TEMPO.CO, Jakarta - Teluk Berau, Papua, menyimpan potensi wisata bahari yang besar. Salah satunya di Arguni, pulau karang berbentuk unik di Teluk Berau, Fakfak, Papua Barat. Pulaunya berlekuk-lekuk dengan banyak tanjung dan teluk.
Pulaunya berpasir putih dan banyak anggrek liar tumbuh di pulau itu. Pesona bawah air sekitar Pulau Arguni juga tak kalah elok. Pecinta selam dan snorkeling, kerap menyambanginya sebagai alternatif destinasi selam yang mapan seperti Raja Ampat.
Secara sosiologis, Pulau Arguni juga menjadi pusat Pertuanan Arguni yang dipimpin oleh seorang raja bermarga Pauspaus. Rumah Raja Arguni ada di pulau ini. Ciri khas rumah Raja Arguni berdinding pelepah sagu. Perawakan Raja Arguni yang bule, membuat warga menyebutnya sebagai Raja Bule, karena secara turun temurun albino atau berkulit putih.
Wisatawan yang bertandang ke pulau itu, bisa menjumpai rumah-rumah warga yang berderet di samping jalan yang terbuat dari semen. Kumpulan rumah itu terus berderet ke atas bukit, mengikuti kontur topografi daratan.
Sehari-harinya, penduduk Arguni hanya mengandalkan air hujan sebagai sumber air bersih untuk dikonsumsi. Sedangkan untuk MCK, mereka mengandalkan air sumur yang payau.
Di seberang Pulau Arguni terdapat Pulau Kambing. Tak seperti namanya, di pulau itu tak seekor kambing pun yang dijumpai. Namun, pulau itu memiliki pasir putih dengan nyiur di sepanjang garis pantai.
Kambing-kambing di Pulau Arguni, meskipun berukuran kecil, mereka lincah dan mampu berlompatan di dinding tebing. Dok. Hari Suroto
Justru, kambing-kambing malah banyak di Pulau Arguni. Wisatawan bakal terheran-heran bila pertama kali bertandang ke sana. Pasalnya, populasi kambing di pulau ini lebih banyak daripada jumlah penduduk. Saat ini penduduk Arguni sekitar 300 KK. Kambing-kambing di Pulau Arguni oleh pemiliknya dibiarkan bebas berkeliaran begitu saja.
Untuk menandai kepemilikan masing-masing kambing, biasanya pemilik memberikan identitas kalung warna-warni dari tutup botol minuman. Pada umumnya, kambing-kambing Arguni berukuran tubuh kecil dan kurus karena harus berebut makanan dengan yang lain. Harga kambing ini cukup fantastis, Rp6 juta hingga 8 juta untuk seekor kambing jantan siap potong.
Tapi kambing-kambing itu terbilang lincah. Mereka mampu memanjat dinding karang yang terjal. Bahkan sangat lincah meloncat dari tebing karang yang satu ke tebing karang yang lain. Tidak jarang, ada saja kambing yang lompat jendela masuk ke dalam dapur mencari nasi.
Selain memelihara kambing, warga juga melaut mencari ikan. Dengan hasil perikanan yang melimpah, selain dijual ke British Petroleum LNG Tangguh, nelayan Arguni mengolah ikan menjadi ikan asin dan abon ikan.
Dibandingkan dengan kampung-kampung lainnya di Teluk Berau, Arguni cukup beruntung karena memiliki akses sinyal telepon seluler. Sekitar bulan Juli setiap tahunnya, Arguni menjadi destinasi wajib bagi wisatawan mancanegara. Kapal pesiar mereka buang sauh di dekat pulau itu. Dari Bali, biasanya kapal pesiar mampir ke Pulau Arguni sebelum menuju Raja Ampat.
Pulau Arguni mulai dikenal di Eropa ketika pada tahun 1678, pelaut Johannes Keyts berlayar di Teluk Berau. Ia membuat sketsa gambar-gambar tebing prasejarah di Teluk Berau. Tebing-tebing karst memang menjadi daya tarik lain pulau itu.
Tebing-tebing sarat dengan peninggalan prasejarah itu pula, yang pada 1937-1938, membuat tim ekspedisi the Forschungsinstitut fur Kulturmorphologie of the University of Frankfurt melakukan eksplorasi di Pulau Arguni.
Hasil eksplorasi di Pulau Arguni ditulis oleh J. Roder dengan judul Ergebnisse einer Probegrabung in der Hohle Dudumunir auf Arguni, Mac Cluer-Golf (Holl. West Neuguinea), 1940, yang menyebutkan keberadaan situs gua penguburan, situs hunian prasejarah dan situs lukisan tebing prasejarah berwarna merah di Teluk Berau, Fakfak.
Rumah-rumah warga mengikuti kontur tanah, berderet hingga perbukitan. Dok. Hari Suroto
Masyarakat setempat mempercayai warna merah pada gambar tebing prasejarah berasal dari darah dan terabadikan di bagian tengah dinding batu karang. Simbol berwarna merah itu sudah ada ribuan tahun lalu.
Untuk cap tangan berwarna merah, kisah lisan menuturkan, telah ada ketika nenek moyang mereka tenggelam dan sempat memegang Pulau Arguni.