JAKARTA terbilang sebuah kota pantai. Namun belum sendirinya
memiliki pantai yang bisa dinikmati warganya. Oleh kebutuhan
inilah muncul gagasan menggarap Ancol. Itu sudah
diangan-angankan sekitar tahun 1960, dengan pembukaan daerah
rawa dan belukar -- yang terkenal sebagai sarang monyet dan jin
dengan pasir laut. Lalu terkatung-katung. Kemudian lewat
sedikit tahun 1966, gubernur Ali Sadikin meliriknya agar tak
keburu mubazir. Maka Ancol pun dibenahi sebagai salah satu
proyek pemerintah DKI, yang diharap mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat akan daerah pantai yang santai. Sejak diresmikan
delapan tahun silam, jumlah pengunjung Taman Impian Jaya, Ancol
ini meningkat deras sekali. (1968 sekitar 200 ribu, tahun lalu
mencapai 8 juta pengunjung). "Untuk tahun ini kalau harap akan
bertambah sekitar 20% lagi", ujar Ir Ciputra, Dirut PT
Pembangunan Jaya yang membawahi Proyek Ancol.
Dari gambaran singkat itu nampak bahwa wabah lesu darah yang
melanda tempat-tempat hiburan lainnya, mujur luput dari daerah
rekreasi yang berupa "taman". Selain data Ancol, maka bisa pula
disaksikan jumlah tamu di kawasan pertamanan di seantero kota.
Taman Ria IRTI Monas di hari biasa sekitar 1500 lebih pada sore
hari, lalu malamnya meliputi 6000 pengunjung. Begitu pula Taman
Ria Remaja Senayan, seharinya tak kurang dari 5000 warga kota
mengalir ke sana. Sedang hari Minggu mencapai 8000 orang.
Sementara Taman Mini Indonesia Indah yang relatif baru itu sudah
mampu menyedot sekitar 5 sampai 7000 pengunjung per-harinya.
Rata-rata tarif masuk ke tempat rekreasi tersebut berkisar
sekitar Rp 100 seorang. Angka-angka tadi belum terhitung jumlah
warga kota yang sering makan angin di daerah hijau yang gratis.
Dinas Pertamanan DKI telah menyelesaikan 20 buah halaman untuk
permainan anak-anak. Juga membenahi serta membikin taman-taman
kecil, yang seluruhnya meliputi 1/2 juta M2, serta pembuatan
taman-taman besar seluas 149 Ha, komplit dengan lampu hias.
Itulah yang berwujud taman di Lapangan Monas, Taman Christina
Tiahau (yang disokong Pertamina) di Kebayoran Baru, pertamanan
di kompleks Senayan, plus sejumlah taman yang dijuluki "taman
lingkungan" yang terserak di 5 wilayah walikota sampai kecamatan
dan RW.
Tahun ini di Taman Impian Jaya Ancol sedang dibangun sebuah
bazar yang permanen. Jika semula masih sekitar senirupa, nanti
akan ada restoran dan hiburan juga. Semua berbentuk kios, dengan
lorong yang tak lebih dari l l/2 M. Jadi mirip pasar senggol
yang akrab bagi para pengunjungnya. Ingat Pasar Gambir zaman
dulu? "Kita ingin bazar ini kelak seolah-olah merupakan
kombinasi antara bazar modern dengan pasar malam Gambir yang
lama itu", tutur Ciputra. Juga semacam Princen Park lama, tapi
yang bersih 'yang sesuai dengan kebutuhan hygienis yang baru,
kehidupan modern yang baru, untuk generasi yang baru tambahnya.
Tidak besar-besaran, "tapi ada kesempatan untuk perluasan".
Sebegitu jauh pemasukan dikatakan senantiasa ditanam lagi untuk
memperluas lapangan usaha. Dan 3/4 daerah daratan yang meliputi
500 Ha lebih itu sudah digarap. Untuk selanjutnya pandangan
diarahkan lagi ke arah laut, yang kelak direncanakan membangun
Marina -- semacam taman laut 2 km dari pantai. Tapi itu masih
waktu 5 lagi.
"Gratis"
Di taman hiburan ini terdapat sedikitnya 14 unit usaha, yang
memungut bea tersendiri, setelah pengunjung beli karcis di pintu
utama (siang Rp 75 dan malam Rp 100 seorang). Tarif masuk ini
dipandang cukup patut, seperti dikemukakan oleh Walikota Jakarta
Utara Dwinanto: "Tanpa bayar sama sekali, tak mungkin. Sulit
dari segi pengamanan dan pembinaah". Pak Wali yang juga menjabat
Ketua Proyek Otorita Ancol itu juga mengungkapkan: "Soalnya kita
selalu bayar pajak". Perkara adanya keluhan yang menyebut
kurangnya tempat hiburan gratis di dalam Ancol, Ciputra
memandang sebagai "kurang tepat". Dari jumlah 8 juta lebih orang
yang masuk Ancol tahun lewat, "sekitar 25% yang masuk ke
unit-unit usaha". Selebihnya, hanya raun-raun, atau duduk-duduk
di tepi danau dan pantai laut, atau berteduh dibawah pohon
rindang sembari gelar tikar dan menyantap bekal yang dibawa dari
rumah. "Semua itu gratis", kata Ciputra.
Sekarang mungkin timbul kekuatiran: apakah taman-taman hiburan
yang ada ini tidak saling menyedot konsumen? "Tidak", sahut
Syariful Alam. Jurubicara Balaikota itu menunjuk, "karena
masing-masing punya kekhususan". Alasan itu disepakati oleh Drs.
Kardono, manajer umum Taman Ria Remaja Senayan. "Bukan saling
menyedot", ujarnya, "tapi membagi rata arus pengunjung". Ini
sekaligus barangkali untuk menjawab kekuatiran lain. Yaitu
kemungkinan jenuhnya kebutuhan terhadap bentuk hiburan di suatu
tempat, lalu orang pergi ke tempat lain yang baru. Padahal
lapisan sosial pengunjung sama saja mereka yang mampu. Dengan
kata lain, pasar tetap terbatas, selama kemakmran belum cukup
merata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini