Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PINTU kantor presiden yang terbuka Selasa siang pekan lalu seakan menandakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak lagi tertinggal langkah. Setelah berdiskusi sekitar satu setengah jam dengan Menteri Energi Purnomo Yusgiantoro pada wartawan di balai kantor itu, dia memberikan kabar riang: harga bahan bakar minyak bakal turun. ”Kalau baik bagi rakyat, ekonomi kita juga klop, kita ambil,” kata Presiden.
Dua bulan terakhir, harga minyak dunia terus merosot. Padahal, Agustus lalu, harganya masih menari di level US$ 115 per barel. Bahkan bulan sebelumnya mencapai rekor tertinggi, yakni hampir US$ 150. Tapi krisis keuangan Amerika membanting telak emas hitam ini. Pekan kemarin, harga minyak di bursa New York Mercantile Exchange kembali seperti awal 2007, di posisi US$ 60-an (lihat grafik).
Sejumlah negara mengambil langkah cepat mengikuti pergerakan harga. Malaysia, misalnya, sudah tiga kali menurunkan harga jual bahan bakar minyak. Pertama dilakukan pada 23 Agustus, lalu 25 September, dan terakhir Rabu dua pekan lalu. Di sana, minyak beroktan 92 kini dijual RM 2,2 per liter atau sekitar Rp 6.400. Semula, minyak setara Pertamax itu dijual RM 2,55. Vietnam juga sama. Bulan lalu, negeri ini dua kali menurunkan harga. Terakhir, US$ 0,92 per liter.
Melihat hal itu, sejumlah kalangan pun ribut meminta pemerintah mengikuti langkah serupa. Ahli perminyakan Kurtubi mengatakan, bila harga minyak mentah berada di kisaran US$ 63 per barel, harga premium per liternya mestinya di kisaran Rp 4.900-5.000. Hitung-hitungan sederhananya adalah harga per barel dikonversi ke liter, lalu dikalikan dengan kurs rupiah. Setelah itu, ditambah biaya produksi, transpor, dan ongkos lain 20 persen.
Menurut doktor ekonomi energi dari Colorado School of Mines, Amerika Serikat, itu, dengan menurunkan harga, pemerintah menunjukkan konsistensi dalam menetapkan kebijakan seperti saat memutuskan mengurangi subsidi akhir Mei lalu. Selain itu, penurunan akan memberikan efek peningkatan daya beli masyarakat, apalagi krisis keuangan mulai menerabas sektor riil.
Suara yang sama datang dari kalangan pengusaha. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia M.S. Hidayat mengatakan program pemerintah untuk menguatkan pasar domestik sebagai salah satu langkah menahan krisis akan terbantu oleh pemangkasan harga bahan bakar minyak. Untuk masyarakat bawah, penurunan harga pasti sangat berarti. ”Juga bagi usaha mikro dan kecil,” kata Hidayat.
Nah, di tengah hujan desakan itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla maju satu langkah. Jumat dua pekan lalu, saat Presiden mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi Asia Europe Meeting di Beijing, Cina, Kalla mengatakan pemerintah terus mengkaji pergerakan harga minyak dunia yang menukik. Bila harga emas hitam itu stabil jauh di bawah asumsi anggaran negara, yakni US$ 95 per barel, harga minyak bersubsidi akan turun.
Dua hari kemudian, Kalla kembali bicara soal penurunan harga bahan bakar ini. Selain oleh faktor minyak mentah dunia, menurut dia, pengurangan harga premium, solar, atau minyak tanah juga didasari oleh nilai tukar rupiah dan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. ”Yakinlah pemerintah akan menyesuaikannya,” kata Kalla.
Untuk soal yang terakhir, sepertinya Kalla tak perlu bekerja keras. Jauh-jauh hari, suara lantang sudah berkumandang dari Senayan. Pertengahan bulan lalu, anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Tjatur Sapto Edi, mendesak harga bahan bakar minyak segera disesuaikan. Menurut perwakilan Fraksi Partai Amanat Nasional itu, keuangan negara aman bila harga turun hingga seribu perak per liter.
Menurut Tjatur, berdasarkan keterangan Departemen Keuangan, pemerintah mengantongi Rp 34,5 triliun dari penaikan harga bahan bakar minyak. Sampai akhir Oktober, uang itu baru terpakai Rp 18,5 triliun untuk program bantuan langsung tunai, beras bagi rakyat miskin, operasi pasar, dan subsidi lain. Sisanya itulah yang digunakan untuk menopang jika harga minyak diturunkan.
Hitungan lain datang dari Wakil Ketua Panitia Anggaran Harry Azhar Aziz. Menurut dia, sesuai dengan anggaran 2008, subsidi tahun ini Rp 126,81 triliun. Itu dengan asumsi Indonesia Crude Price (ICP) US$ 95 per barel. Dengan rata-rata ICP sampai bulan lalu masih US$ 105, dan memasukkan penghematan dari kenaikan harga, di kantong pemerintah masih tersisa Rp 10 triliun. Uang inilah yang bisa menyangga penurunan tadi.
Namun desakan sana-sini itu sempat tertahan di Lapangan Banteng. Pada hari yang sama ketika Kalla menyatakan kemungkinan turunnya harga minyak, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berkata sebaliknya. Menurut dia, penurunan harga bahan bakar minyak hanya akan mendatangkan ketidakpastian kalau dilakukan secara tidak fleksibel.
Selain itu, gonjang-gonjang ekonomi dunia yang belum reda menyulitkan pemerintah memprediksi ke arah mana harga minyak bergerak. Apalagi, menurut Sri Mulyani, harga bahan bakar dalam negeri masih terpaut jauh dengan harga internasional. Dia mencontohkan harga minyak tanah yang lebih rendah sekitar 20 persen. ”Harga kita belum menunjukkan titik yang sama dengan harga keekonomian,” kata Sri Mulyani.
Suara Menteri Keuangan itu tak berubah hingga sehari sebelum Presiden Yudhoyono memberikan woro-woro. ”Karena subsidinya masih besar,” katanya. Menteri Purnomo mendukungnya. Dia beralasan, selain rata-rata harga minyak masih di atas perkiraan, subsidi yang digelontorkan pun telah membengkak hingga US$ 130,9 triliun sampai akhir bulan lalu.
Harry mengatakan argumen itu tak berdasar. Menurut dia, pembengkakan itu bisa dianggap sebagai pelanggaran undang-undang. ”Pemerintah tidak dapat mengeluarkan uang yang tidak diatur dalam anggaran,” katanya. Bila itu terjadi karena volume yang kian besar, tugas pemerintahlah untuk menjaga agar konsumsi sesuai dengan anggaran, yakni 35,5 juta kiloliter. Dia menduga pemakaian yang begitu besar terjadi karena banyak bahan bakar minyak bersubsidi lari ke industri atau diselundupkan ke luar negeri.
Kurtubi beranggapan sama. Menurut dia, krisis yang berpusat di Amerika akan berlangsung lama. Ekonomi dunia akan melambat dan itu juga akan menurunkan permintaan minyak. Dia memperkirakan, sampai akhir 2009, harga minyak akan bergerak di posisi US$ 70 per barel. Angka itu bisa naik ke US$ 80 hanya bila Organization of the Petroleum Exporting Countries kembali memangkas produksi dan ekonomi dunia bangkit.
Dengan berbagai alasan tadi, Presiden diminta segera mengambil keputusan. ”Tak perlu menunggu 2009,” kata Harry. Bila harga turun tahun depan, kata Tjatur, langkah itu bisa bermakna politis dan dijadikan barang jualan dalam kampanye pemilu .
Yudhoyono pun buru-buru menampik. Menurut dia, kapan pemerintah akan menurunkan harga sangat bergantung pada hitung-hitungan ekonomi negara. Purnomo mengiyakan. Kini, dengan harga yang cenderung ke bawah, penurunan dalam waktu dekat bukan hal mustahil. ”Tidak lucu kalau harga keekonomian lebih rendah dari premium,” katanya.
Melihat perkembangan harga, kemungkinan besar Presiden akan mengetuk palu awal bulan ini. Apalagi PT Pertamina memangkas harga bahan bakar industri (nonsubsidi) menjadi Rp 5.900-6.200. Demikian juga harga Pertamax. Mulai 1 November, masyarakat bisa menikmati harga baru bensin beroktan 92 itu Rp 7.000 per liter.
Ekonom Universitas Indonesia, Chatib Basri, mengusulkan penetapan harga bahan bakar mengikuti mekanisme pasar. Sebab, inilah yang paling sehat bagi ekonomi negara. Namun itu bukan berarti menghilangkan peran pemerintah sama sekali. Hidayat juga memberikan dukungan. ”Masyarakat perlu belajar pada sektor industri,” katanya.
Ia menambahkan, Kadin sudah mengajukan rumusan ke Departemen Keuangan dan Presiden mengenai skema mengambang harga bahan bakar minyak seperti yang sudah diterapkan di industri. Namun, untuk masyarakat, tetap ada subsidi dalam rentang tertentu. Prinsipnya, harga bisa naik, juga bisa turun. Seperti saat ini, katanya, industri sedang enak-enaknya menikmati bahan bakar murah.
Muchamad Nafi, Ninin Damayanti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo