TIADA seorang juapun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang
secara sewenang-wenang (Pasal 9 Pernyataan Hak-hak Asasi
Manusia).
Hak-hak asasi manusia kembali dibicarakan dalam diskusi Persahi
pekan lalu di Jakarta. Cerita tertuduh yang digempur dalam
pemeriksaan pendahuluan dan tak mendapat bantuan hukum, seperti
tak pernah habis dikuras. Belum lagi kisah narapidana yang
digebuk sesamanya di lembaga pemasyarakatan.
Kesangsian dan ketakutan akan perangai para pelaksana hukum
tentu juga disinggung. Bukan rahasia lagi orang yang melek hukum
pun masih dihinggapi perasaan itu. "Perasaan ketakutan itu yang
musti dinilai, apa sebab manusia Indonesia merasa takut?" sebut
pengacara Mr. Yap Thiam Hien. Adakah hak-hak asasi manusia di
Indonesia sudah dilanggar, "Orang tidak akan ribut soal hak
asasi kalau tidak ada pelanggaran," kata Yap.
Diskusi Persahi (Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia)
memperingati hari Hak-hak Asasi Manusia minggu lalu jadi juga
berlangsung setelah tertunda beberapa hari dari rencana semula
karena menunggu izin. Hampir lima panelis di Gedung Panti Tri
Sula Jakarta itu mengungkapkan segi miring hak asasi manusia di
Indonesia. Sejak sektor kaum tani miskin sampai ke lembaga
legislatif disorot. "Kaum tani kita yang berada dalam hukum
rimba, masih belum mendapat pelayanan hukum yang baik," kata
paelis H. Siregar SH.
Iran
Sementara itu panelis Haryono Tjitrosubeno SH, mengecap DPR yang
masih terlalu asyik membicarakan soal-soal politik. Apa yang
tersirat di dalam GBHN menurut Sekjen Peradin (Persatuan Advocat
Indonesia) Pusat itu, baru berisi harapan-harapan saja. "UU
Hak-hak Asasi Manusia tidak pernah lahir, yang ada hanya
instruksi-instruksi Pangkopkamtib dan kepolisian," kata Harjono.
Ia juga mengecam sikap pemerintah yang terlalu memperhitungkan
pendekatan keamanan, sekalipun itu harus mengorbankan hak-hak
asasi manusia.
Sesungguhnya seperti dilihat bekas Menteri Dalam Negeri Mr.
Soenario, UUD '45 secara jelas menyatakan hakhak warga negara
Indonesia -- lebih jelas dari pernyataan hak-hak asasi manusia
sedunia. Tapi kalau toh tidak dijalankan secara murni, Soenario
kuatir, "saya takut kalau UUD '45 akan dijadikan sebagai pedoman
saja."
Memang seperti dilihat Ketua Peradin Pusat -- S. Tasrif SH dan
bekas anggota DPR RO Tambunan SH, meskipun pembangunan ekonomi
Indonesia maju pesat, tapi soal perlindungan hak-hak asasi masih
jauh tertinggal. "Kok di dalam negara Indonesia ini sampai
muncul UU anti subversi yang melar seperti karet," sebut Tasrif.
Ketua Peradin Pusat ini menyarankan, agar pemerintah segera
menterapkan hak-hak asasi manusia seperti yang tercantum dalam
UUD '45.
Tampaknya hanya panelis ir. Sarwono Kusumaatmaja yang masih
optimis. Meskipun dalam beberapa hal banyak segi hak asasi di
Indonesia tertinggal, "saya masih percaya para pemimpin
Indonesia, masih setia pada konsensus cita-cita negara
Indonesia," katanya. "Soal hak asasi manusia Indonesia tidak
begitu tertinggal seperti negara berkembang lainnya, Iran
misalnya. ' Penampilan Sarwono, memang berbeda dengan panelis
atau pembicara lain yang lebih banyak memuntahkan uneg-unegnya.
Tak kurang seperti Princen, Ketua Lembaga Pembela Hak-hak Asasi
Manusia, maupun Tambunan, masih bersikap hati-hati menanggapi
pernyataan bersama 6 pejabat tinggi bidang hukum (TEMPO 23
Desember 1978). Tapi dengan nada selaras keduanya toh, masih
pesimis untuk melihat seorang tertuduh akan mendapat bantuan
hukum (pembela) sejak pemeriksaan pendahuluan.
Panel diskusi itu tampaknya belum memberikan pilihan yang
terbaik -- terutama jika dilihat temanya: Inventarisasi Hak-hak
Asasi Manusia Menyongsong Pelita III. Yang penting, mungkin
seperti dikatakan Albert Hasibuan SH, moderator, adalah
memberikan penerangan soal hukum sampai ke rakyat di desa.
"Harus difikirkan juga, kalau kesehatan dibikinkan Puskesmas,
apa tidak perlu soal hukum ini di-Puskesmas-kan? Supaya rakyat
tahu hak-haknya," kata Albert.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini