SAYA: Anaknya tidak sekolah, pak?
Dia : Wah, susah, pak. Saya lihat kalau sudah tamat anak-anak
tidak pada mau membantu bapaknya. Cari keria juga nggak
dapat-dapat! (Suara naik, mata sedikit mendelik)
PAK nelayan pantai Carita yang saya wawancarai itu mustinya
sedang bercanda. Yang benar ah. Masa' iya sekolahan demikian
jeleknya. Tapi, yah, itu pendapat orang yang saya harus hormati
-- walaupun dalam hati saya anggap sebagai bercanda kampungan.
Bercanda cara kota lain lagi. Dan tidak kalah kocaknya. Misalnya
saja mengenai Sekolah Pembangunan. Kalau kuping anda cukup
tajam, anda akan dapat memonitor kata-kata bersayap yang banyak
berseliweran di sekitar sekolah-sekolah jenis ini. Begini:
"Guru-guru yang terbaik ditarik ke sekolah pembangunan jadi,
kalau sekolah pembangunan jalan, sekolah-sekolah non-pembangunan
tidak jalan .... " Wallahualam bissawaab.
Masih mengenai sekolahan kota, ada yang lebih kenes lagi
bercandanya. Yaitu sekolah percobaan yang merentepkan SD, SMP
dan SMA yang seharusnya 12 tahun jadi cuma 11 tahun saja. Dalam
hal yang satu ini, anjuran untuk ber-KISS benar-benar merupakan
lip-service. Jelas tidak ada koordinasi misalnya saja dengan
kantor-kantor ketenaga-kerjaan, yang akan kecolongan
sekian-sekian blanko formulir pengangguran, setahun lebih cepat
dari biasanya.
Ongko Loro
Memang sekali-sekali keluar lelucon segar dari dunia pendidikan
di negeri ini Barangkali karena yang menyusun konsep-konsep
seperti itu tadi adalah para guru kawakan, yang sudah lama jadi
orang kota sehingga tidak pernah ketemu dengan nelayan pantai
Carita, atau bahkan barangkali sudah tidak mengajar lagi.
Memang barangkali diperlukan seorang dari luar dunia pendidikan
untuk menolong memperlihatkan keadaan pada proporsi yang baik.
Misalnya pak Jenderal yang Gubernur di Sumut, yang menganjurkan
agar murid-murid di sebuah kampung nelayan diizinkan sekolah
siang atau sore, supaya bisa membantu orang tua di pagi hari.
Anjuran yang satu ini jelas bukan bercanda.
Selama lebih 24 tahun jadi guru, baru kali ini saya dapat
mengatakan "Ini gagasan baru!" Dan bertolak dari ide pak
Gubernur ini, dibumbui dengan banyolan pak nelayan pantai
Carita, saya sampai pada suatu ide yang akan saya paparkan di
bawah ini. Tapi, yang ini baru gagasan!
Di negeri tercinta ini ada banyak anak-anak yang tidak
tertampung di sekolah-sekolah yang ada, ada banyak anak yang
tertampung, tapi menuntut kelonggaran-kelonggaran seperti yang
disinyalir pak Gubsu ada banyak pula yang tertampung tapi
memilih untuk tidak saja, seperti pak nelayan. Dibandingkan
dengan penduduk Indonesia, jumlah mereka mungkin kecil saja.
Tapi, setiap dua tiga tahun saja mereka nungkin sudah melebihi
jumlah penduduk Singapura: Daripada nanti kita harus keluar uang
untuk PBH atau KPD, agakliya baik mulai ditanggulangi dari
sekarang. Dalam sejarah pendidikan banyak kita jumpai bentuk
sekolah yang bisa sesuai tak usahlah kita harus menciptakan
yang baru.
Ambillah misalnya Sekolah Ongko Loro yang tiga tahun, kawinkan
itu dengan "One class-room scool" dari the Wild, Wild West di
Amerika sono. Batasi tujuannya pada dua hal saja: menyiapkan
anak didik untuk melanjutkan pelajaran di kelas IV SD, dan/atau
memberikan penguasaan yang lebih baik atas lingkungannya,
sehingga kalau dia jadi nelayan dia akan jadi nelayan yang lebih
baik, kalau petani, ya petani yang lebih baik. Dan, jangan
ditentukan jam belajar serta tahun berakhirnya sekolah. Murid
yang baru akan duduk di depan jika sudah bertambah besar pindah
ke belakang tambah besar lagi, pindah lagi sampai satu saat
dia terlempar melalui pintu belakang (tiga, empat, atau lima
tahun kemudian). Itu tandanya dia sudah lulus.
Kalau soal ruangan tunggal ini bisa diatasi -- di rumah lurah
atau langgar - maka tinggal satu masalah saja yang harus
dipikirkan: guru. Sebagai stoot capital tentu saja SPG dan IKIP.
Tapi tidak pula salah kalau kita coba-coba menantang para yang
berpredikat mahasiswa. Mereka 'kan katanya calon pemimpin di
abad mendatang. 'Kan tidak enak menjadi pemimpin dari rakyat
yang bodoh?
Atau barangkali pendapat seperti ini tidak relevan? Terserahlah.
Mereka semua jelas dapat dijadikan modal pertama. Sedangkan
untuk suku-cadang, barangkali kita harus pula nlenghidupkan
sistim leerling seperti di zaman kolonial dulu. Kalau dulu itu
berhasil. bahkan menelorkan para pemimpin yang ada sekarang, apa
pasal sekarang tidak bisa? Yang jelas mereka akan mendapat uang
saku yang cukupan, di samping credit points yang sewaktu-waktu
dapat langsung ditukarkan dengan beasiswa belaiar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini