Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Tradisi Gebug Ende Meriahkan Pemuteran Bay Festival di Bali

Pemuteran Bay Festival tak hanya dipenuhi kegiatan yang menunjukkan kepedulian alam, tapi juga atraksi budaya. Salah satunya, tradisi Gebug Ende.

17 Desember 2018 | 18.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pemuteran Bay Festival (PBF) 2018 tidak hanya memperlihatkan kepedulian terhadap alam. Pada acara yang digelar 13-15 Desember di Desa Pemuteran, Gerokgak, Singaraja Bali ini, budaya juga mendapat porsi besar. Salah satunya, dengan menampilkan tradisi masyarakat Bali, Gebug Ende.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Atraksi Gebug Ende ditampilkan 13-14 Desember, pukul 15.00-17.30 WITA.  Budaya sakral ini dibawakan secara menarik hingga mendapatkan apresiasi dari pengunjung. “Gebug Ende termasuk daya tarik PBF 2018. Budaya ini merupakan tradisi turun temurun yang sakral. Karena, pada hakikatnya memiliki makna dan tujuan khusus,” ungkap Kelihan Desa Pakraman Pemuteran Ketut Wirdika, Jumat (14/12).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gebug Ende adalah sebuah tarian. Gerakannya khas menyerupai silat lengkap dengan alat tamiang (perisai) dan pemukul dari rotan. Tamiang ini terbuat dari kulit sapi. Gebug Emde biasanya menjadi ritual untuk meminta hujan. Tujuan lain dari Tari Gebug Ende adalah sebagai penolak bala energi negatif. Tarian ini biasanya diperagakan saat kemarau panjang.

Dua petarung dalam ritual Gebug Ende yang digelar pada Pemuteran Bay Festival 2018. (Dok. Kemenpar)

“Saat ini Gebug Ende masih terpelihara dengan baik dan menjadi fenomena budaya yang menaik dan unik. Apalagi, sejarah mencatat kalau Gebug Ende ini bukan dari daerah Pemuteran atau Gerokgak sini,” terang Wirdika.

Gebug Ende berasal dari Desa Seraya, Karangasem, Bali. Tradisi ini hingga akhirnya berkembang di kawasan Gerokgak karena dibawa krama Desa Seraya yang merantau. Tradisi ini lalu berkembang di Buleleng Barat pada1925, khususnya di Desa Sumberkima. Pada 1930, ada pemekaran Desa Adat Pemuteran menjadi beberapa wilayah.

Pemekaran Desa Adat Pemuteran pun menghasilkan sekitar 8 desa. Ada Desa Sumberkima, Pejarakan, Pemuteran, Sumberklampok, Patas, Banyupoh, Penyabangan, hingga Sanggalangit. Seiring waktu, tradisi ini pun rutin digelar bila kemarau panjang datang. Menggelar Gebug Ende, para krama desa memohon kepada Ida Betara agar diturunkan hujan.

“Air ini sangat penting sebagai sumber kehidupan. Bila kemarau terlalu panjang tentu mengganggu dan harus segera diakhiri. Caranya, berdoa dan menggelar ritual Gebug Ende. Oleh karena itu, ritual Gebug Ende ini tidak boleh dilakukan secara sembarangan,” katanya lagi. 

Gebug Ende ini dilakukan oleh 2 pria. Mereka mengenakan udeng, bertelanjang dada, dan bersaput poleng. Sembari lincah bergerak mereka membawa ende atau tamiang dan rotan. Sebagai senjata utama memukul, rotan memiliki panjang 1,5-2 meter. Sebelum aksi ini dimulai, digelar upacara Mecaru sebagai persembahan bagi Bhuta Kala.

“Setiap kesulitan selalu ada solusinya. Dengan Gebug Ende, diharapkan adanya pencerahan. Peserta yang terkena sabetan rotan tidak boleh saling dendam. Kami semua percaya, saat ada tetesan darah dari bekas sabetan maka alam akan menurunkan berkahnya berupa hujan,” papar Wirdika.

Meski sakral, pagelaran Gebug Ende tetap meriah dengan iringan gamelan khas Bali. Para peserta saling serang begitu saye (wasit) menggebukkan rotan ke ende sebanyak 3 kali. Dalam tradisi Gebuk Ende, para peserta bertarung dengan dibatasi garis pemisah. Secara khusus tidak ada pemberian status pemenang dalam sebuah pertunjukan Gebug Ende ini.

“Gebug Ende merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki nusantara. Tradisi ini masih terawat dengan baik secara turun temurun. Meski memiliki tujuan khusus, Gebug Ende ini menjadi daya tarik luar biasa dalam PBF 2018. Pengunjung mendapatkan banyak pencerahan. Sebab, ada filosofi besar pada sebuah Gebug Ende,” tutur Plt Deputi Bidang Pemasaran I Kemenpar Ni Wayan Giri Adnyani.

Kawasan Buleleng memang kaya dengan tradisi. Selain Gebug Ende, masih ada tradisi Nyakan Diwang, Megebeg-Gebegan, Megoak-Goakan, Sapi Grumbungan, Ngusaba Bukakak, Ngoncang, dan Ngamuk-Amukan (perang api). Tradisi ini banyak tumbuh subur di beberapa desa tua, seperti Sembiran, Cempaga, Tigawasa, dan Pedawa.

“Buleleng merupakan destinasi terbaik di Bali Utara. Ada beragam budaya yang hidup di dalamnya. Budaya ini menjadi tradisi turun temurun yang luar biasa. Silakan datang ke Buleleng dan nikmati beragam atraksi budaya yang disajikan. Selain atraksi, aksesibilitas dan amenitas di sini juga luar biasa bagusnya,” tutup Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya. 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus