Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Karangasem - Sejak pagi, ada kesibukan besar di Desa Adat Geriana Kauh, Desa Duda Utara, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem, Bali. Bangunan berdinding bambu seluas 100 meter persegi itu tampak megah. Pagi itu, warga desa sedang menyiapkan ritual terkait soft launching Museum Sanghyang Dedari Giri Amertha. Museum yang menyimpan sejarah mengenai Tari Sanghyang Dedari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan fondasi setinggi sekitar semester, bangunan berdinding bambu itu tampak megah. Di bawah langit Karangasem yang cerah, para hadirin berdoa dengan berbulat hati. Agar museum bersejarah itu, membawa berkah bagi desa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Desa yang berada di kaki Gunung Agung itu kini bukan jadi desa adat biasa. Pasalnya, di seantero Bali, hanya Karangasem yang memiliki Tari Sanghyang Dedari. Tarian ini merupakan bentuk puja puji terhadap dewa terutama yang mengatur bumi, agar panen selalu melimpah dan segala hama tak menghampiri pertanian dan perkebunan mereka.
“Ritual ini sudah ada sejak abad ke-8 dan terus hidup di zaman peralihan datangnya Hindu dari Majapahit pada abad ke-14,” ujar Dosen Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) Saraswati Putri, yang melakukan penelitian panjang Tari Sanghyang Dedari.
Museum Sanghyang Dedari Giri Amertha merupakan museum yang menyimpan sejarah Tari Sanghyang Dedari, yang nyaris punah. Dok. FIB UI
Apalagi, tarian ini masuk dalam delapan tarian di Bali yang menjadi warisan budaya UNESCO, “Ritual ini pernah terhenti pada 1965, lalu hidup lagi hingga 1995. Sangat sulit mencari penutur dan pemain gamelannya, hingga mati lagi 20-an tahun,” ujar Ketua Desa Adat Nyoman Subratha.
Sepanjang waktu itupula terjadi gagal panen, serangan hama wereng, dan berbagai hal yang merusak pertanian, kesejahteraan menurun, “Setelah ritual Tari Shangyang Dedari dibangkitkan kembali, hasil panen membaik,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Bupati Karanganyar, I Gusti Ayu Mas Sumantri mengatakan Tari Shangyang Dedari akan menjadi berkah bagi Karangasem, Terutama untuk meningkatkan kesejahteraan warga dari pertanian, “Selain itu museum ini sangat penting untuk edukasi dan mendatangkan wisatawan,” ujar I Gusti Ayu. Wisata religi dan budaya dalam rupa tarian ini, bisa menjadi salah satu solusi masalah yang ada di Karangasem.
“Daerah kami adalah daerah yang Pendapatan Asli Daerah atau PAD-nya rendah dan buta aksara tertinggi di Bali,” ujar I Gusti Ayu. Ia berharap, Museum Sanghyang Dedari Giri Amertha, bisa menjadi solusi dalam meningkatkan kesejahteraan warganya.
Bila memungkinkan, ia akan membangun lebih banyak museum – yang ia analogikan sebagai 1.000 museum. Dengan luas wilayah 84.000 hektar dengan delapan kecamatan dan 78 desa, sangat memungkinkan dibangun museum-museum untuk menyimpan budaya dan sejarah keunikan setiap desa adat.
Sawah padi organik di Karangasem bisa dikembangkan sebagai agrowisata dengan sistem ekowisata. Kabupaten ini memiliki Tari Sanghyang Dedari yang berkaitan erat dengan pertanian. Foto: Ayu Sulistyowati
Keberadaan museum ini juga mempertegas, bahwa Karangasem bangkit dari keterpurukan pariwisatanya, setelah terkena dampak erupsi Gunung Agung. Desa Duda Utara, menurut I Gusti Ayu, berpotensi mengembangkan argowisata berupa penanaman padi organik dan tanaman lainnya. Keunikan budaya dan tradisi, bisa mendorong ekowisata, di mana warga berpartisipasi melestarikan alam dan budaya, seperti yang dilakukan warga Desa Adat Geriana Kauh.
Mereka dengan semangat yang luar biasa, bekerja sama dengan FIB UI menghidupkan ritual Tari Sanghyan Dedari. Dengan demikian, menurut I Gusti Ayu, wisatawan menjadi tertarik untuk mengunjungi Geriana Kauh, bahkan juga mengunjungi Karangasem.