Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Wisata Sejarah, Kisah Kotagede dan Imogiri Yogyakarta Terbagi Dua

Jika melakukan wisata sejarah ke Makam Raja di Kotagede dan Imogiri di Yogyakarta sama saja menjejakkan kaki di wilayah Surakarta, Jawa Tengah.

1 Juni 2019 | 05.42 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Yogyakarta - Salah satu objek wisata sejarah di Yogyakarta adalah di Makam Raja-raja di Kotagede dan Imogiri. Dua wilayah ini memiliki dua pengusaha, yakni Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jadi, meski berada di wilayah Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, wisatawan yang masuk ke Makam Raja di Kotagede dan Imogiri sama saja menjejakkan kaki di bumi Surakarta, Jawa Tengah. Mengapa demikian? Itu adalah bagian dari politik pecah belah yang diterapkan kolonial Hindia Belanda.

"Dulu wilayah Kotagede dan Imogiri masuk Kesunanan Surakarta yang dikelilingi wilayah Kesultanan Yogyakarta," kata Kusno Setiyo Utomo, penulis buku Perjanjian Giyanti dan Pembagian Bumi Mataram kepada Tempo, 30 April 2019.

Kusno menceritakan sejarah enclave di Indonesia berawal di Kotagede (1588 - 1613) yang merupakan ibu kota Kerajaan Mataram Islam yang didirikan Panembahan Senopati. Ketika Mataram berjaya, ibu kota kemudian pindah ke Kerta (1613 - 1647) pada masa Sultan Agung Hanyokrokusumo. Perpindahan berlanjut di era Susuhunan Hamangkurat Agung atau Amangkurat I ke Pleret (1647 - 1681). Setelah Kerta dikuasai Trunajaya, kerajaan pindah lagi ke Hutan Wanakerta yang kemudian dinamakan Kartasura Hadiningrat (1680) pada masa Amangkurat II.

Ada empat raja yang memimpin secara bergantian selama Mataram pindah ke Kartasura. Mulai dari Amangkurat II, diganti anaknya, Amangkurat III, lalu digeser pamannya Susuhunan Paku Buwono I, dan diganti anaknya, Amangkurat IV. Selanjutnya, kepemimpinan Amangkurat IV diteruskan kepada anak yang bergelar Paku Buwono II.

Pada masa Paku Buwono II terjadi konflik yang dikenal dengan Geger Pacinan. Pusat kerajaan rusak berat. Mataram pun jatuh. Paku Buwono II memindahkan kerajaannya ke Desa Sala yang kemudian dinamakan Surakarta. Dia digantikan anaknya, Paku Buwono III. "Surakarta ini menjadi pusat Kerajaan Mataram terakhir," kata Kusno.

Kerajaan Mataram runtuh setelah Perjanjian Giyanti ditandatangani Pangeran Mangkubumi dan Direktur VOC Jawa Utara Nicholas Hartingh pada 13 Februari 1755. Perjanjian itu disetujui Paku Buwono III dan Gubernur Jenderal VOC Mossel. Isi perjanjian menyebutkan Kerajaan Mataram berakhir dan pecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta.

Surakarta sebagai pusat Kerajaan Mataram terakhir dipimpin Susuhunan Paku Buwono III. Sedangkan Mangkubumi memimpin kerajaan baru bernama Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I. Perjanjian Giyanti juga memunculkan dua kerajaan baru, yaitu Kadipaten Magkunegaran pada 17 Maret 1757 dan Kadipaten Pakualaman pada 17 Maret 1813.

Kadipaten Magkunegaran yang dipimpin Mangkunegara I mengambil sebagian wilayah Kesunanan Surakarta. Adapun Kadipaten Pakualaman yang dipimpin Paku Alam I berada di wilayah Kesultanan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti juga meninggalkan persoalan, yaitu tidak menyebutkan batas wilayah Kesunanan Surakarta dengan Kesultanan Yogyakarta dengan jelas. "Sebab itu, sering terjadi konflik di perbatasan kedua kerajaan penerus Dinasti Mataram itu," kata Kusno.

Seusai Perang Diponegoro, barulah ada kejelasan wilayah berdasarkan Perjanjian Klaten yang ditandatangani pada 27 September 1830. Perjanjian Klaten sekaligus mengamandemen Perjanjian Giyanti. Batas-batas wilayah Surakarta meliputi Pajang, Sukowati, serta sebelah barat dan timur Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Sedangkan wilayah Yogyakarta tinggal Mataram atau sebelah selatan Gunung Merapi, serta Gunungkidul. "Batas kedua wilayah berupa gapura di selatan Candi Prambanan di Jalan Solo - Jogja," kata Kusno.

Lantaran gapura itu pula wilayah Prambanan terbagi dua. Sebagian masuk wilayah Kabupaten Klaten, Jawa Tengah dan sebagian lagi masuk wilayah Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Di sisi lain, Perjanjian Klaten juga melahirkan daerah enclave Kotagede dan Imogiri. Enclave adalah daerah yang berada di wilayah daerah lain. Sebagai daerah enclave, Kotagede dan Imogiri merupakan wilayah Surakarta, tetapi berada di wilayah Yogyakarta. "Sebab itu ada penyebutan Kotagede Surakarta dan Kotagede Yogyakarta. Juga Imogiri Surakarta dan Imogiri Yogyakarta," kata Kusno.

Enclave Kotagede Surakarta terbagi tujuh desa yang masuk wilayah Kapanewonan Kotagede Yogyakarta. Meliputi Desa Jagalan, Singosaren, Bawuran, Wonolelo, Segoroyoso, Jatimulyo, dan Terong. Sedangkan Imogiri Surakarta memiliki sembilan desa, meliputi Desa Imogiri, Karangtalun, Karangtengah, Kebon Agung, Girirejo, Mangunan, Muntuk, Dlingo, dan Temuwuh. Makam Raja-raja Mataram dan Masjid Kotagede di Jagalan serta Makam Imogiri di Girirejo masuk dalam enclave Kotagede Surakarta dan Imogiri Surakarta. "Tak heran yang melakukan renovasi Masjid Kotagede adalah pihak Keraton Surakarta," kata Kusno.

Simak: 
Wisata Sejarah ke Terowongan Limbah Pabrik Gula Banyumas, Berani?


Renovasi masjid dilakukan sejak 1856-1926. Jejaknya bisa diamati pada fasad depan masjid yang berukir angka tahun 1856 - 1926. Sebelum 1856 dilakukan penambahan serambi masjid, tempat wudu, dan pergantian atap dari sirap menjadi genteng. Pasca-gempa di Yogyakarta juga dilakukan perluasan serambi masjid pada 1867. Sedangkan 1926 dibangun pagar masjid dan tugu masa Kasunanan Surakarta dipimpin Paku Buwono X.

Perkembangannya, dibentuklah Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 yang menyebutkan daerah yang meliputi Kesultanan Yogyakarta dan Paku Alaman ditetapkan sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejak saat itu, wilayah enclave tidak termasuk Yogyakarta. Akibatnya muncul persoalan dalam pemerintahan.

Penyelesaiannya melalui Undang-undang Darurat Nomor 5 Tahun 1957 tentang Pengubahan Kedudukan Wilayah Daerah-daerah Enclave Imogiri, Kotagede, dan Ngawen. Khusus untuk Ngawen merupakan wilayah Kadipaten Mangkunegaran yang juga berada di Surakarta. "Sejak saat itu, tiga daerah enclave itu bergabung dengan wilayah Yogyakarta," kata Kusno.

Tujuh desa enclave Kotagede Surakarta masuk di tiga kecamatan di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, meliputi Jagalan dan Singosaren di Kecamatan Banguntapan; Bawuran, Wonolelo, Segoroyoso di Kecamatan Pleret; serta Jatimulyo dan Terong di Kecamatan Dlingo. Sedangkan sembilan desa enclave Imogiri Surakarta masuk di dua kecamatan di Bantul, Yogyakarta. Meliputi Imogiri, Karangtalun, Karang tengah, Kebonagung, dan Girirejo di Kecamatan Imogiri; Mangunan, Muntuk, Dlingo, dan Temuwuh di Kecamatan Dlingo.

Pito Agustin Rudiana

Pito Agustin Rudiana

Koresponden Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus