Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Cirebon - Bikhuni Vajracharya Lian Zui menutup mata kemudian melantunkan doa di Pemakaman Tinghoa Ku Tiong, Penggung, Kota Cirebon. Sesekali tangannya membunyikan lonceng ke berbagai arah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca: Festival Ceng Beng, Apa Saja yang Harus Dibawa?
Di depannya, terlihat berbagai suguhan, mulai dari aneka minuman sampai nasi lengkap dengan berbagai lauk dan pauk. Selain doa, lantunan nada juga beberapa kali dinyanyikan.
Masyarakat Tinghoa yang hadir turut berdoa bersama. Selesai berdoa, uang-uangan yang dibuat dari kertas beraneka warna dibakar. Lingpai atau papan doa juga ikut dibakar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Ini rangkaian ritual Ceng Beng,” kata Halim, Sekretaris Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia atau PSMTI, Cirebon, Sabtu, 6 April 2019. Dia menceritakan, ritual Ceng Beng berasal dari seorang anak dari keluarga miskin yang merantau.
Anak itu bertekad tak bakal pulang ke kampung halamannya jika belum sukses. Waktu berlalu dan anak tadi berhasil menjadi orang kaya di perantauan. Dia kemudian pulang.
Sayang, sesampainya di kampung halaman, anak tersebut tidak menemukan orang tuanya. Kalaupun mereka sudah meninggal, dia ingin tahu di mana makamnya. Anak tadi kemudian memerintahkan semua orang membersihkan makam.
Akhirnya ditemukan dua makam yang belum dibersihkan. “Sang anak meyakini makam yang belum dibersihkan itu adalah makam kedua orang tuanya. Sejak itu, ritual Ceng Beng ini dilakukan,” kata Halim.
Jika dipadukan antara kalender Masehi dan Tionghoa, Ceng Beng jatuh pada Jumat, 5 April 2019. Masyarakat Tionghoa di Cirebon rutin menggelar tradisi ini di Pemakaman Tinghoa Ku Tiong, Penggung, Kota Cirebon.
Berbagai alasan melatarbelakangi mereka menghidupkan kembali tradisi Ceng Beng di pemakaman Ku Tiong. Selain mendoakan arwah leluhur, baik arwah yang masih memiliki keturunan maupun yang terlantar, juga untuk menjaga agar pemakaman tersebut tidak diserobot.
Saat ini warga Tionghoa di Cirebon terancam kehilangan lahan pemakaman tersebut. Seorang warga Tionghoa yang melakukan ritual Ceng Beng, Hadi Susanto mengatakan pemakaman yang sudah ada sejak zaman Belanda tersebut seringkali diserobot.
Ironisnya, ada yang sengaja membongkar makam dan menjual lahannya. Dengan begitu, beberapa bangunan yang ada saat ini berdiri di atas lahan yang dulunya adalah makam. Akibat jual beli lahan makan tersebut, luas pemakaman yang seharusnya sekitar 25 hektare, kini telah jauh berkurang.
Hadi Susanto meminta Pemerintah Kota Cirebon melestarikan Pemakaman Ku Tiong. Caranya, misalnya dengan membuat tembok pembatas, gerbang, atau sekaligus dijadikan ruang terbuka hijau. “Karena kawasan ini sebenarnya sudah ditetapkan sebagai kawasan hijau,” kata Hadi.
Wakil Wali Kota Cirebon, Eti Herawati mengatakan masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan terkait Pemakaman Ku Tiong. "Segera kami tata," kata dia. Pemerintah Kota Cirebon, Eti melanjutkan, telah mendengar berbagai masukan dari masyarakat, termasuk usulan untuk menjadikan Ku Tiong sebagai pemakaman nusantara sekaligus ruang terbuka hijau.
Eti Herawati berharap Pemakaman Ku Tiong tak hanya menjadi tempat melakukan ritual keagamaan namun sekaligus menjadi tujuan wisata religi baru di Kota Cirebon. Terlebih di sana setiap tahun diadakan tradisi Ceng Beng. “Karena saat Ceng Beng, banyak warga Tionghoa dari berbagai daerah di Indonesia datang ke Kota Cirebon,” ujar Eti.