Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BETAPA terkejut Mizan Allan de Neve ketika melakukan check in di Bandar Udara Komodo, Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Petugas mengabarkan nama laki-laki Belanda kelahiran Pangkal Pinang, Bangka Belitung, itu tak ada dalam daftar manifes penumpang Lion Air JT 17, yang akan berangkat pukul 08.30 WIT.
Hari itu, 31 Mei 2011, Allan hendak pulang ke Jakarta setelah sepekan menengok koperasi yang didirikannya bersama Keuskupan Ruteng. Setiap akhir bulan, pengusaha perencanaan desain 55 tahun ini berkunjung ke sana. ”Baru kali itu saya naik Lion,” katanya kepada Tempo pekan lalu.
Ia tak habis pikir namanya bisa menghilang, padahal tiket elektronik pulang-pergi yang ia pesan pada 23 Mei 2011 saat akan berangkat dari Jakarta masih ia pegang. Allan meminta petugas mengeceknya sekali lagi dan mengkonfirmasi ke kantor pusat Lion di Jakarta.
Alih-alih Allan mendapat kabar baik, seorang manajer Lion di Komodo memberi tahu namanya tak tercantum karena tiketnya sudah dibatalkan alias refund. Menurut petugas itu, mengutip cetakan daftar manifes yang dikirim dari Jakarta, tiket Allan dibatalkan pada 24 Mei atas permintaan seseorang di Bandung.
Meski dongkol, Allan tak mau berdebat dengan petugas yang tak bisa mengambil keputusan. Waktu keberangkatan pesawat juga semakin dekat. Hampir dua jam ia mencoba bertanya tentang tiket yang dibatalkan itu. Dengan terpaksa Allan pun membeli tiket Labuan Bajo-Denpasar, Denpasar-Jakarta seharga Rp 1,8 juta.
Sesampai di Denpasar, Allan masih coba bertanya ke gerai Lion. Jawaban sama seperti di Komodo kembali ia dapatkan. Saking ingin tahu siapa yang membatalkan, Allan lupa bahwa waktu transit hampir habis. Ketika ia berlari ke Gate 15, di sana tertera panggilan terakhir untuk penumpang Lion ke Jakarta.
Malang bertambah-tambah untuk Allan. Saat tergopoh-gopoh sampai di pintu masuk, petugas di sana menyetop karena pesawat sudah berangkat. Allan kembali harus dongkol dan, sialnya, keluar uang lagi untuk membeli tiket baru penerbangan berikutnya.
Dengan kedongkolan beruntun itu, Allan berkonsultasi dengan O.C. Kaligis, pengacara kawakan yang ia kenal baik. Kaligis menyarankan Allan menggugat saja. Maka, pada 1 Juni 2011, Allan mengirim somasi ke PT Lion Mentari Airlines. Sepekan tak ada tanggapan, Allan melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kini kasusnya memasuki sidang ketujuh. Selasa pekan ini, Lion akan membeberkan bukti-bukti pembatalan tiket dan keterlambatan Allan. Rupanya Lion pun menggugat balik. Lion merasa dirugikan telah menunggu Allan yang telat masuk kabin saat pesawat akan lepas landas dari Bandara Ngurah Rai, Bali. ”Sekitar 20 menit kami menunggu Mister Allan,” kata Harris Arthur, pengacara Lion.
Lion menggugat Allan sekitar Rp 13 juta. Ini akumulasi kerugian akibat telat terbang dengan menghitung biaya avtur, biaya perpanjangan waktu di bandara, tambahan honor dua pilot dan lima pramugari, serta pemeliharaan pesawat. Adapun Allan menggugat Lion secara material Rp 1,8 juta dan imaterial Rp 10 miliar karena merasa rugi beberapa janji bisnisnya terbengkalai akibat gagal terbang.
Dalam sidang pada Selasa pekan lalu, Slamet Yuono, pengacara Allan, menunjukkan bukti bahwa kliennya tak sekali pun minta pembatalan tiket. Dari percakapan telepon, terbukti Allan sedang berada di Flores, bukan di Bandung, pada 24 Mei, saat pembatalan terjadi. ”Itu memang ada kesalahan pada jaringan kami,” kata Arthur.
Meski mengaku ada yang salah, Lion tak mau disalahkan. Arthur memberi contoh penarikan uang di mesin penarik uang ATM. Banyak kasus uang tak keluar tapi di ATM tetap tercatat tertarik. ”Kalau begini, ATM yang rusak atau jaringan di banknya? Kami masih melacak rusaknya di mana,” katanya.
Adapun soal pesawat telat, Arthur mempersoalkan sikap Allan yang mengaku dihadang petugas saat akan naik. ”Mengapa ia membeli tiket baru kalau merasa tak telat? Kami sudah beberapa kali memanggil namanya dan menunggu,” katanya. Menurut Arthur, Lion mau mengganti uang Allan Rp 300 ribu, yaitu uang selisih harga tiket baru dengan pengembalian uang akibat refund.
Bagi Lion, ini kasus pertama mereka digugat ke pengadilan. Adapun bagi Allan, gugatannya ini untuk memberi pelajaran kepada maskapai yang sewenang-wenang terhadap penumpang. ”Setelah kasus ini mencuat, banyak konsumen yang mengeluh kasus serupa menimpa mereka tapi tak berani menggugat,” kata Slamet Yuono.
Bagja Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo