi terbuka. Itu berarti
mendapatkan hadiah. "Tak menguntungkan. Cuma dengan hadiah itu
kita bisa mengembalikan biaya pemeliharaan dan melatihnya" ujar
Jopie Aning, pemilik ' kuda yang 18 Januari lalu memenangkan
piala Tanah Sereal dengan hadiah Rp 400 ribu. Menu-rut Aning,
sebulannya diperlukan sedikitnya Rp 30 ribu buat makanan sang
kuda. Belum lagi membayar honor joki kabarnya sekitar Rp 20
ribuan -- selain persen 10%, bila kuda yang dipacunya
memenangkan hadiah. Harga kuda yang masih muda 1 - 1 1/2 tahun
sekitar Rp 100 ribuan. Sedang kuda Australia Thorohbreadd yaug
sudah afkir berharga Rp 500-an ribu.
Tampaknya memang sukar memacu proyek pacuan kuda Pulo Mas lebih
cepat, untuk merubah dari keadaannya yang memprihatinkan
sekarang ini. Meski begitu bagi DKI apa boleh buat, proyek
tempat hiburan raksasa itu harus tetap dipacu meskipun secara
"lambat", seperti kata Kawilarang. Karena bagaimanapun menurut
Syariful Iagi "proyek Pacuan Kuda sudah menguntungkan". Bukan
karena memasukkan uang, tapi, "menarik penanam modal ke daerah
Pulo Mas, mematangkan tanah di sana hingga jadi tanah yang siap
dibangun dan gairah pembibitan kuda ditingkatkan, menyerap
tenaga kerja dan tontonannya sendiri memang menarik".
Dan karena alasan "menarik", selain efek sampingan lain, Gubernur
Ali Sadikin dengan sendirinya mudah mencoretkan tanda tangannya
menyetujui penyelenggaraan sesuatu tempat hiburan. Ice skating
di Senayan. bowling di Kartika Plaza dan Ancol dan Hai Lai juga
di Ancol pun muncullah dalam kehidupan Jakarta. Sebagai tempat
hiburan model baru? Ice skating tentu saja membetot orang-orang
berbondong datang. Di hari-hari permulaan tahun dibukanya,
pertengahan 1972, lantai es beku seluas 40 x 25 M, di bawah
Canvas Dame kuning dengan konpressor bervoltase 3000 volt itu
mampu membetot pengunjung rata-rata 3000-3500 selama 15 jam
operasinya. "Masa gemilang kami alami di periode 1972-'73.
Betul-betul meledak", tutur Gandaru wakil Manager Operasi.
"Tapi hanya kalangan masyarakat klas atas", tambahnya. Ini
terlihat misalnya dari deretan sekitar 2000 motor dan mobil yang
keluar masuk tempat parkir di sana. Hingga tak heran bila uang
parkir pun sempat terkumpul Rp 10 ribu per hari. Bahkan pernah
Rp 30 ribu. Setelah setahun berjalan, katanya orang kecil yang
naik bis dan jalan kaki pun nampak sering datang dan bermain. Tapi
usaha ini menaikkan tarif. Kini jadi Rp 200 per 2 jam untuk nonton
saja. Tadinya (1972) cuma Rp 100 untuk nonton sampai selesai. Bahkan
potongan harga buat anak sekolah yang datang berombongan 20
orang juga dicabut. Sebab menurut Subadio, manager operasi yang
baru sebulan di sana, "ongkos produksi meningkat". Yang jelas,
57 karyawan (pekerja dan instruktur skate es) yang diperas
tenaganya secara intensif itu (tak kenal hari libur) perlu
perbaikan gaji. Dan biaya produksi sekitar Rp 2,5-3 juta (bahkan
pernah Rp 3,4 juta), tak bisa dibiarkan jadi penyebab itu tempat
hiburan milik Indonesia lce Skate Rink Centre Ltd, dengan modal
pertama Rp 200 juta itu, harus ketiban bangkrut. Untung sekarang
belum.
Tapi hantu kebangkrutan mungkin tengah mengendap-endap di 2
tempat permainan bowling, yaitu Djakarta Bowling Centre di bawah
Hotel Kartika Plaza dan Jaya Ancol Bowl di Taman Impian Jaya
Ancol. "Tendensi masa sulit memang sudah nampak. Tapi belum
serius", tutur Roberto dari Djakarta Bowling Centre Kartika
Plaza. Tempat hiburan yang dibangun orang Singapur Tju Tek Fat
dengan modal Rp 96 juta itu, setengah tahun setelah pembukaan
oleh Presiden Suharto pertengahan tahun l970, mula-mula menarik
pengunjung melimpah ruah. Meski tarifnya cukup tinggi, Rp 250
per game pada jam 09-14 dan Rp 300 jam 14-24. "Harus dibatasi
maksimum 3 game saja. Supaya bergiliran", tutur Roberto
mengenang masa itu. Itu berlangsung sekitar 1970-'71-an, karena
anggapan, "jadi anggota perkumpulan bowling menaikkan status
sosial". Lalu terjadi kemerosotan. Selain sebabnya Jaya Ancol
BOWL dan Blok M muncul, juga anggapan, "status sosial naik itu
beralih ke golf dan jadi anggota Executive Club".
Melorot
Dengan jalur 40 buah dan karyawan 7 orang, JAB yang dibuka Ny.
Tien Suharto setahun setelah DBC (di sini cuma 16 jalur
saja), selain menambah jumlah tempat bowling, tentunya juga
terasa sebagai saingan. Meski di Ancol lebih mahal tarifnya.
Yaitu Rp 275 jam 09-14 per game dan Rp 325 dari jam 14-24 dan
Rp 200 buat pelajar. Dan cuma karena promosi yang gencar,
dengan mengadakan turnamen-turnamen ke luar negeri dan
pertandingan setempat dengan hadiah, "masa gemilang terjadi
setelah 2-3 tahun pembukaan", tutur Mardi Wahid, assisten
Managernya. Dan kini, Mardi bersama 42 karyawan (termasuk 5
instruktur) juga sulit "mempertahankan gambar grafik pengunjung
agar tidak melorot terus saban bulannya". Padahal kedua tempat
melempar bola seberat 8-16 pon itu memiliki langganan khususnya
sendiri-sendiri. Di Kartika Plaza terdiri dari anak-anak muda,
sedang Ancol penggemarnya banyak para Nyonya, yang menurut Ny.
Lena Tjandra, seorang penggemar "main bowling untuk
melangsingkan tubuh".
Dan apa boleh buat, menurunnya grafik pengunjung itu juga
menyusul ke tempat permainan Hai Lai di Taman Impian Jaya Ancol.
Permainan asal Spanyol, cuma sempat menikmati masa-masa
gemilangnya di hari-hari permulaan bukanya. 17 Mei 1971.
Permainan bola yang konon tertua di dunia ini, di arena bernama
Cancha yang panjangnya 54 M, lebar 11 M dan tinggi 10,5 M,
menurut O.H. Panggabean. GM nya, "memasuki tahun ke 2-3, dengan
grafik menunjukkan angka menurun". Usaha sejenis macam pacuan
kuda atau greyhound, bahkan juga dibukanya Taman Mini, diduga
Panggabean sebagai sebab-sebabnya. Permainan pelota (bola Hai
lai) seberat 130 gram, yang diterjangkan dengan kecepatan 300 Km
per jam ke dinding berlapis batu marmer keras berbentuk kotak
hitam tebal 17 m dengan memakai Cesta alat pelempar pelota yang
bentuknya seperti paruh itu, kini cuma mampu menyedot peminat
(dihitung memakai alat teller) sekitar 2000-an rata-rata tiap
malamnya. Dulu 5000-an.
Seperti juga pacuan anjing, kuda. Hai lai pun mampu menyedot
pengunjung sejumlah tersebut, selain karena asyik dengan
tontonan permainan 24 pelotaris yang bertanding dalam sedikitnya
14 game itu, juga karena adanya taruhan toto. Dengan uang mulai
Rp 200 sampai Rp 5000, pengunjung bisa membeli selembar toto
jenis Win Place atau Forecast yang menjanjikan hadial uang
besar. Terutama Forecast, dengan hadiah terbanyak kali 100,
dengan kemungkinan menang 1:32. "Hampir tiap malam saya suka
datang ke mari", tutur Halim Lesmana, seorang berusia kl. 50-an
tahun. "Permainannya mengasyikkan", tambah kakek yang sering
datang dengan cucu-cucunya itu. 'Kalau hati lagi senang bisa
pasang toto", komentar Panggabean, bernada iklan. Ia amat
berbangga hati. Awal Pebruari kemarin, gelanggang Hai lai itu
mampu menurunkan pelotaris pribumi, setelah menggodognya selama
5 tahun dan diakui oleh perkumpulan Hai lai di Spanyol.
Namun meski begitu, permainan olahraga merangkap permainan
taruhan, belum juga mampu mengembalikan jumlah pengunjung
seperti di hari-hari pertama buka. Mungkin seperti juga nasib
tempat-tempat hiburan lainnya yang dilanda gejala merosot dan
ada di antaranya sedang mengalami musim gugur, masih syukur bila
saja bisa bertahan. Sekarang ini mata para pengusaha
tempat-tempat hiburan sedang diarahkan ke permainan bilyar, yang
lagi menyebar menggelinding ke mana-mana. Ini mirip yang pernah
dialami hiburan lainnya dulu. Sampai kapan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini