Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK henti-hentinya Seto Mulyadi mencomot kue kaleng yang disuguhkan tuan rumah. Sesekali ia menyeruput teh manis di depannya. Selasa sore pekan lalu, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia itu datang ke rumah Pujiono Cahyo Widianto di Desa Bedono, Kecamatan Jambu, Semarang. ”Saya datang mendadak dari Jakarta, jadi belum sempat makan siang,” kata pria yang lebih dikenal dengan sebutan Kak Seto itu.
Puji menerima Seto di ruang tamunya. Ruangan itu penuh hiasan foto dirinya, kaligrafi, dan sebuah tasbih raksasa. Sekitar dua jam keduanya berbicara bak kawan lama yang baru bertemu. Pembicaraan itu berlangsung dalam bahasa Jawa kromo inggil, Jawa halus. ”Kami berbincang hangat, dia sangat menghargai saya,” ujar Seto tentang pria yang di desanya biasa dipanggil Syekh Puji itu. Selain mengobrol dengan pemimpin Pondok Pesantren Miftahul Jannah tersebut, Seto sempat berbincang berdua dengan Lutfiana Ulfa, remaja yang umurnya belum genap 12 tahun, yang Agustus lalu dinikahi Puji secara siri.
Untuk Lutfiana inilah Seto terbang dari Jakarta pekan lalu. Sejak pernikahan itu terungkap dan diberitakan media pada 19 Oktober lalu, kecaman tak habis-habisnya menghajar pria 43 tahun ini. Apalagi saat itu Puji sempat berkata akan menikahi pula bocah sembilan dan tujuh tahun. Pernikahan Puji-Lutfiana sendiri baru terungkap saat Puji ”melantik” istri barunya ini sebagai Managing Director PT Sinar Lendoh Terang (Silenter), perusahaan perunggu miliknya. Sejak dinikahi sang syekh, Lutfiana, atas perintah Puji, mendapat ”nama baru”: Nyai Ulfa.
Tak sekadar mengecam, sejumlah anggota Jaringan Peduli Perempuan dan Anak Jawa Tengah segera melaporkan ulah Puji ke polisi. ”Ini preseden buruk bagi upaya perlindungan anak dan perempuan,” kata Koordinator Jaringan, Agnes Widanti. Polisi telah memeriksa beberapa orang yang terlibat dalam pernikahan tersebut. Mereka adalah Suroso, orang tua Lutfiana; pegawai kecamatan; kepala desa; dan Kepala Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Bawen, tempat Lutfiana belajar sebelum menikah.
Menurut Kepala Kepolisian Resor Semarang Ajun Komisaris Besar Abdul Hafidh Yuhas, Puji, yang sudah beristri, bisa dijerat dengan tiga undang-undang, yaitu Undang-Undang Perkawinan, Perlindungan Anak, dan Ketenagakerjaan. Menurut undang-undang, usia perempuan yang boleh dinikahi minimal 16 tahun. Dengan alasan ini pula, Kantor Urusan Agama Kecamatan Jambu menolak mendaftarkan pernikahan Puji-Lutfiana.
Menikahi bocah sebenarnya hanya satu dari sekian peristiwa mengejutkan yang ditunjukkan Puji. Menjelang Lebaran tempo hari, misalnya, puluhan ribu orang berkumpul di depan rumahnya, antre sedekah. Saat itu Puji mempertontonkan kepada tamunya yang datang dari berbagai pelosok tersebut tumpukan duitnya di dalam lemari besi yang pintunya dibuka lebar-lebar. Pada hari biasa, lemari itu dijaga ketat anak buahnya. ”Dia dermawan sekali,” kata Yusuf, warga Desa Bedono, tetangga Puji.
Meski menyandang sebutan ”syekh” dan ”kiai”, Puji bukanlah keturunan ulama. Bapak-ibunya, Suramin dan Tasmin, adalah petani di Bedono. Puji adalah anak kelima dari tujuh bersaudara. Menurut Sedyo Prayogo, pengacara Puji, Kiai Puji adalah lulusan Sekolah Pendidikan Guru Don Bosco Semarang. Selepas sekolah, pada awal 1980-an, ia merantau ke Jakarta. ”Dia sempat jadi kernet metromini.”
Setelah menjadi kernet, pria berjenggot lebat itu alih profesi menjadi penjual buku. Saat di Ibu Kota, Puji sempat membuka usaha percetakan hingga awal 1990. Setahun kemudian ia pulang ke Bedono dan mendirikan usaha kaligrafi perunggu. Perusahaannya ia beri nama PT Silenter. Saat itu ia juga sempat menjadi kepala desa, ”mengikuti” jejak kakeknya yang pada 1950-an pernah jadi kepada desa. Bisnis Puji di bidang kaligrafi maju pesat.
Setelah mereguk sukses di bisnis kaligrafi, pada 2003 Puji mendirikan Pondok Pesantren Miftahul Jannah—artinya ”kunci surga”. Ada yang menyebut, setelah mendirikan pesantren inilah orang mulai memanggil Puji dengan menambah embel-embel ”syekh”. Miftahul Jannah Pujiono CW—demikian nama lengkap pesantren tersebut—merupakan pesantren khusus buat penghafal Al-Quran. Istri Puji, Umi Haniah, adalah seorang penghafal Quran. Meski lebih tua bila dibanding Lutfiana, usia Haniah 17 tahun lebih muda dibanding suaminya. Haniah inilah yang dipercaya Puji mengelola Miftahul Jannah. Di sini pula Puji dan Haniah tinggal.
Terletak di pinggir jalan raya Semarang-Magelang, melintas di depan gerbangnya, orang bisa melihat empat mobil Puji yang disimpannya dalam bangunan berdinding kaca: BMW, Mercedes-Benz, Jaguar, dan Lamborghini. Tak jauh dari ”akuarium” itu, terlihat lagi dua BMW dan belasan mobil berbagai merek. Selain mengoleksi mobil, Puji mengoleksi belasan sepeda motor mini.
Pesantren Puji terhitung luas. Berdiri di atas lahan seluas 3,5 hektare, di sana ada asrama untuk santri, kantor, dan ruang-ruang kelas. Adapun luas rumah Puji sekitar 500 meter persegi. Di depan pintu rumah inilah ia meletakkan lemari besi berukuran satu meter yang, katanya, berisi duit. Setiap hari pesantren ini selalu ramai. ”Santrinya hampir seribuan,” kata Mudiyah, penjaga gerbang.
Puji tak memungut apa pun bagi mereka yang belajar di pesantrennya. Belajar, makan, minum, semua gratis. Ini pula yang, antara lain, membuat ia mendapat penghargaan dari Dewan Pendidikan Semarang. Ia dinobatkan sebagai tokoh peduli pendidikan.
Puji juga pernah mencoba peruntungannya di panggung politik. Pada 2005 ia maju jadi calon Bupati Semarang. Dari lima calon, Puji, yang saat itu didampingi Syaiful Hidayat dan didukung Partai Amanat Nasional, ternyata hanya dapat nomor buncit. Padahal, sebelum pencoblosan, ia ketahuan membagi-bagikan duit, perbuatan yang membuat ia diprotes calon lainnya.
Setahun kemudian, setelah kalah dalam pemilihan bupati, Puji memimpin demonstrasi di kantor Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah. Kali ini ia mendesak kejaksaan menetapkan Bupati Bambang Guritno, lawannya dalam pemilihan umum, sebagai tersangka kasus korupsi anggaran. Perseteruan ini ternyata tak lama. Mei 2007 Puji bertandang ke kantor Bambang. Saat wartawan menyinggung soal demo yang pernah ia lakukan, ia hanya tertawa. ”Cuma hiburan, dan sekarang hiburan itu selesai.”
Seusai pertemuan dengan Bambang, Puji mengaku tak mau lagi berpolitik dan memilih berkonsentrasi mengurus pesantren dan usahanya. Nah, lama tak terdengar, tiba-tiba, itu tadi, namanya mengorbit lagi setelah diketahui menikahi Lutfiana. Kepada Kak Seto, Puji menyatakan Lutfiana merupakan hasil seleksi yang dilakukan istrinya, Haniah, selama hampir satu tahun. Sebelumnya, Lutfiana adalah siswi kelas II SMP Negeri 1 Bawen. ”Ia disiapkan untuk meneruskan usaha Puji,” kata Seto tentang bocah yang dikenal pintar di sekolahnya itu.
Ayah Lutfiana, Suroso, optimistis perkawinan Lutfiana dengan Puji itu akan membawa kebahagiaan bagi keduanya, juga keluarganya. ”Pak Puji itu kaya, tapi tidak semata-mata itu yang kami cari. Buat apa menikah dengan orang kaya tapi tidak bahagia di dunia dan akhirat,” kata buruh perusahaan garmen itu. Sejak anaknya digaet Syekh Puji dan menjadi pembicaraan di mana-mana, Suroso memilih meninggalkan rumahnya yang luasnya sekitar 70 meter persegi di Desa Radu Gunting, Kecamatan Beregas, Semarang. Rumah berdinding batu bata tanpa diplester itu kini dalam status ”dikontrakkan”.
Pekan lalu, setelah pertemuan dua jam dengan Kak Seto, Puji menyatakan siap membatalkan pernikahannya dengan Lutfiana. Pria berewok ini juga menyatakan mengembalikan bocah perempuan itu ke tengah keluarganya. Menurut Seto, kendati Puji membatalkan atau memulangkan Lutfiana, proses hukumnya tetap berjalan. Puji sendiri tak banyak bicara soal rencana pembatalan itu. ”Saya tidak mau bicara dengan wartawan,” katanya kepada Tempo.
Jika semua itu terjadi, yang paling menderita tetaplah Lutfiana. Gadis cilik itu telah kehilangan sekolahnya, juga teman bermainnya. ”Lutfiana itu sudah rusak mental dan jiwanya. Serba salah sekarang dia,” kata Sri Haryani, guru SMP Negeri 1 Bawen, tempat Lutfiana dulu menuntut ilmu.
Adek Media, Rofiuddin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo