Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menggapai kapai-kapai

Kapai-kapai arifin c. noer, sejak oktober dipentaskan oleh sutradara tone brulin dengan grupnya di belgia dan negeri belanda. naskah tersebut banyak dipentaskan grup teater remaja di jakarta. (ter)

1 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEPUK-TANGAN tak henti-hentinya, dan para penonton bangkit dari kursi. Di Antwerpen, Belgia, pementasan Kapai-Kapai oleh grup 'Tie 3' dengan sutradara Tone Brulin sukses besar -- paling tidak begitulah surat-surat kabar Belgia menulis. "Jasa Tone Brulin ialah memberikan interpretasi Barat pada cerita dunia Timur ini, tanpa merusak naskah itu sendiri," demikian Gazet van Antwerpen menulis. Tone Brulin, si orang Belgia, pernah lama di Malaysia sebagai dosen tamu di Universitas Sains Malaysia di Penang. Dia membina 'Teater Sasaran' dari universitas tersebut -- yang dianggap "teater nasional yang pantas mewakili Malaysia ke Pusat Kebudayaan (TIM red.) di Jakarta," seperti ditulis koran itu. Paling tidak, pementasan Teater Sasaran (Naga-naga, di Manakah Engkau?) di Taman Ismail Manuki, September 1974 itu, harus dibilang bagus (TEMPO 14 September 1974). Dan Brulin pun bertemu Arifin. "Saya tak tahu apakah Brulin kemudian menerjemahkan Kapai-Kapai langsung dari aslinya, atau dari versi Inggeris terjemahan Harry Aveling," kata Arifin. Tapi dalam grup Tie 3, ada Siti Fauziah dari Penang. Arifin menduga Si Siti tenrunya banyak menolong. Grup Tie 3 sendiri dibentuk September 1975. Kantornya di Berchem, Belgia. Beberapa waktu lalu mereka juga diundang Kementerian Kebudayaan Malaysia untuk merayakan Tahun Anakanak. Mereka mementaskan drama dalam bahasa Melayu berjudul Tak Kotak-kotak -- di sekolah-sekolah, di lapangan, dan di kampung-kampung di banyak kota di Malaysia. Seluruhnya 40 kali. Dalam pemanggungan Kapai-Kapai ini tak hanya penyutradaraan mendapat pujian. Ketiga pemeran yang masih belia pun (orang-orang sana) dipuji orang. Juga musik yang ditangani Siti Fauziah. Menulis De Nieuwe Gazet "Siti telah menyulap berbagai bunyi-bunyian yang bukannya keluar dari instrumen musik lengkap, tapi keluar dari batang logam, panci masak, sikat pencuci ...." Itu rupanya barang baru di sana. Arifin tentu saja tak bisa memberi komentar. "Saya belum terima terjemahan srulin -- dan juga honorarium yang dijanjikannya," katanya. Yang bisa dikomentarinya adalah terjemahan Harry Aveling, rerbit 1974. "Ada beberapa istilah yang salah dipahami Aveling. Misalnya "tidur sore-sore " diterjemahkan sleep in the afternoon. Mestinya kan sleep early Lalu melodi kata-kara, terutama pada bagian pertama drama saya itu, tak lagi terasa dalam versi Inggerisnya. " Kapai-Kapai konon ditulis Arifin "seperti kalau saya menulis puisi." Drama ini diciptakannya 1968-1970. Waktu itu Pusal Kesenian Taman Ismail Marzuki baru saja berdiri. Dan Arifin, yang urban dari Yogya ke Jakarta, hidup bohemian. Saya kadang-kadang tidur di Teater Tertutup TIM," tuturnya. Lalu, ketika bekerja di harian Pelopor Bar, muncullah embrio Kapai-Kapai Di kantor surat kabar tersebut ada seorang pesuruh yang jarang bicara, hanya bergerak menurut yang diperintahkan kepadanya. "Saya pikir alangkah bahagianya orang itu. Tak pernah gelisah seperti saya." Memahami Kultur Ternyata, setelah mendapat kesempatan mengobrol dengannya, si pesuruh mempunyai juga impian-impian seperti Arifin. Ketika itulah terbetik dalam diri Arifin untuk menulis sebuah drama yang tokohnya tak pernah berkembang. Suatu malam di Teater Tertutup menjelang Arifin tidur, dorongan menulis ide "Tokoh tak berkembang" itu mendesak. Dengan mesin tulis pinjaman Amak Baldjun, rernyata drama itu cepat selesai. "Heran. soleh dikata saya mengetik tanpa koreksian. Dan karena lancarnya, nama tokoh-tokoh saya tangguhkan." Mengapa Kapai-Kapai justru yang dipilih orang-orang luar negeri itu? Paling tidak ada tiga tempat yang pernah mementaskannya Di Australia, Belgia dan New York Universiry. Mungkin karena Kapai-Kapai berkisah tentang orang kecil Indonesia, lengkap dengan latar belakang kullurnya yang khas, yang kemudian urban dan menjadi hanya satu robot dalam mesin kemajuan modern -- dan sementara itu tetap digoda impian-impiannya yang mustahil. Gazet van Antwerpen misalnya bilang sandiwara ini, lewat Tone Brulin (yang di sana-sini telah mem"Barat"kan lakon yang struktur maupun lambang-lambangnya sangat Indonesia ini), "telah memberi kemungkinan penonton Barat meresapi suatu kultur, yang secara normal hanya dapat kita kagumi aspek-aspek ethisnya, namun selebihnya sebenarnya terlalu asing untuk dapar kira mengerti." Jadi bolehlah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus