GAMBARAN orang tentang kaum intelektual tidak selalu sama.
Dahulu, apalagi di zamannya orde lama, mereka dianggap makhluk
sombong yang tidak mau mengerti selain dunia teori yang mereka
kuasai. Begitu terbenamnya mereka dalam kehidupan teoretis,
sampai mereka jadi pelupa kepada hal-hal praktis dalam
kehidupan: lupa janji dengan orang lain untuk bertemu, lupa
pulpen pinjaman diserahkan kepada orang lain lagi, lupa di mana
tas tangan berisi kertas kerja mereka letakkan, bahkan ada yang
lupa nama anak dan istri, atau ada yang lupa di mana ia berada,
tatkala duduk-duduk di halaman rumah sendiri dengan anak-istri
itu.
Profil intelek pelupa ini adalah seorang profesor botak yang
berada di ruang kerjanya sedang membersihkan pipa rokoknya dari
gumpalan abu tembakau dari kepala pipa itu. Ketika ia
mengetuk-ngetukkan kepala pipa itu ke pinggiran meja, ia
tertegun mendengar suara ketukan itu, menoleh ke pintu masuk dan
berkata: Silakan masuk. Sungguh profil otentik dari jenis
makhluk langka yang harus dilindungi dari tipuan, rongrongan dan
serangan manusia yang lebih buas . . .
Secara politis, kaum intelektual itu dahulu banyak tidak
disukai: terlalu teoretis, tidak mau terlalu terikat kepada
sesuatu ideologi, tidak mau tahu kebutuhan praktis rakyat, dan
doa - tak berampun tidak mau bergaul akrab dengan
kelompok-kelompok organisasi massa yang ada.
Bahkan PSI, itu partainya kaum intelektual yang akhirnya
dibubarkan almarhum Presiden Soekarno, dirumuskan oleh seorang
pengamat luar negeri sebagai partainya orang pintar yang tidak
punya anak buah, bagaikan jenderal yang tidak punya prajurit.
Aba-aba diberikan, tidak ada yang berbaris, sedang deretan
prajurit di tempat lain berbaris melenggak-lenggok tanpa aba-aba
yang jelas.
Perubahan gambaran tentang kelompok ini terjadi karena beberapa
hal, sebagian karena jasa orde baru, sebagian karena akibat
ekses-eksesnya. Differensiasi dan pembagian wilayah kerja yang
lebih terperinci, dengan adanya pengembangan lebih banyak lagi
profesi yang membutuhkan pengetahuan intelektual, membawa mereka
kepada hubungan lebih luas dengan kelompok-kelompok tradisional
di masyarakat, bahkan yang paling karismatis sekalipun.
Mereka turut menangani soal-soal praktis yang lebih nudah
dimengerti lapisan masyarakat lebih luas, terutama di tingkat
bawah: memperbincangkan kelemahan-kelemahan koperasi dengan
manager KUD (kapan dengan para petani yang takut dipaksa masuk
KUD?), merundingkan dengan pemuka masyarakat di daerah terpencil
tentang cara-cara peningkatan gizi, merumuskan cara kerja yang
baik di Puskesmas setempat.
Bahkan menteri-menteri intelektual (lucu juga, ada menteri yang
tidak intelektual, lalu dengan apa mereka memimpin?) ada juga
yang turun ke pedesaan: melihat proyek peternakan itik Alabio,
mengunjungi pesantren di pelosok kabupaten, atau masuk hutan
melihat kerusakan akibat pemberian HPH secara serampangan.
"Ah, bapak intelek mengerti juga persoalan kita," kata Sang
kiai pesantren sehabis dikunjungi seorang profesor tua yang
berjalan terseok-seok meniti pematang sawah memasuki
pesantrennya, tanpa menyadari bahwa apa yang dikembanghan
pesantren selama ini sebagai kerja rutin akhirnya dirumuskan
sebagai salah satu bentuk intelektualisme tertinggi oleh mereka
yang dulunya dianggap hidup di atas menara gading: kearifan
untuk secara teguh bersama rakyat dan dengan demikian secara
efektif memimpin mereka.
Sebenarnya tidak ada perubahan dalam fungsi kaum intelektual.
Mereka tetap pada peranan menyediakan kerangka pemikiran,
bukannya langsung terjun ke bawah menjadi tenaga lapangan: itu
urusannya bapak pendeta, kiai dan penyuluh pertanian dan
sebagainya. Mereka tetap tidak mau dikungkung oleh kesempitan
pandangan yang diakibatkan oleh keterikatan kepada sebuah
ideologi formal. Mereka tetap ingin mengemukakan pendapat secara
apa adanya, selama belum berkhianat kepada intelektualitas
mereka sendiri.
Justru kejujuran sikap itulah yang membawa mereka kepada upaya
memahami kebutuhan dan jalan pikiran orang lapangan di bawah:
keterbukaan mereka jugalah yang akhirnya membawa kepada
pendekatan faktual dan penanganan multidisipliner atas
masalah-masalah dasar yang dihadapi kehidupan bangsa. Logika
mereka jugalah yang menyadarkan mereka bahwa penanganan masalah
kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan berhubungan erat
dengan keyakinan agama dan institusi kerakyatan yang berskala
massal.
Sikap dasar kaum intelektual masih tetap sama, dan mereka tak
lagi berhak disebut intelek kalau telah merubah sikap dasar itu
sendiri. Pendekatan yang mereka lakukanlah yang berubah, yang
membuat mereka tetap disebut demikian manakala dilakukan dengan
ketulusan.
Kalau demikian, benarkah kaum intelektual telah berubah kelamin?
Tidak, kalau dilihat dari sikap dasarnya. Mereka hanya lebih
dewasa dan bijak. Kalau perubahan pendekatan dianggap perubahan
kelamin juga, mengapakah tidak pula dianggap berubah kelamin
kelompok tradisional yang mau menerima kehadiran kaum
intelektual itu di tengah mereka? Dan bukankah begitu pula
halnya dengan mereka yang ketakutan terhadap pendekatan
(rapprochement) itu sendiri? Asal jangan berubah kelamin
menjadi wadam saja!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini