Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Perjalanan

Serunya Makepung, Balapan Kerbau di Jembrana

Namun yang digunakan dalam Makepungi adalah kerbau dan bukan sapi, karena sapi dianggap hewan suci di Bali.

17 November 2017 | 17.30 WIB

Tiga orang peserta memacu kerbaunya saat tradisi Mekepung atau pacuan kerbau di Desa Tuwed, Melaya, Jembrana, Bali, (12/8). Ajang tahunan setelah masa panen itu diikuti 209 peserta untuk memperebutkan piala Bupati Jembrana 2012 sekaligus memperingati HUT ke-67 Proklamasi Kemerdekaan RI. Tempo/Johannes P. Christo
material-symbols:fullscreenPerbesar
Tiga orang peserta memacu kerbaunya saat tradisi Mekepung atau pacuan kerbau di Desa Tuwed, Melaya, Jembrana, Bali, (12/8). Ajang tahunan setelah masa panen itu diikuti 209 peserta untuk memperebutkan piala Bupati Jembrana 2012 sekaligus memperingati HUT ke-67 Proklamasi Kemerdekaan RI. Tempo/Johannes P. Christo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Bali - Jika Madura mempunyai tradisi karapan sapi, tradisi serupa juga terdapat di Kota Jembrana, Bali. Namun yang digunakan disini adalah kerbau bukan sapi, karena sapi dianggap hewan suci di Bali. Di Pulau Dewata, tradisi ini disebut Makepung. Tanggal 19 November, akan digelar final balapan di Sirkuit Delodberawah, kabupaten Jembrana, Bali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Makepung dalam bahasa Indonesia berarti berkejar-kejaran. Tradisi Makepung digelar bertepatan saat panen raya, yakni mulai bulan Juli sampai November sebagai ungkapan rasa syukur para petani atas keberhasilan di sawah atau ladang mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tradisi ini awalnya hanyalah permainan para petani yang dilakukan di sela-sela kegiatan membajak sawah di musim panen. Lama kelamaan kegiatan ini pun menjadi tradisi di kabupaten Jembrana.

Bahkan sekarang ini, Makepung tidak hanya diikuti oleh kalangan petani saja. Para pegawai dan pengusaha dari kota pun banyak yang menjadi peserta maupun supporter. Apalagi, dalam sebuah pertarungan besar, Gubernur Cup misalnya, peserta makepung yang hadir bisa mencapai sekitar 300 pasang kerbau atau bahkan lebih.

Sirkuit yang digunakan berbentuk letter U dengan panjang lintasan 1 – 2 km. Biasanya pacuan dilangsungkan setiap hari Minggu, mulai dari babak-babak penyisihan sampai final.

Agar lebih semarak, kerbau peserta Makepung dihiasi berbagai macam pernak-pernik berupa mahkota yang dipasang di kepala kerbau dan bendera hijau atau merah di masing-masing cikar.

Berbeda dengan karapan sapi Madura ataupun event yang bersifat race lainnya, makepung mempunyai aturan yang sedikit unik. Pemenang lomba ini bukan hanya ditentukan dari siapa atau pasangan kerbau mana yang berhasil mencapai garis finish pertama, akan tetapi juga dari jarak antar peserta yang sedang bertanding.

Artinya, seorang peserta akan dianggap sebagai pemenang bila ia menjadi yang terdepan saat mencapai finish dan mampu menjaga jarak dengan peserta di belakangnya, sejauh 10 meter.

Namun, bila pasangan kerbau yang berada di belakang bisa mempersempit jarak dengan peserta di depannya, menjadi kurang dari 10 meter, maka pasangan kerbau yang di belakang itulah yang akan keluar sebagai pemenang. Perlombaan diselesaikan dalam hitungan delapan sampai sepuluh menit dalam setiap race-nya.

Namun, bagi para pecinta binatang tradisi ini mungkin menjadi pemandangan yang mengenaskan. Pasalnya, kerbau-kerbau pacuan tersebut dipacu dengan tongkat bergigi paku dengan sekuat tenaga oleh sang joki.

Akibat pukulan yang bertubi-tubi dari sang joki, kerbau-kerbau ini mengalami luka lecet pada punggung mereka. Namun menurut pemilik kerbau, luka-luka ini bisa cepat disembuhkan dengan obat tertentu. Salah satunya dengan getah hasil kerikan batang pohon pisang muda yang masih segar.

BERBAGAI SUMBER  SALMA HABIBAH

 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus