Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Ambon - Masyarakat Ambon memiliki aneka kuliner tradisional yang terbuat dari sagu. Ada kue sarut kelapa, kue sarut kenari, kue sagu tumbu, bagea, dan lainnya. Aneka camilan tradisional ini cocok buat oleh-oleh saat pelesiran ke Ambon. Mudah ditemukan, harganya terjangkau, sekaligus menggerakkan usaha mikro kecil menengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang pembuat kue tradisional berbahan sagu, Obe Leatemia membocorkan bagaimana dia membuat kue dengan peralatan yang digunakan turun-temurun. Satu alat yang paling berjasa dalam proses pembuatan kue bernama porna. "Porna berfungsi seperti oven. Kami memakainya turun-temurun sejak tahun 1965," kata Obe kepada Tempo, Selasa 15 Desember 2020. Dia memasukkan adonan bagea dan kue serut ke dalam porna yang berwujud tumpukan batu bata berbentuk persegi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para perempuan di Desa Ihamahu, Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah, tempat Obe tinggal, memanfaatkan sagu sebagai bahan makanan pokok sekaligus diolah menjadi kue, kemudian dijual ke pasar. Setiap Rabu dan Sabtu, Obe bersama mama-mama di Desa Ihamahu pergi ke pasar induk di Saparua untuk memasok kue tradisional tadi. Obe bersyukur usaha pembuatan kuenya tidak terlalu terimbas pandemi Covid-19. Tungku api dan porna di dapur tetap 'bahu-membahu' mematangkan kue.
Obe memasok kue tradisional itu ke para pelanggan tetapnya di Kota Ambon dan Kecamatan Saparua. Mereka mengambil dagangan Obe kemudian menjualnya lagi. Sekantong kue bagea dan kue sarut seharga Rp 10 ribu, kue sagu tumbu Rp 5.000. Di Ambon, harga kue ini dijual dengan selisih Rp 5.000 - 10 ribu lebih tinggi.
Oleh-oleh dari Ambon berupa bagea dan kue sarut dipajang di Swalayan Planet 2000, Urimesing, Kota Ambon. TEMPO | Khairiyah Fitri
Salah satu sentra kuliner khas Ambon yang bisa dibeli sebagai oleh-oleh ada di Jalan DI Panjaitan, seberang Kantor Dinas Pekerjaan Umum, Maluku, persis di tikungan menuju Terminal Mardika. Di situ berjejer aneka oleh-oleh khas Maluku. Bukan cuma kue, ada juga gula merah khas Saparua, madu, sampai kayu putih.
Sama seperti Obe, Marli Hitipeuw juga membuat camilan berbahan dasar sagu yang biasanya diborong wisatawan buat oleh-oleh, yaitu bagea dan kue sarut. Dalam membuat dua kue ini, Marli membutuhkan sagu tumang. Sagu tumang berasal dari serat bagian tengah batang sagu yang dipangkur, diremas, kemudian disaring sampai menghasilkan tepung sagu melalui proses pengendapan. Adapun tumang merupakan wadah atau keranjang untuk menampung tepung sagu yang terbuat dari daun pohon sagu.
Cara membuat bagea dan kue sarut cukup mudah. Kue bagea terbuat dari campuran sagu, air, dan garam. Sagu harus dijemur dulu untuk mengurangi kadar asamnya. Setelah itu seluruh bahan dicampur dan dibentuk lonjong, kemudian dipanggang di dalam oven. Setelah matang, tinggal menikmati camilan bercita rasa asin gurih ini. Sementara kue sarut merupakan campuran dari tepung sagu, gula merah, dan kenari. Cara pengolahannya mirip dengan bagea.
Di masa pandemi Covid-19 ini, Marli dan Obe harus menyiasati proses produksi karena harga bahan baku merangkak naik. Sagu tumang yang biasanya seharga Rp 70 ribu, kini menjadi Rp 100 ribu. Sementara Marli dan Obe juga harus memikirkan pengemasan yang menarik supaya kue-kuenya dilirik pembeli.
Beragam camilan berbahan dasar sagu menjadi kuliner tradisional Ambon dan cocok buat oleh-oleh. Foto: TEMPO | Khairiyah Fitri
Jika dulu mereka menggunakan plastik bening yang direkatkan dengan api, sekarang pengemasan semacam itu dianggap kurang pantas. Mereka akhirnya menggunakan plastik berklip dan menambahkan stiker merek. Bagea buatan Marli dijual di dua pasar swalayan di Ambon, yakni Swalayan Planet 2000 dan Galaxy. Harga bagea kenari Rp 15 ribu, bagea bawang Rp 17 ribu, dan kue sarut Rp 10 ribu per bungkus.
Pada November 2020, Marli dan ibu-ibu di kampungnya mengikuti pelatihan cara menambah nilai produk yang diinisiasi oleh Walang Perempuan. Ini adalah lembaga pemberdayaan masyarakat yang fokus pada peningkatan ekonomi perempuan. Sebanyak 25 ibu dan sebagian pria dari Desa Ihamahu berkumpul membentuk kelompok usaha.
Mereka punya tugas berbeda. Para lelaki membuat sagu tumang sebagai bahan baku kue tradisional. Sementara para ibu mengumpulkan kenari dari petani di kampung dan mengolah sagu tumang menjadi aneka kue. "Dengan begitu, mereka bisa membentuk kelompok yang semua bahan baku berasal dari mereka sendiri," kata Ela Loupatty, Ketua Walang Perempuan pada Sabtu, 13 Desember 2020.
Kelompok usaha di Desa Ihamahu sudah punya pengetahuan tentang cara meningkatkan kualitas produk, termasuk menambah variasi rasa dan mengganti kemasan dengan yang lebih baik. Tujuannya, kue buatan mereka lebih menarik pembeli, terutama lewat pasar digital. "Kalau kemasannya bagus dan ada izin edarnya, maka pembeli akan merasa lebih aman dan nyaman saat membeli," katanya. Saat ini, tim Walang Perempuan tengah membantu mendaftarkan izin usaha, izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk aneka kue tradisional ini.
*Tulisan ini adalah hasil Program Fellowship AJI 2020