MUNCUL dengan pakaian biasa: celana panjang dan hem. Di lehernya
tergantung tustel. Ternyata ada gunanya ketika dari penonton ada
yang mengambil tampangnya, ia membalas. lni salah satu peserta
final dalam Lomba Lawak Mahasiswa di Teater Terbuka TIM, 16
Desember lalu.
Banyak penonton mendtlga ia bakal menang. Bagaimana tidak, kalau
penampilannya yang biasa ternyata bikin gel dari awal sampai
akhir dengan lelucor orisinil -- setidak-tidaknya jarang
terdengar.
Meski bawa tustel, ternyata ia tida memerankan seorang wartawan
-- tap penyiar radio swasta yang, konon, berstudio di tengah
hutan. Dan penyiarnya banyak -- malah ada yang wadam segala Ini
semua diperankan dia sendiri, tanpa ganti kostum tentunya.
Acara radio waktu itu: surat-surat Ada surat dari orangutan di
belantara Kalimantan untuk makua (ini nama gorila di kebun
binatang Surabaya, dengan ucapan: "Sombong lu, mentang-mentang
udah di Surabaya nggak mau balas surat ane." Demikianlah ucapan
ucapan dengan bahasa khas radio swast dihidupkan lagi dengan
lucu.
Pelawak ini ternyata cuma bisa menggaet nomor dua. Namanya
Krisna Purwana dari Sekolah Tinggi Publisistik Malam final itu
diikuti 6 peserta per orangan dan 2 peserta kelompok. Dibuka
dengan pemanasan oleh tiga dari empat pelawak Warung Kopi
Prambors (Kasino tak muncul). Masih terdengar suara-suara mulut
ternganga menyambut obrolan WKP ini. Padahal lelucon "jenggot
Gatot Subroto" misalnya sudah keseringan dilontarkan dan agak
membuat risih. Untung mereka tahu diri, sekedar tampil membuka
dan tak berkepanjangan.
Yang menarik malam itu ikut sertanya Kwartet dari Malang.
Kwartet lawak ini pernah menjuarai festival se-Jawa Timur. Dan
ternyata mereka memberi kita kesempatan membanding: bagaimana
sih, dagelan yang baik itu.
Soalnya mereka memang rapi dan kompak. Ada satu adegan yang
menggambarkan dosen memberi kuliah. Karena cepat sekali, ketiga
mahasiswanya tak bisa mencatat. Salah seorang ambil
kebijaksanaan: tugas mencatat dibagi. Masing-masing hanya
menulis sebagian: awal kalimat, tengahnya atau ekornya. Tapi
justru di situlah sumber keributan.
Klab Malam
Andaikata kwartet itu -- yang hanya ikut memeriahkan -- tampil
duluan kira-kira peserta lain bakalan susah. Lihat si juara
pertama, Ferrasta, dari Fakultas Sastra UI. Dia hanya pintar
mengambil jalan aman: begitu muncul langsung menyatakan diri
memerankan orang gila. Kalau nggak lucu dianggap gila benar,
kalau lucu ya, tertawalah. Atau juga Butet Delima, satu-satunya
peserta wanita yang malam itu terpaksa "nekad". Mahasiswi FSUI
ini ternyata disoraki penonton karena memang tak begitu
berhasil. Tapi ia malahan menyerang balik penonton. (la mengaku
cucu Hitler, tapi penonton tak memberi reaksi apa-apa).
Berbeda dengan sinyalemen sementara orang -- bahwa pelawak kita
lebih mengandalkan kelompok dan bukan lawak perorangan -- yang
keluar sebagai juara satu sampai tiga ternyata pelawak tunggal.
Dalam lomba ini memang tak dibedakan perorangan dan kelompok.
Sedang dari dua finalis kelompok ternyata hanya satu yang
mendapat hadiah, itu pun juara harapan II.
Pemenang juara III, dari Universitas Jakarta, bernama Rahmana.
Ia tampil sebagai banci yang sebentar-sebentar memperbaiki letak
dada palsunya -yang disebutnya"indo milk". Juara harapan I,
Taufik Husein dari IKIP Negeri Jakarta, beraksi dengan logat
Madura-sempat menembang Madura juga. Pelawak ini, yang jago
dalam menirukan suara apa saja, kira-kira bisa sangat berfungsi
andai tergabung dalam satu kelompok. Habis kalau cuma bisa
menirukan suara saja 'kan tidak lucu.
Para juri, yang dalam keputusannya sempat berpesan agar para
humoris "bisa menjaga nama baik sesuai dengan kode etik humor
yang baru akan mulai dipikirkan ", terdiri dari Ayatrohaedi,
Kasijanto, Arswendo, Mang Cepot dan Arwah Setiawan. Adakah para
juri merasa khawatir, dan berfikir tentang mutu -- atau nasib
--pelawak kita, barangkali? Dalam acara 'Ngobrol Humor', dua
hari sesudah lomba di Teater Arena, Kris Biantoro menuturkan
bahwa klab malam kita dewasa ini diserbu para pelawak dari
Pilipina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini