Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Syair Linon dan Smong dari Simeulue, Pesan Mitigasi Bencana Lewat Cerita Lokal

Meski gempa dan tsunami pada 2004 meluluhlantakkan bangunan, tapi jumlah korban meninggal di Simeulue hanya enam orang.

20 Mei 2022 | 07.27 WIB

Tumpukan material akibat gempa bumi 9,3 SR dan gelombang tsunami di kota Banda Aceh, pada 26 Desember 2004. Salah satu gempa terkuat yang pernah terjadi di Indonesia ini merenggut 160.000 korban jiwa dan juga berdampak hingga wilayah Sri Lanka, India, dan Thailand. Dok. TEMPO.
material-symbols:fullscreenPerbesar
Tumpukan material akibat gempa bumi 9,3 SR dan gelombang tsunami di kota Banda Aceh, pada 26 Desember 2004. Salah satu gempa terkuat yang pernah terjadi di Indonesia ini merenggut 160.000 korban jiwa dan juga berdampak hingga wilayah Sri Lanka, India, dan Thailand. Dok. TEMPO.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Peristiwa gempa dan tsunami yang melanda Aceh dan Simeulue pada 2004 belum sepenuhnya hilang dari ingatan. Terlebih, musibah itu merenggut tak kurang dari 200 ribu jiwa dan meluluhlantakkan kota.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jatuhnya banyak korban kala itu diduga karena masyarakat tak tahu soal tsunami dan dampaknya, sehingga sebagian dari mereka justru berbondong-bondong mengambil ikan yang terdampar di bibir pantai semasa air laut surut sesaat setelah gempa. Suara gemuruh yang terdengar sebelum air bah menerjang daratan ketika itu dikira suara pesawat dan tidak dianggap sebagai pertanda bahaya sehingga tidak ada yang berinisiatif untuk menjauhi daerah pantai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Penghuni wilayah umumnya baru bergerak menuju ke dataran tinggi setelah menyaksikan air laut menerjang dan memporak-porandakan daerah mereka. Korban jiwa pun berjatuhan. Namun, tidak demikian yang terjadi di Pulau Simeulue dan gugusan pulau di sekitarnya.

Meski gempa dan tsunami membuat rumah-rumah warga dan bangunan fasilitas publik di pulau itu hancur lebur sebagaimana yang terjadi di Aceh, namun jumlah korban jiwa di pulau di sisi barat Aceh yang posisinya lebih dekat dengan pusat gempa itu tergolong tidak banyak. Dalam catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Simeulue, warga Simeulue yang meninggal saat gempa dan tsunami melanda 18 tahun lalu hanya enam orang dan mereka pun sebelumnya menderita stroke dan penyakit jantung.

Padahal kerusakan yang terjadi akibat bencana itu parah. "Kalau kerusakan akibat gempa dan tsunami dulu Kabupaten Simeulue ini cukup parah, banyak bangunan, rumah penduduk, serta fasilitas umum yang hancur akibat gempa dan tsunami tahun 2004 silam. Namun untuk korban jiwa cukup sedikit," kata Kepala BPBD Simeulue Zulfadli.

Korban jiwa akibat gempa dan tsunami di Simeulue tidak banyak karena umumnya warga sudah mengetahui tanda-tanda bencana sehingga segera menyelamatkan diri. Bahkan ada desa di kabupaten tersebut yang seluruh warganya meninggalkan desa dan pindah ke daerah yang berada jauh dari pinggir pantai.

Kemampuan mitigasi masyarakat Simeulue tidak lepas dari pengetahuan mereka mengenai linon dan smong atau gempa bumi dan tsunami yang pernah melanda wilayah Simeulue 115 tahun silam pada 1907. Bencana yang merenggut banyak nyawa manusia dan hewan ternak itu diceritakan secara turun-temurun di daerah Simeulue, sehingga melekat di benak setiap individu.

Hikayat linon dan smong yang mengisahkan tragedi gempa dan gelombang besar yang pernah melanda pulau itu membantu menyelamatkan lebih dari 80 ribu orang yang menghuni 10 wilayah kecamatan di Kabupaten Simeulue. Hikayat tersebut disampaikan lewat nyanyian.

Enggelmon Sao curito (Dengarlah sebuah cerita)
Inang maso semonan (pada masa jaman dulu)
Manoknop sao fano (tenggelam satu tempat)
Wila dasesewan (Begitulah mereka ceritakan)
Unenne Alek Linon (Diawali dengan gempa)
Besang bakatne Malli (Disusul ombak yang besar sekali)
Manoknop Sao hampong (Tenggelam seluruh kampung)
Tibo-tibo Mawi (Tiba-tiba saja)
Anga linonne Malli (Kalau gempanya kuat)
Uwek surui sahuli (Disusul air surut sekali)
Mahea mihawali (Segera cari)
Fanome singa tenggi (Tempat kalian yang lebih tinggi)
Ede Smong kahanne (Itulah Smong namanya)
Turiang da nenekta (Sejarah nenek moyang kita)
Miredem teher ere (Ingatlah ini betul-betul)
Pesan dan navida (Pesan dan nasihatnya)

Syair tentang linon dan smong itu merupakan bagian dari langkah mitigasi penduduk Simeulue. Selain lewat syair, mereka menyampaikan tragedi akibat gempa dan tsunami pada masa lalu lewat seni tradisional Nandong dan nanga-nanga yang biasa dilantunkan oleh orang tua pada bayi mereka di ayunan.

"Cerita linon dan smong ini disampaikan melalui banyak cara, bahkan sejak seseorang masih baru lahir cerita linon dan smong ini telah disampaikan, salah satunya lewat nanga-nanga ini," kata Sarman Jayadi, seorang tokoh masyarakat Simeulue.

Lewat syair, penduduk Simeulue terus menyampaikan pengingat kepada keturunan mereka untuk mewaspadai kemungkinan terjadi bencana gempa dan tsunami. Berkat itu, penduduk Kabupaten Simeulue menyelamatkan dari bencana linon dan smong pada 2004. "Salah satu penyebabnya karena masyarakat Simeulue saat gempa tidak mendekati air laut, tapi sebaliknya, secara bersama-sama mencari tempat yang tinggi, seperti dalam cerita linon dan smong yang diceritakan secara turun temurun itu," ujar Sarman.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus