Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Batam - Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), Lagat Siadari, angkat bicara terkait ancaman hilangnya ikon publik "Welcome to Batam" akibat terhalang bangunan apartemen. Kondisi ini belakangan menuai banyak keluhan dari wisatawan mancanegara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya kira Pemerintah Kota Batam, melalui wali kota terpilih, perlu mengkaji ulang proyek bangunan yang menutupi "Welcome to Batam" tersebut. Harus dilihat plus dan minusnya. Pemerintah juga perlu mendengarkan keluhan dan harapan masyarakat agar tidak ada penyesalan di kemudian hari," kata Lagat kepada Tempo, Selasa 17 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lagat mengaku heran bagaimana izin pembangunan bangunan itu bisa dikeluarkan, karena bangunan itu menutupi landmark ikonik Kota Batam. "Artinya, dalam pelaksanaannya ini, ada persetujuan dari Otorita Batam (BP Batam sebagai pengelola lahan) dan Pemerintah Kota Batam melalui Dinas PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu) terkait pemberian izin bangunan," ujarnya.
Meskipun bangunan tersebut sudah telanjur berdiri setinggi tiga lantai, Lagat meminta pemerintah daerah di Batam agar tidak tutup mata terhadap persoalan ini dan harus menanggapinya dengan serius. Lagat menekankan bahwa pemerintah harus berpihak kepada pelayanan publik yang adil bagi masyarakat.
Tempat khusus untuk berfoto
Lagat menawarkan beberapa solusi, salah satunya adalah membangun tempat khusus untuk berfoto sehingga tulisan "Welcome to Batam" tetap terlihat dan bisa menjadi spot foto wisatawan. "Dengan adanya space (tempat berfoto baru) itu, mudah-mudahan bisa menjawab keluhan masyarakat. Sehingga daya tarik Batam sebagai daerah tujuan wisata tidak berkurang," jelasnya.
Selain itu, ia juga mengusulkan agar landmark serupa dibangun di kawasan lain. "Atau, BP Batam dan Pemko Batam bisa membangun landmark baru di tempat yang lebih strategis. Lokasi "Welcome to Batam" saat ini strategis karena dekat dengan kantor pemerintah, pelabuhan internasional, dan tidak jauh dari Bandara Internasional Hang Nadim," tambah Lagat.
Permasalahan ini, kata Lagat, sebenarnya sudah pernah muncul beberapa tahun lalu, saat jabatan Kepala BP Batam dan Wali Kota Batam masih belum ex-officio. "Kalau sekarang bukan ex-officio, pasti ini sudah ramai dibicarakan. Kalau dulu, masalah kecil saja bisa meruncing. Saat itu, pernah terjadi polemik pemotongan bukit di sekitar "Welcome to Batam". Sekarang, lahannya dikelola oleh BP Batam dan izinnya dikeluarkan oleh Pemko Batam. Ini menunjukkan mereka seperti ‘bersekongkol’ menghilangkan ikon "Welcome to Batam"," katanya.
Lagat juga menyoroti pernyataan Sekretaris Daerah Kota Batam sebelumnya yang menyebut bangunan tidak akan menutupi ikon "Welcome to Batam". Namun, fakta di lapangan saat ini menunjukkan sebaliknya. "Ikon Batam itu penting. Pemerintah seharusnya memperhatikan ini. Jangan semua lahan dialokasikan untuk kebutuhan bisnis. Kalau terus seperti ini, bukan tidak mungkin bukit di sekitar "Welcome to Batam" juga akan digunduli," kata Lagat.
Begitu juga yang dikatakan pengamat pariwisata Kepulauan Riau Siska Mandalia. Ia juga mempertanyakan izin bangunan yang berdiri di depan landmark "Welcome to Batam". Padahal menurut, Siska di kawasan tersebut bisa dibangun lokasi atraksi wisata. "Padahal di kawasan itu bisa dibangun atraksi wisata, kenapa harus dibangun ruko?," kata dosen pariwisata yang sedang menjalankan kuliah doktor di University of Dundee Inggris itu.
Polemik landmark "Welcome to Batam" ditutupi bangunan apartemen
Sebelumnya, publik kembali dihebohkan dengan keluhan turis Malaysia yang tidak bisa berswafoto di ikon "Welcome to Batam". Hal ini terjadi karena sebagian tulisan landmark tersebut sudah tertutup oleh bangunan ruko yang sedang dibangun di depannya.
Keluhan juga datang dari pedagang UMKM di sekitar kawasan "Welcome to Batam". Mereka mengaku jumlah wisatawan yang datang menurun akibat polemik ini. Kepala Dinas Pariwisata Kota Batam, Ardiwinata, menyatakan bahwa pihaknya sudah menerima keluhan tersebut dan telah menyampaikannya kepada instansi terkait. "Dinas Pariwisata punya keterbatasan kewenangan. Namun, kami tetap berharap ikon ini bisa dipertahankan," kata Ardi belum lama ini.