Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PROFESOR Wila Chandrawila mengambil map di mejanya. Selasa malam pekan lalu, setelah menyodorkan pendapat fraksinya, Fraksi Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia, terhadap Rancangan Undang-Undang Pornografi kepada Menteri Agama Maftuh Basyuni, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meuthia Hatta, dan Menteri Negara Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh, ia bergegas keluar.
“Ada beberapa pasal yang kami tidak setuju,” ujarnya. ”Jika disahkan RUU itu juga melanggar prosedur yang sudah disepakati,” kata ahli hukum dari Universitas Parahyangan, Bandung, itu .
Chandra tahu pendapat fraksinya itu bakal ”tertelan” pendapat fraksi lain. Dari sepuluh fraksi, hanya PDI Perjuangan dan Partai Damai Sejahtera yang ngotot RUU itu tak buru-buru disahkan. Yang lain bersatu padu: minta segera disahkan.
”Golkar sejak awal mengawal RUU ini. Kami meminta RUU ini segera disahkan,” ujar juru bicara Fraksi Golkar, Ismail Tajuddin.
Kamis pekan lalu, lewat rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat , RUU itu jadi undang-undang. Sebelum palu diketuk, anggota PDI Perjuangan dan Partai Damai Sejahtera serentak meninggalkan ruang sidang. ”Kami walk out, tidak setuju,” ujar Ketua Fraksi PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo. Di luar gedung, sekitar 100 orang dari berbagai organisasi bersorak-sorai. ”Sudah lama saya menunggu RUU ini disahkan,” kata Rachma, anggota organisasi Persaudaraan Muslimah yang hari itu datang ke DPR bersama 20-an rekannya.
Dibanding versi awalnya, undang-undang yang disahkan pekan lalu itu banyak mengalami perubahan. Dua tahun silam, gelombang protes marak di mana-mana. Terdiri atas 11 bab, 93 pasal, RUU itu sarat dengan pasal yang dengan enteng bisa melemparkan orang ke dalam bui. Pasal 58 misalnya berisi ancaman lima tahun penjara untuk siapa pun yang membuat tulisan atau mengekspresikan daya tarik tubuh tertentu yang sensual.
Pasal inilah yang, antara lain, membuat ratusan penari tayub Jawa Tengah menggelar unjuk rasa di Solo. Di Bali, sejumlah anggota panitia khusus yang akan mensosialisasikan RUU tentang Antipornografi dan Pornoaksi, demikian nama RUU tersebut, disambut demo. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali dengan resmi menolaknya.
Dewan tidak menyerah. Panitia Khusus RUU lantas membentuk panitia kerja dan revisi pun dilakukan. Definisi pornografi, misalnya, dipermak. Demikian pula judulnya, hanya ”RUU tentang Pornografi”. Sejumlah pasal yang selama ini jadi ”bulan-bulanan” para seniman, pasal 58, juga rontok. RUU Pornografi ini pun muncul dengan penampilan lebih ringkas, hanya 44 pasal.
Kendati demikian, protes tetap bermunculan. Definisi pornografi tetap dipersoalkan lantaran masuknya kata-kata ”membangkitkan hasrat seksual” yang dinilai pengertiannya kabur. Demikian pula pasal 21, yang memberi peran masyarakat melakukan pencegahan terhadap pornografi. Para tokoh masyarakat Bali juga memprotes pasal 14 yang menyatakan, antara lain, penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan adat istiadat dan ritual tradisional. ”Kalau diterima, sama saja dengan mengakui adat istiadat kita mengandung pornografi,” kata budayawan Bali, Sugi Lanus. Awal Oktober lalu para seniman dan tokoh masyarakat Bali berdemo kembali menolak RUU itu.
Toh, ini tak menyurutkan Dewan ngebut menyelesaikan RUU ini. Pasal 14 yang membikin geger itu dirontokkan. Sejak panitia kerja dibentuk Mei silam, setidaknya sudah digelar 11 kali rapat untuk merampungkan RUU tersebut. ”Ini undang-undang penting, kalau tidak ada undang-undang ini, bahaya anak-anak kita,” ujar Hilman Rosyad Syihab, anggota Partai Keadilan Sejahtera, salah satu partai yang paling bersemangat mengegolkan RUU ini. Anggota Panitia Khusus RUU Pornografi ini membantah suara yang menyebut RUU ini condong untuk umat Islam. ”Keliru,” ujarnya. Menurut dia, RUU ini tetap mengedepankan jati diri Indonesia sebagai bangsa yang Bhinneka Tunggal Ika.
Anak-anak memang mendapat perlindungan istimewa dalam undang-undang ini. Siapa pun yang terbukti mengeksploitasi anak untuk pornografi, misalnya, bisa dihukum sampai 16 tahun penjara dan/atau denda hingga Rp 6 miliar. Hukuman ini jauh lebih berat ketimbang yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.
Undang-undang yang terdiri atas delapan bab dan 45 pasal ini memang memberi ancaman hukuman berat bagi mereka yang terbukti melakukan kegiatan pornografi. Mereka yang mendanai pornografi, misalnya, bisa dihukum delapan tahun penjara dan/atau denda hingga Rp 5 miliar. Adapun mereka yang mengunduh gambar porno dari Internet bisa masuk bui empat tahun plus denda Rp 2 miliar. Jika pelanggaran itu dilakukan sebuah korporasi, denda tersebut berlipat tiga kali. ”Undang-undang ini memang untuk membendung pornografi yang sudah marak,” ujar Ketua Panitia Kerja Yoyoh Yusroh.
Kendati demikian, tetap ada yang riskan dalam undang-undang ini. Soal peran masyarakat, misalnya. Walau ada tambahan pasal yang seakan mengharuskan koordinasi dengan aparat keamanan, di mata Chandra itu tetap tak memberi jaminan bahwa ekses tak terjadi. ”Dengan alasan pornografi, orang bisa main hakim sendiri terhadap penyanyi dangdut yang berada di panggung,” katanya. Chandra menuding sejumlah fraksi melanggar komitmen. Sudah disepakati, kepala daerah yang masyarakatnya menolak akan dipanggil, didengar pendapatnya. ”Tapi ini kan tidak,” ujarnya.
Ketua Panitia Khusus RUU ini, Balkan Kaplale, mengaku undang-undang ini memang tidak bisa menampung semua aspirasi masyarakat. ”Karena itu, kami mengharap kelapangan hati semua pihak menerima hasil ini sebagai konsensus maksimal,” ujarnya.
Suara-suara yang memprotes telah muncul. Dari Bali, misalnya, ancaman untuk membawa undang-undang ini ke Mahkamah Konstitusi nyaring terdengar. ”Kami menganggap undang-undang itu mendiskriminasikan sebagian warga negara,” kata Ketua Komponen Masyarakat Bali I Gusti Ngurah Harta. Adapun Gubernur Bali Made Mangku Pastika bersama Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali Ida Bagus Wesnawa dengan tegas menyatakan menolak Undang-Undang Pornografi ini. Perjalanan undang-undang kontroversial ini tampaknya belum berakhir.
L.R. Baskoro, Munawwaroh, Marta Silaban, Rofiki Hasan (Denpasar)
Sejumlah Ancaman dan Kontradiksi
Pasal 1 ayat 1
Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
PDIP tak setuju adanya frasa ”gerak tubuh” dan ”pertunjukan di muka umum” dalam definisi pornografi tersebut. Ini dinilai penyelundupan pengaturan pornoaksi dalam definisi pornografi dan melanggar kaidah pembuatan perundang-undangan, bahwa isi undang-undang harus sesuai dengan judul.
Pasal 4
Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
- persanggamaan, termasuk persanggamaan yang menyimpang
- kekerasan seksual
- masturbasi atau onani
- ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan
- alat kelamin; atau
- pornografi anak
Dalam penjelasan Pasal 4 disebutkan persanggamaan lesbian dan homoseksual termasuk ”persanggamaan yang menyimpang”. PDIP menyatakan ini bertentangan dengan keputusan Departemen Kesehatan dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) berkaitan dengan diagnosis gangguan jiwa III yang menyatakan homoseksualitas dan lesbian tidak tergolong persanggamaan menyimpang.
Pasal 10
Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, ekpsloitasi seksual, persanggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.
Frasa ”menggambarkan ketelanjangan” dan ”eksploitasi seksual” bisa sangat subyektif penafsirannya.
Pasal 19 ayat c
Untuk melakukan upaya pencegahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17, pemerintah daerah berwenang melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya.
"Berbagai pihak" dalam pasal ini bisa sangat subyektif dan tergantung penguasa daerah. Seharusnya lebih tegas, misalnya kepolisian daerah.
Pasal 21 ayat 1
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dapat dilaksanakan dengan cara: b) melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan, d) melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.
Frasa ”dapat” tidak menunjukkan ketegasan.
Pasal 43
Pada saat undang-undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 harus memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk dimusnahkan.
Kata ”sendiri” dalam pasal ini bertentangan dengan penjelasan pasal 6 yang menyatakan: larangan memiliki atau menyimpan produk pornografi (seperti tertera dalam pasal 6) tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo