Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Niat sesudah buaya deli

Gubernur sumatera utara, ewp tambunan, masih bergairah memanfaatkan studio film medan yang terlantar dan kesepian. satu produksi baru sedang dipikirkannya. uang bukan soal. (fl)

1 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

STUDIO film megah di Sunggal, Medan, seperti orang tua kesepian. serdiri di antara rumah reot rakyat, gedung yang dibangun dengan harga Rp 400 juta tadi tak terawat dengan baik. Padahal baru Juni tahun lalu Gubernur Sumatera Utara meresmikan pemakaiannya. Atapnya kini banyak yang bocor, malah dinding depan gedung induk sudah retak, sementara ilalang dan belukar menyeruak dengan bebas di halaman. Adalah Gubernur Marah Halim di tahun 1975 mendorong pembangunan studio itu. Ia bertekad menjadikan Medan sebagai kota kedua setelah Jakarta yang mampu menghasilkan film bermutu. Lewat para pengusaha bioskop propinsi itu yang menaikkan karcis tanda masuk selama 2 tahun, Marah Halim berhasil menghimpun dana Rp 500 juta dari kantong rakyat. Di atas tanah 5 ha di kawasan Sunggal dengan uang itu Marah Halim berusaha mewujudkan impian tadi. Dan dengan sisa uang yang Rp 100 juta itu pula Team Produksi Film Cerita Pemerintah Daerah Sum-Ut bekerja sama dengan PT Surya Indonesia Medan menelurkan film Buaya Deli. Tapi nasib produksi pertama ini (dengan sutradara Mochtar Sumodimedjo), yang secara sinematografis memang tidak baik, tersaruk-saruk di pasaran. Di Sumatera Utara, film ini berhasil diputar di semua gedung bioskop di bawah tekanan gubernur ini, dan mampu mengumpulkan Rp 16 juta. Tapi di luar propinsi itu -- pengedarmnya juga dipegang PT Perfin -- Buaya Deli janji menghadapi saingannya. Film yang mengangkat cerita lokal ini hanya berhasil mencapai bioskop kelas menengah dan bawah di Jakarta dan Surabaya, dengan masa putar yang pendek pula. Di kota lain di Jawa dan Indonesia Timur, menurut Zulharmans, Direktur PT Perfin Pusat, "pemasaran Buaya Deli kurang berhasil." Dari Jakarta dan Surabaya film yang malang itu hanya menghasilkan Rp 7,5 juta untuk produsennya. Padahal untuk hak mengedarkannya ke seluruh Indonesia konon PT Perfin berjanji akan menyetorkan Rp 70 juta. Sementara yang masuk baru Rp 23,5 juta "Kami menghimbau PT Perfin agar segera menyetor uang itu," kata Gubernur Sum-Ut yang sekarang, EWP Tambunan. Tapi di Jakarta, Zulharmans menyanggah ucapan Tambunan itu "Kami tidak pernah berjanji sebanyak itu." Sementara Buaya Deli belum memasukkan uang yang cukup. Gubernur Tambunan tampak mendorong rencana produksi kedua: Saman dan Salamah. Sungguhan? "Saya sendiri yang akan menyeleksi para pendukungnya," kata sang gubernur. Duitnya Tak jadi soal, "di Sumatera Utara ini banyak bank," tambahnya. Tambunan berbicara dalam suatu upacara selamatan di halaman studio film Medan berhubung ada penghargaan panitia Festival Film Asean IX kepada Pemda Sum-Ut yang menyertakan Buaya Deli. Hari itu (18 November) para artis setempat meminta gubernur agar melanjutkan kebijaksanaan Pemda membuat film bermutu dengan memanfaatkan studio yang terlantar tadi. "Himbauan itu bukan untuk saya saja tapi juga untuk saudara-saudara," sahut Tambunan secara spontan. Bahkan Tambunan juga berkeinginan membenruk sebuah Perseroan Terbatas yang akan mengelola soal produksi dan distribusi film yang dibuat Pemda Sum-Ut. Sebab sampai kini kedudukan Team Film Cerita Pemda Sum-Ut tidak jelas. Modal pertama PT ini diharapkannya dari hasil pemasaran Buaya Deli dan studio film Medan ini sendiri. Pengaruh pemda dalam pembuatan film bukan hanya di Sum-Ut. Juga Pemda Sul-Sel pernah membantu suatu perusahaan setempat untuk memproduksi Direktris Muda, dan Pemda Ja-Bar bersama PT Tuti Jaya Film menghasilkan Mat Peci. Tapi adalah Pemda Sum-Ut yang 100% membikin investasi untuk produksi film.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus