Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Taman lagi musim kembang

Pengunjung taman impian jaya ancol meningkat. nampaknya kelesuan yang melanda tempat-tempat hiburan lain, luput dari daerah rekreasi yang berupa "taman". dibangun sebuah bazar permanen.

14 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA terbilang sebuah kota pantai. Namun belum sendirinya memiliki pantai yang bisa dinikmati warganya. Oleh kebutuhan inilah muncul gagasan menggarap Ancol. Itu sudah diangan-angankan sekitar tahun 1960, dengan pembukaan daerah rawa dan belukar -- yang terkenal sebagai sarang monyet dan jin dengan pasir laut. Lalu terkatung-katung. Kemudian lewat sedikit tahun 1966, gubernur Ali Sadikin meliriknya agar tak keburu mubazir. Maka Ancol pun dibenahi sebagai salah satu proyek pemerintah DKI, yang diharap mampu memenuhi kebutuhan masyarakat akan daerah pantai yang santai. Sejak diresmikan delapan tahun silam, jumlah pengunjung Taman Impian Jaya, Ancol ini meningkat deras sekali. (1968 sekitar 200 ribu, tahun lalu mencapai 8 juta pengunjung). "Untuk tahun ini kalau harap akan bertambah sekitar 20% lagi", ujar Ir Ciputra, Dirut PT Pembangunan Jaya yang membawahi Proyek Ancol. Dari gambaran singkat itu nampak bahwa wabah lesu darah yang melanda tempat-tempat hiburan lainnya, mujur luput dari daerah rekreasi yang berupa "taman". Selain data Ancol, maka bisa pula disaksikan jumlah tamu di kawasan pertamanan di seantero kota. Taman Ria IRTI Monas di hari biasa sekitar 1500 lebih pada sore hari, lalu malamnya meliputi 6000 pengunjung. Begitu pula Taman Ria Remaja Senayan, seharinya tak kurang dari 5000 warga kota mengalir ke sana. Sedang hari Minggu mencapai 8000 orang. Sementara Taman Mini Indonesia Indah yang relatif baru itu sudah mampu menyedot sekitar 5 sampai 7000 pengunjung per-harinya. Rata-rata tarif masuk ke tempat rekreasi tersebut berkisar sekitar Rp 100 seorang. Angka-angka tadi belum terhitung jumlah warga kota yang sering makan angin di daerah hijau yang gratis. Dinas Pertamanan DKI telah menyelesaikan 20 buah halaman untuk permainan anak-anak. Juga membenahi serta membikin taman-taman kecil, yang seluruhnya meliputi 1/2 juta M2, serta pembuatan taman-taman besar seluas 149 Ha, komplit dengan lampu hias. Itulah yang berwujud taman di Lapangan Monas, Taman Christina Tiahau (yang disokong Pertamina) di Kebayoran Baru, pertamanan di kompleks Senayan, plus sejumlah taman yang dijuluki "taman lingkungan" yang terserak di 5 wilayah walikota sampai kecamatan dan RW. Tahun ini di Taman Impian Jaya Ancol sedang dibangun sebuah bazar yang permanen. Jika semula masih sekitar senirupa, nanti akan ada restoran dan hiburan juga. Semua berbentuk kios, dengan lorong yang tak lebih dari l l/2 M. Jadi mirip pasar senggol yang akrab bagi para pengunjungnya. Ingat Pasar Gambir zaman dulu? "Kita ingin bazar ini kelak seolah-olah merupakan kombinasi antara bazar modern dengan pasar malam Gambir yang lama itu", tutur Ciputra. Juga semacam Princen Park lama, tapi yang bersih 'yang sesuai dengan kebutuhan hygienis yang baru, kehidupan modern yang baru, untuk generasi yang baru tambahnya. Tidak besar-besaran, "tapi ada kesempatan untuk perluasan". Sebegitu jauh pemasukan dikatakan senantiasa ditanam lagi untuk memperluas lapangan usaha. Dan 3/4 daerah daratan yang meliputi 500 Ha lebih itu sudah digarap. Untuk selanjutnya pandangan diarahkan lagi ke arah laut, yang kelak direncanakan membangun Marina -- semacam taman laut 2 km dari pantai. Tapi itu masih waktu 5 lagi. "Gratis" Di taman hiburan ini terdapat sedikitnya 14 unit usaha, yang memungut bea tersendiri, setelah pengunjung beli karcis di pintu utama (siang Rp 75 dan malam Rp 100 seorang). Tarif masuk ini dipandang cukup patut, seperti dikemukakan oleh Walikota Jakarta Utara Dwinanto: "Tanpa bayar sama sekali, tak mungkin. Sulit dari segi pengamanan dan pembinaah". Pak Wali yang juga menjabat Ketua Proyek Otorita Ancol itu juga mengungkapkan: "Soalnya kita selalu bayar pajak". Perkara adanya keluhan yang menyebut kurangnya tempat hiburan gratis di dalam Ancol, Ciputra memandang sebagai "kurang tepat". Dari jumlah 8 juta lebih orang yang masuk Ancol tahun lewat, "sekitar 25% yang masuk ke unit-unit usaha". Selebihnya, hanya raun-raun, atau duduk-duduk di tepi danau dan pantai laut, atau berteduh dibawah pohon rindang sembari gelar tikar dan menyantap bekal yang dibawa dari rumah. "Semua itu gratis", kata Ciputra. Sekarang mungkin timbul kekuatiran: apakah taman-taman hiburan yang ada ini tidak saling menyedot konsumen? "Tidak", sahut Syariful Alam. Jurubicara Balaikota itu menunjuk, "karena masing-masing punya kekhususan". Alasan itu disepakati oleh Drs. Kardono, manajer umum Taman Ria Remaja Senayan. "Bukan saling menyedot", ujarnya, "tapi membagi rata arus pengunjung". Ini sekaligus barangkali untuk menjawab kekuatiran lain. Yaitu kemungkinan jenuhnya kebutuhan terhadap bentuk hiburan di suatu tempat, lalu orang pergi ke tempat lain yang baru. Padahal lapisan sosial pengunjung sama saja mereka yang mampu. Dengan kata lain, pasar tetap terbatas, selama kemakmran belum cukup merata.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus