Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Salam buat makua dan filipina

Pemenang lomba lawak mahasiswa kali ini ternyata perorangan. pelawak kelompok hanya kebagian juara harapan ii. mutu lawak kita menurun.

30 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUNCUL dengan pakaian biasa: celana panjang dan hem. Di lehernya tergantung tustel. Ternyata ada gunanya ketika dari penonton ada yang mengambil tampangnya, ia membalas. lni salah satu peserta final dalam Lomba Lawak Mahasiswa di Teater Terbuka TIM, 16 Desember lalu. Banyak penonton mendtlga ia bakal menang. Bagaimana tidak, kalau penampilannya yang biasa ternyata bikin gel dari awal sampai akhir dengan lelucor orisinil -- setidak-tidaknya jarang terdengar. Meski bawa tustel, ternyata ia tida memerankan seorang wartawan -- tap penyiar radio swasta yang, konon, berstudio di tengah hutan. Dan penyiarnya banyak -- malah ada yang wadam segala Ini semua diperankan dia sendiri, tanpa ganti kostum tentunya. Acara radio waktu itu: surat-surat Ada surat dari orangutan di belantara Kalimantan untuk makua (ini nama gorila di kebun binatang Surabaya, dengan ucapan: "Sombong lu, mentang-mentang udah di Surabaya nggak mau balas surat ane." Demikianlah ucapan ucapan dengan bahasa khas radio swast dihidupkan lagi dengan lucu. Pelawak ini ternyata cuma bisa menggaet nomor dua. Namanya Krisna Purwana dari Sekolah Tinggi Publisistik Malam final itu diikuti 6 peserta per orangan dan 2 peserta kelompok. Dibuka dengan pemanasan oleh tiga dari empat pelawak Warung Kopi Prambors (Kasino tak muncul). Masih terdengar suara-suara mulut ternganga menyambut obrolan WKP ini. Padahal lelucon "jenggot Gatot Subroto" misalnya sudah keseringan dilontarkan dan agak membuat risih. Untung mereka tahu diri, sekedar tampil membuka dan tak berkepanjangan. Yang menarik malam itu ikut sertanya Kwartet dari Malang. Kwartet lawak ini pernah menjuarai festival se-Jawa Timur. Dan ternyata mereka memberi kita kesempatan membanding: bagaimana sih, dagelan yang baik itu. Soalnya mereka memang rapi dan kompak. Ada satu adegan yang menggambarkan dosen memberi kuliah. Karena cepat sekali, ketiga mahasiswanya tak bisa mencatat. Salah seorang ambil kebijaksanaan: tugas mencatat dibagi. Masing-masing hanya menulis sebagian: awal kalimat, tengahnya atau ekornya. Tapi justru di situlah sumber keributan. Klab Malam Andaikata kwartet itu -- yang hanya ikut memeriahkan -- tampil duluan kira-kira peserta lain bakalan susah. Lihat si juara pertama, Ferrasta, dari Fakultas Sastra UI. Dia hanya pintar mengambil jalan aman: begitu muncul langsung menyatakan diri memerankan orang gila. Kalau nggak lucu dianggap gila benar, kalau lucu ya, tertawalah. Atau juga Butet Delima, satu-satunya peserta wanita yang malam itu terpaksa "nekad". Mahasiswi FSUI ini ternyata disoraki penonton karena memang tak begitu berhasil. Tapi ia malahan menyerang balik penonton. (la mengaku cucu Hitler, tapi penonton tak memberi reaksi apa-apa). Berbeda dengan sinyalemen sementara orang -- bahwa pelawak kita lebih mengandalkan kelompok dan bukan lawak perorangan -- yang keluar sebagai juara satu sampai tiga ternyata pelawak tunggal. Dalam lomba ini memang tak dibedakan perorangan dan kelompok. Sedang dari dua finalis kelompok ternyata hanya satu yang mendapat hadiah, itu pun juara harapan II. Pemenang juara III, dari Universitas Jakarta, bernama Rahmana. Ia tampil sebagai banci yang sebentar-sebentar memperbaiki letak dada palsunya -yang disebutnya"indo milk". Juara harapan I, Taufik Husein dari IKIP Negeri Jakarta, beraksi dengan logat Madura-sempat menembang Madura juga. Pelawak ini, yang jago dalam menirukan suara apa saja, kira-kira bisa sangat berfungsi andai tergabung dalam satu kelompok. Habis kalau cuma bisa menirukan suara saja 'kan tidak lucu. Para juri, yang dalam keputusannya sempat berpesan agar para humoris "bisa menjaga nama baik sesuai dengan kode etik humor yang baru akan mulai dipikirkan ", terdiri dari Ayatrohaedi, Kasijanto, Arswendo, Mang Cepot dan Arwah Setiawan. Adakah para juri merasa khawatir, dan berfikir tentang mutu -- atau nasib --pelawak kita, barangkali? Dalam acara 'Ngobrol Humor', dua hari sesudah lomba di Teater Arena, Kris Biantoro menuturkan bahwa klab malam kita dewasa ini diserbu para pelawak dari Pilipina.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus