Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Yang dipopkan & yang bertahan

Hampir tiap daerah memiliki kesenian tradisional. ada yang punah dengan sendirinya dan ada yang terdesak oleh seni modern. tentu banyak yang masih hidup, meskipun dengan susah payah. (hb)

1 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ARJA adalah pertunjukan semacam opera pop yang tetap digemari di Bali. "Sebelum ada teve, arja top sampai ke desa-desa," kata drs Pandji, Kepala Bidang Kesenian Kanwil P&K Propinsi Bali. Lakon yang dimainkan macam-macam. Mulai dari ceritera Panji, Jaya Prana, Pakangraras, atau ceritera pewayangan sampai ceritera kuno Cina, Sam Pek Eng Thai. Berasal dari kata reja yang berarti indah, diduga arja muncul pertama kali di tahun 1825 pada aman pemerintahan I Dewa Agung Sakti di Puri Kelungkung. Kini tinggal Ardja Bon Bali saja yang populer dan sering ditanggap penduduk. Bon Bali mempunyai pemain-pemain dari beberapa kawasan dari Bali dan setiap Minggu selalu ada arja mengudara di RRI Denpasar. Honor pemainnya Rp 3.000 sekali main dan bagi penabuh gamelan separuh dari pemain. Beberapa pemain arja cukup terkenal dan menjadi kesayangan rakyat. Seperti seniwati Ribu Wati (40 tahun) laris sekali ditanggap penduduk kira-kira sama populernya seperti Almarhum Basiyo untuk penduduk Yogya. Kadangkadang Ribu Wati main sampai 20 kali setiap bulan. Ternyata film, teve atau hiburan modern lainnya tidak selamanya menjadi "pembunuh" seni tradisional setempat. Walaupun anak-anak kecil lebih terpukau melihat iklan skate-board di teve ketimbang nonton arja, beberapa pertunjukan asli toh masih tetap bisa berakar di sebagian besar penduduk. Tupai bagaluik Tua-tua di Sumatera Barat selalu mengeluh karena musik talempong hanya terdengar kalau ada pembesar datang. Juga hiburan seperti randai atau salung, muncul kembali kalau ada "sponsor", yaitu HUT 17 Agustus atau perayaan lain. Terapi ketika diadakan Pesta Tari Rakyat Oktober lalu di satu sangkar, randai atau salung atau hiburan tradisional lainnya toh tidak sepenuhnya ditinggalkan. Misalnya ketika talempong bukan saja memainkan lagu-lagu tradisi seperti tupai bagaluik atau cubadak cancang, tetapi juga mulai mengaransir lagulagu Barat pop. Salung yang biasanya cuma melontarkan syair-syair penuh humor atau romantis, juga telah menyimpang ke lagu-lagu populer. Begitu pula randai yang biasanya diadakan selama 3 malam, telah diperpendek menjadi 2 jam saja. Peran wanita tidak saja dipegang oleh laki-laki yang berpakaian wanita, tetapi oleh wanita sungguhan. Randai, -- pada festival seni tradisional yang dikelola Pusat Kesenian Padang Agustus lalu -- tidak kehilangan peminat. Asal saja tahu ke mana arah angin kegemaran masyarakat setempat, hiburan tradisional akan tetap berakar. "Sebetulnya, pendidikan kesenian ada dalam kurikulum sekolah," kata Kasim Achmad (44 tahun), Kepala Subdit Seni Teater Film dan Sastra, Direktorat Pembinaan Kesenian Departemen P&K. Tambahnya lagi "Kosongnya pelajaran ini karena tidak adanya guru. Kalau tidak ada guru, yaah, mau bagaimana?" Kasim Achmad juga mengatakan bahAa biaya untuk kesenian pada umumnya setiap tahun rata-rata hanya Rp 50 juta, tanpa mengkategorikan seni tradisional atau kontemporer. Menurut Kasim tahun ini akan berdiri Direktorat Penelitian Pengkajian Kebudayaan Tradisional Untuk itu daerahlaerah akan dlkirim sederet pertanyaan yang harus dijawab tentang seni tradisional yang masih hidup, setengah hidup atau sudah tidak mempunyai peminat sama sekali. Sebagai contoh Kasim Achmad menyebut seni teater Mayong dari Riau yang pemainnya terdiri dari nelayan. P & K paling tidak akan menangani 3 atau 4 daerah untuk waktu tiga tahun. "Bantuan kami berikan, sampai dokumentasi kami lengkap," ujar Kasim Achmad. Kasim Achmad menuturkan bahwa organisasi kesenian daerah yang jumlahnya puluhan di Jakarta cuma bergerak dalam bidang pementasan dan pameran. "Sedangkan revitalisasi dan petian dikerjakan oleh Yayasan Seni Tradisional," tambah Kasim. Yayasan ini tidak dikelola oleh Departemen P&K, tetapi oleh badan swasta yang mendapat bantuan dari Ford Foundation.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus