Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Di Kota Agung, Tanggamus, Lampung, azan isya baru saja bergema, tapi jalan-jalan cukup sepi. Saya dan kawan-kawan melahap makan malam di sebuah rumah makan Padang. Perjalanan masih panjang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Malam itu, kami akan membelah Taman Nasional Bukit Barisan, menuju Tanjung Setia di Pesisir Barat. Jadwal keberangkatan terlalu sore dari Bandar Lampung, jadi malam hari masih di Kota Agung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jarak Bandar Lampung ke Tanjung Setia sekitar 273 kilometer. Melewati kota Pring Sewu, dan sebagian wilayah Tanggamus terbilang masih terang, tapi memasuki Kota Agung yang merupakan ibukota Kabupaten Tanggamus, langit sudah gelap.
Saya dan kawan-kawan agak terdiam menghadapi perjalanan panjang ini. Jalur setelah Kota Agung hingga wilayah pesisir barat Lampung bisa disebut sangat sepi. Kedua sisi jalan merupakan wilayah Taman Nasional Bukit Barisan.
Setelah kenyang dan rehat dianggap cukup, saatnya untuk berangkat. Tentunya, dengan melafalkan doa terlebih dulu agar tak terjadi sesuatu hal yang tak diinginkan. Baik dengan kendaraan maupun hal lainnya.
Baca Juga:
Kendaraan melaju, ketika menemukan sebuah warung di sisi kanan, salah seorang kawan berucap, “Itu warung terakhir, setelah itu hutan”. Saya melirik persediaan minuman dan camilan, tampaknya aman. Lagipula malam hari, saya pikir enaknya mungkin tidur saja.
Namun, mata tak bisa terpejam. Saat rimbun pepohonan mulai memenuhi sisi kiri-kanan jalan, teman pun berucap, “Ini sudah memasuki taman nasional”. Mata saya langsung melotot, melihat kiri-kanan jalan. Entah lah apa sebenarnya yang dikhawatirkan, binatang liar, atau manusia buas?
Semua terdiam. Menyatu dengan hening dari sekeliling jalur yang dilewati. Tiba-tiba ada cahaya dari arah belakang. “Alhamdulillah ada kendaraan lain,” ucap kawan itu.
Kendaraan tersebut pun menyalip dan kami pun berusaha terus berada di belakangnya. Hati mulai tenang dan mata saya yang mulai lelah pun, akhirnya tertutup. Saya terlelap, hingga suara desir ombak mulai terdengar.
Pintu gerbang memasuki Tanjung Setia Resort, yang berada di Desa Tanjung Setia, Kecamatan Pesisir Selatan, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung. Tempo/Amston Probel
Aha… pantai sudah ada di sisi kiri saya. Ombak yang ramai memeriahkan perjalanan yang semula hening. Kecemasan pun benar-benar hilang, hingga pukul 22.00, saya memasuki Kawasan Tanjung Setia Resort. Area tanjung dengan ombak yang digandrungi para peselancar mancanegara.
Berada di Pekon atau Desa Tanjung Setia, Kecamatan Pesisir Selatan, Kabupaten Pesisir Barat, malam itu saya hanya mendengar debur ombak yang kencang sekali. Pantai tak bisa terlihat, terlalu gelap. Jadi lah memilih tidur.
Pagi menghirup udara segar, saya baru menikmati pantai pasir putih di Tanjung Setia. Air surut di pagi hari, berbeda dengan malam hari, air laut tak jauh dari homestay.
Para peselancar berkulit putih mulai berkeliaran meski baru sekitar pukul 07.00. Papan selancar ukuran besar itu tak ketinggalan dipegang kuat. Karena surut, aksi pagi ini cukup jauh dari pantai.
Menurut Dewi, pemilik salah satu homestay di Tanjung Setia, peselancar kebanyakan dari Eropa, Australia dan Amerika. Ada beberapa juga dari Jepang. “Mereka bisa tinggal 2 minggu di sini,” ujarnya.
Bagi yang tidak bisa bermain dengan ombak di destinasi ini, asyik juga mencermati hewan-hewan laut yang terbawa ke pantai di pagi hari. Mereka bersembunyi di antara karang-karang. Ketika air mulai pasang, bermain di pasir pantai yang bersih pun bisa jadi pilihan. Selain itu, daerah wisata ini juga terkenal sebagai spot untuk menikmati keindahan mentari tenggalam.
RITA NARISWARI