ARJA adalah pertunjukan semacam opera pop yang tetap digemari di
Bali. "Sebelum ada teve, arja top sampai ke desa-desa," kata drs
Pandji, Kepala Bidang Kesenian Kanwil P&K Propinsi Bali. Lakon
yang dimainkan macam-macam. Mulai dari ceritera Panji, Jaya
Prana, Pakangraras, atau ceritera pewayangan sampai ceritera
kuno Cina, Sam Pek Eng Thai.
Berasal dari kata reja yang berarti indah, diduga arja muncul
pertama kali di tahun 1825 pada aman pemerintahan I Dewa Agung
Sakti di Puri Kelungkung. Kini tinggal Ardja Bon Bali saja yang
populer dan sering ditanggap penduduk. Bon Bali mempunyai
pemain-pemain dari beberapa kawasan dari Bali dan setiap Minggu
selalu ada arja mengudara di RRI Denpasar. Honor pemainnya Rp
3.000 sekali main dan bagi penabuh gamelan separuh dari pemain.
Beberapa pemain arja cukup terkenal dan menjadi kesayangan
rakyat. Seperti seniwati Ribu Wati (40 tahun) laris sekali
ditanggap penduduk kira-kira sama populernya seperti Almarhum
Basiyo untuk penduduk Yogya. Kadangkadang Ribu Wati main sampai
20 kali setiap bulan.
Ternyata film, teve atau hiburan modern lainnya tidak selamanya
menjadi "pembunuh" seni tradisional setempat. Walaupun anak-anak
kecil lebih terpukau melihat iklan skate-board di teve ketimbang
nonton arja, beberapa pertunjukan asli toh masih tetap bisa
berakar di sebagian besar penduduk.
Tupai bagaluik
Tua-tua di Sumatera Barat selalu mengeluh karena musik talempong
hanya terdengar kalau ada pembesar datang. Juga hiburan seperti
randai atau salung, muncul kembali kalau ada "sponsor", yaitu
HUT 17 Agustus atau perayaan lain. Terapi ketika diadakan Pesta
Tari Rakyat Oktober lalu di satu sangkar, randai atau salung
atau hiburan tradisional lainnya toh tidak sepenuhnya
ditinggalkan. Misalnya ketika talempong bukan saja memainkan
lagu-lagu tradisi seperti tupai bagaluik atau cubadak cancang,
tetapi juga mulai mengaransir lagulagu Barat pop. Salung yang
biasanya cuma melontarkan syair-syair penuh humor atau romantis,
juga telah menyimpang ke lagu-lagu populer.
Begitu pula randai yang biasanya diadakan selama 3 malam, telah
diperpendek menjadi 2 jam saja. Peran wanita tidak saja dipegang
oleh laki-laki yang berpakaian wanita, tetapi oleh wanita
sungguhan. Randai, -- pada festival seni tradisional yang
dikelola Pusat Kesenian Padang Agustus lalu -- tidak kehilangan
peminat. Asal saja tahu ke mana arah angin kegemaran masyarakat
setempat, hiburan tradisional akan tetap berakar.
"Sebetulnya, pendidikan kesenian ada dalam kurikulum sekolah,"
kata Kasim Achmad (44 tahun), Kepala Subdit Seni Teater Film dan
Sastra, Direktorat Pembinaan Kesenian Departemen P&K. Tambahnya
lagi "Kosongnya pelajaran ini karena tidak adanya guru. Kalau
tidak ada guru, yaah, mau bagaimana?" Kasim Achmad juga
mengatakan bahAa biaya untuk kesenian pada umumnya setiap
tahun rata-rata hanya Rp 50 juta, tanpa mengkategorikan seni
tradisional atau kontemporer.
Menurut Kasim tahun ini akan berdiri Direktorat Penelitian
Pengkajian Kebudayaan Tradisional Untuk itu daerahlaerah akan
dlkirim sederet pertanyaan yang harus dijawab tentang seni
tradisional yang masih hidup, setengah hidup atau sudah tidak
mempunyai peminat sama sekali. Sebagai contoh Kasim Achmad
menyebut seni teater Mayong dari Riau yang pemainnya terdiri
dari nelayan. P & K paling tidak akan menangani 3 atau 4 daerah
untuk waktu tiga tahun. "Bantuan kami berikan, sampai
dokumentasi kami lengkap," ujar Kasim Achmad.
Kasim Achmad menuturkan bahwa organisasi kesenian daerah yang
jumlahnya puluhan di Jakarta cuma bergerak dalam bidang
pementasan dan pameran. "Sedangkan revitalisasi dan petian
dikerjakan oleh Yayasan Seni Tradisional," tambah Kasim. Yayasan
ini tidak dikelola oleh Departemen P&K, tetapi oleh badan swasta
yang mendapat bantuan dari Ford Foundation.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini