Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pendidikan ? Saya Juga Punya Ide

Banyak anak yang baru diizinkan sekolah, setelah membantu pekerjaan orang tuanya. Untuk mengatasinya di perlukan sekolah khusus yang menjurus pada penguasaan satu bidang.

30 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA: Anaknya tidak sekolah, pak? Dia : Wah, susah, pak. Saya lihat kalau sudah tamat anak-anak tidak pada mau membantu bapaknya. Cari keria juga nggak dapat-dapat! (Suara naik, mata sedikit mendelik) PAK nelayan pantai Carita yang saya wawancarai itu mustinya sedang bercanda. Yang benar ah. Masa' iya sekolahan demikian jeleknya. Tapi, yah, itu pendapat orang yang saya harus hormati -- walaupun dalam hati saya anggap sebagai bercanda kampungan. Bercanda cara kota lain lagi. Dan tidak kalah kocaknya. Misalnya saja mengenai Sekolah Pembangunan. Kalau kuping anda cukup tajam, anda akan dapat memonitor kata-kata bersayap yang banyak berseliweran di sekitar sekolah-sekolah jenis ini. Begini: "Guru-guru yang terbaik ditarik ke sekolah pembangunan jadi, kalau sekolah pembangunan jalan, sekolah-sekolah non-pembangunan tidak jalan .... " Wallahualam bissawaab. Masih mengenai sekolahan kota, ada yang lebih kenes lagi bercandanya. Yaitu sekolah percobaan yang merentepkan SD, SMP dan SMA yang seharusnya 12 tahun jadi cuma 11 tahun saja. Dalam hal yang satu ini, anjuran untuk ber-KISS benar-benar merupakan lip-service. Jelas tidak ada koordinasi misalnya saja dengan kantor-kantor ketenaga-kerjaan, yang akan kecolongan sekian-sekian blanko formulir pengangguran, setahun lebih cepat dari biasanya. Ongko Loro Memang sekali-sekali keluar lelucon segar dari dunia pendidikan di negeri ini Barangkali karena yang menyusun konsep-konsep seperti itu tadi adalah para guru kawakan, yang sudah lama jadi orang kota sehingga tidak pernah ketemu dengan nelayan pantai Carita, atau bahkan barangkali sudah tidak mengajar lagi. Memang barangkali diperlukan seorang dari luar dunia pendidikan untuk menolong memperlihatkan keadaan pada proporsi yang baik. Misalnya pak Jenderal yang Gubernur di Sumut, yang menganjurkan agar murid-murid di sebuah kampung nelayan diizinkan sekolah siang atau sore, supaya bisa membantu orang tua di pagi hari. Anjuran yang satu ini jelas bukan bercanda. Selama lebih 24 tahun jadi guru, baru kali ini saya dapat mengatakan "Ini gagasan baru!" Dan bertolak dari ide pak Gubernur ini, dibumbui dengan banyolan pak nelayan pantai Carita, saya sampai pada suatu ide yang akan saya paparkan di bawah ini. Tapi, yang ini baru gagasan! Di negeri tercinta ini ada banyak anak-anak yang tidak tertampung di sekolah-sekolah yang ada, ada banyak anak yang tertampung, tapi menuntut kelonggaran-kelonggaran seperti yang disinyalir pak Gubsu ada banyak pula yang tertampung tapi memilih untuk tidak saja, seperti pak nelayan. Dibandingkan dengan penduduk Indonesia, jumlah mereka mungkin kecil saja. Tapi, setiap dua tiga tahun saja mereka nungkin sudah melebihi jumlah penduduk Singapura: Daripada nanti kita harus keluar uang untuk PBH atau KPD, agakliya baik mulai ditanggulangi dari sekarang. Dalam sejarah pendidikan banyak kita jumpai bentuk sekolah yang bisa sesuai tak usahlah kita harus menciptakan yang baru. Ambillah misalnya Sekolah Ongko Loro yang tiga tahun, kawinkan itu dengan "One class-room scool" dari the Wild, Wild West di Amerika sono. Batasi tujuannya pada dua hal saja: menyiapkan anak didik untuk melanjutkan pelajaran di kelas IV SD, dan/atau memberikan penguasaan yang lebih baik atas lingkungannya, sehingga kalau dia jadi nelayan dia akan jadi nelayan yang lebih baik, kalau petani, ya petani yang lebih baik. Dan, jangan ditentukan jam belajar serta tahun berakhirnya sekolah. Murid yang baru akan duduk di depan jika sudah bertambah besar pindah ke belakang tambah besar lagi, pindah lagi sampai satu saat dia terlempar melalui pintu belakang (tiga, empat, atau lima tahun kemudian). Itu tandanya dia sudah lulus. Kalau soal ruangan tunggal ini bisa diatasi -- di rumah lurah atau langgar - maka tinggal satu masalah saja yang harus dipikirkan: guru. Sebagai stoot capital tentu saja SPG dan IKIP. Tapi tidak pula salah kalau kita coba-coba menantang para yang berpredikat mahasiswa. Mereka 'kan katanya calon pemimpin di abad mendatang. 'Kan tidak enak menjadi pemimpin dari rakyat yang bodoh? Atau barangkali pendapat seperti ini tidak relevan? Terserahlah. Mereka semua jelas dapat dijadikan modal pertama. Sedangkan untuk suku-cadang, barangkali kita harus pula nlenghidupkan sistim leerling seperti di zaman kolonial dulu. Kalau dulu itu berhasil. bahkan menelorkan para pemimpin yang ada sekarang, apa pasal sekarang tidak bisa? Yang jelas mereka akan mendapat uang saku yang cukupan, di samping credit points yang sewaktu-waktu dapat langsung ditukarkan dengan beasiswa belaiar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus