Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font face=arial size=1 color=#ff9900>Modernisasi</font><br />Ujung-ujungnya Korupsi

Kejaksaan Agung terus mengembangkan penyidikan perkara korupsi Sistem Informasi Perpajakan. Tersangka baru segera ditetapkan.

16 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERKAUS oblong putih, Pulung Sukarno duduk santai menyaksikan tayangan televisi berbayar di sebuah ruang dekat kamar tahanan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Tangan kanannya tampak memegang buku berjudul Ruh karangan Ibnu Qayyimah Al-Jauziyah.

Sejak ditahan pada awal Desember lalu, aktivitas bekas Kepala Bagian Perlengkapan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan itu memang tak jauh dari menonton televisi dan membolak-balik buku. Sesekali pria yang pensiun sejak 1 Juli 2007 ini melakukan senam pagi. Di rumah tahanan itu, ia menghuni sel seluas 12 meter persegi yang hanya berisi kasur tipis dan sejumlah keperluan sehari-hari.

Bersama bekas sejawatnya di kantor pusat pajak, Bahar, pria 60 tahun itu ditetapkan Kejaksaan Agung sebagai tersangka korupsi pengadaan barang dan jasa Sistem Informasi Manajemen Perpajakan tahun 2006, awal November lalu. Pulung adalah pejabat pembuat komitmen di proyek itu. Adapun Bahar ketua pengadaannya. Berbeda dengan Pulung, Bahar ditahan di rumah tahanan Kejaksaan Agung. "Sepeser pun saya tak menerima uang dari proyek itu," kata Pulung kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Diusut kejaksaan sejak 20 Mei 2010, kasus ini merupakan tindak lanjut temuan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan atas pengadaan barang proyek komputerisasi tersebut. Menurut pemeriksaan BPK, dari 26 jenis perangkat utama dan perangkat tambahan yang diadakan, tujuh jenis di antaranya diduga fiktif, dan jumlah empat jenis barang lainnya tak sesuai dengan kontrak.

Perangkat fiktif itu, misalnya, 55 unit Wan Router Cisco 2851, 40 IP Phone Power Adapter, dan 17 Patch Cord FO LC TO SC. Sedangkan yang jumlahnya tak sesuai dengan kontrak, antara lain, wireless yang harusnya 53 unit tapi tercatat hanya ada 44 unit, dan perangkat GIG Ether Station yang seharusnya 60 unit, namun tercatat 30 unit. BPK menyimpulkan, dari pagu anggaran proyek Rp 43,686 miliar, sekitar Rp 12,776 miliar diduga menguap.

Dari temuan BPK ini, kejaksaan kemudian menelisik pengadaan tersebut. Hasilnya, kejaksaan menemukan sejumlah kebocoran dalam pengadaan barang dan jasa Sistem Informasi Manajemen Perpajakan di kantor pajak pusat dan kantor daerah.

Menurut seorang penyidik, jumlah proyek di Direktorat Pajak itu sebenarnya terdiri dari sebelas paket pengadaan dengan nilai total mencapai Rp 300 miliar. Namun kini yang disorot baru tiga: pengadaan barang pengembangan sistem informasi pajak, jasa pemeliharaan sistem monitoring pembayaran pajak, dan jasa pelaksanaan modul penerimaan negara. Tiga paket ini, menurut BPK, bermasalah. "Indikasi pidananya kuat," kata sumber berpangkat jaksa madya ini.

Direktorat Jenderal Pajak pada pertengahan Oktober lalu sudah membentuk tim untuk memverifikasi temuan BPK. Tim menelusuri kembali pengadaan sebelas jenis barang yang terdiri 271 item yang dituding BPK fiktif dan jumlahnya tak sesuai dengan kontrak. Penelusuran dilakukan di kantor pusat dan kantor daerah yang tercatat menerima pengadaan.

Menurut sumber Tempo di kantor pajak, dua pekan bekerja, tim menemukan semua barang itu sudah didistribusikan oleh rekanan. Ketika dilakukan pengecekan, harusnya ada 271 item barang, tapi ternyata kurang 20. Dua puluh item tersebut bernilai Rp 38,477 juta. Hasil penelusuran ini kemudian diserahkan ke Kejaksaan Agung untuk "mematahkan" temuan BPK. Kepada Tempo, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Dedi Rudaedi membenarkan perihal temuan ini. "Semua barang ada, tidak ada yang fiktif," katanya.

Kendati kantor pajak melansir data pembanding, kejaksaan terus maju. Pada 3 November lalu, Kejaksaan Agung menetapkan Bahar dan Pulung sebagai tersangka. Menurut seorang jaksa di Gedung Bundar, mereka punya alasan lain untuk meningkatkan kasus itu ke penyidikan. "Soal adanya data pembanding dari kantor pajak, kami telah minta BPK menghitung ulang kerugian negaranya," kata jaksa itu.

Di tahap penyelidikan dan setelah memeriksa belasan saksi, menurut jaksa ini, penyidik menemukan adanya penyimpangan lain dalam pengadaan itu. Panitia, kata dia, telah menetapkan harga perkiraan sendiri senilai Rp 43,686 miliar. Namun, belakangan, spesifikasi barang yang telah ditentukan sebelumnya diubah dan disesuaikan dengan spesifikasi barang milik perusahaan tertentu. Penyidik kini tengah menelusuri bukti adanya kongkalikong dalam proyek ini.

Guna mengembangkan kasus ini, 15 penyidik dipimpin jaksa Eddy Rakamto menggeledah ruangan bagian umum dan perlengkapan di kantor pusat pajak, pada hari Bahar dan Pulung ditetapkan sebagai tersangka. Hari itu, tim juga menggeledah Kantor Pengolahan Data dan Manajemen Pajak di Jakarta Barat dan dua rumah Bahar di Jakarta Selatan dan Depok. Saat penggeledahan, Bahar tengah pergi haji. Adapun Menteri Keuangan Agus Martowadojo dan Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany juga tengah mendampingi Presiden melawat ke Prancis.

Dari penggeledahan itu, tim menyita 15 kotak dokumen dan 70 rekening bank. Sebagian besar rekening atas nama Bahar. Menurut seorang jaksa penyidik, pihaknya sudah meminta dokumen baik-baik ke kantor pusat pajak. Namun, dengan alasan menjaga kerahasiaan wajib pajak, permintaan kejaksaan ditolak. Setelah mendapat izin pengadilan, kata dia, kejaksaan terpaksa melakukan penggeledahan. "Penggeledahan sudah sesuai dengan prosedur," kata juru bicara Kejaksaan Agung, Noor Rochmat.

Menteri Keuangan, sepulang dari luar negeri, langsung mengumpulkan petinggi pajak di kantornya untuk membahas penggeledahan dan kasus pengadaan itu. Sepekan kemudian, menurut seorang petinggi pajak, Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Pajak mendatangi kejaksaan untuk menjelaskan soal pengadaan barang tersebut. Ditanya tentang ini, Noor Rochmat dan Dedi Rudaedi menyatakan tidak tahu soal kunjungan itu.

Setelah menelisik dokumen-dokumen hasil penggeledahan, penyidik mulai menemukan siapa saja pejabat pajak yang turut bertanggung jawab dalam proyek ini. Satu per satu mereka dipanggil kejaksaan. Rekanan dan perusahaan yang tidak menang lelang juga dimintai keterangan. Sampai pekan lalu, 29 saksi telah diperiksa. "Kami akan terus mengembangkan kasus ini," kata Jaksa Agung Basrief Arief.

Kepada Tempo, seorang jaksa yang "memegang" perkara ini mengatakan, selain Pulung dan Bahar, masih ada pejabat di atasnya yang bertanggung jawab dalam proyek pengadaan ini. Menurut jaksa itu, pihaknya masih menelisik keterlibatan Kepala Kantor Wilayah Khusus Jakarta Reza Nurkarim dan Direktur Perpajakan II Syafruddin Alsyah. Saat proyek pengadaan digelar, Reza menjabat Direktur Teknologi Informasi Pajak dan Syafruddin menjabat Sekretaris Ditjen Pajak.

Reza, kata dia, dibidik karena dia yang menyerahkan nota dinas ke Syafruddin. Isinya meminta agar pengadaan barang dan jasa Sistem Informasi Manajemen Perpajakan ditangani Sekretaris Ditjen Pajak. Alasannya, pejabat di Direktorat Teknologi Informasi yang menangani pengadaan, Rafianto, masih menjalani perawatan akibat sakit jantung. Karena nota dinas ini, pengadaan itu dikelola oleh tim di bawah Syafruddin Alsyah.

Menurut sumber ini, dalam waktu dekat pihaknya baru akan menyeret keterlibatan rekanan yang diduga juga diuntungkan. Awal pekan ini, kata dia, Kejaksaan akan menetapkan seorang petinggi rekanan proyek, yaitu dari PT Berca Hardaya Perkasa, sebagai tersangka. Noor Rochmat tidak membenarkan atau membantah soal tersangka baru ini. "Memang terbuka peluang ada tersangka baru," katanya.

Anton Aprianto


Bau Anyir di Pengadaan
DIRANCANG sebagai upaya modernisasi layanan pajak, Sistem Informasi Manajemen Perpajakan ternyata juga tak lepas dari bau korupsi.

13 Juli 2006
Pengumuman lelang pengadaan barang di media.

13 Juli—7 Agustus 2006
Pendaftaran peserta lelang. 19 perusahaan mendaftar.

8 Agustus 2006
Sebanyak 14 perusahaan lolos prakualifikasi.

7 September 2006
Dari 14 perusahaan yang lolos, hanya enam yang mengajukan penawaran.

13 September 2006
PT Berca Hardaya Perkasa menjadi pemenang lelang dengan harga penawaran Rp 35,891 juta.

10 Agustus 2006
Penetapan harga perkiraan sendiri Rp 43,686 miliar oleh pejabat pembuat komitmen.

16 Oktober 2006
Penandatanganan kontrak pengadaan 13 jenis perangkat utama dan 13 jenis perangkat tambahan.

30 November—8 Desember 2006
Serah-terima barang tahap pertama

11 Desember 2006
Serah-terima barang tahap akhir.

Juni 2007
Hasil audit BPK menemukan adanya barang fiktif dan barang dengan jumlah lebih sedikit dari kontrak. Duit yang menguap diduga Rp 12, 776 miliar.

20 Mei 2010
Kejaksaan Agung menyelidiki dugaan korupsi proyek ini. Bahannya dari laporan masyarakat dan hasil audit BPK.

20 Oktober 2011
Ditjen Pajak membentuk tim verifikasi. Hasilnya tidak ada barang fiktif, dan uang yang menguap hanya Rp 38,457 juta.

3 November 2011
Kejaksaan menetapkan pejabat pembuat komitmen Pulung Sukarno dan ketua panitia lelang Bahar sebagai tersangka.

3 November 2011
Penyidik menggeledah kantor Direktorat Jenderal Pajak, Kantor Pengolahan Data dan Manajemen Pajak di Jakarta Barat, dan dua rumah Bahar.

9 Desember 2011
Pulung dan Bahar ditahan.

Awal Januari 2012
Sebanyak 29 saksi telah diperiksa dalam kasus ini.

Pekan ini
Kejaksaan akan menetapkan tersangka baru.


Demi Target Seribu Triliun

TUJUH langkah strategis disiapkan Direktorat Jenderal Pajak untuk mendukung target penerimaan pajak Rp 1.000 triliun pada 2012 ini. Dari tujuh langkah itu, penyempurnaan sistem informasi perpajakan menjadi salah satu prioritas. "Sistem teknologi informasi belum secara keseluruhan menjangkau sektor informal," kata Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany, Selasa pekan lalu.

Meningkatnya target penerimaan pajak membuat bagian pelayanan administrasi perpajakan terus berbenah. Sejak 1994, sistem pelayanan manual yang rawan penyimpangan diubah menjadi sistem layanan informasi perpajakan berbasis komputer. Ketika Hadi Poernomo menjabat Direktur Jenderal Pajak pada awal 2004, modernisasi layanan pajak pun diluncurkan.

Untuk menunjang modernisasi informasi perpajakan, Ditjen Pajak melakukan belanja barang besar-besaran. Digagas sejak zaman Hadi, realisasi belanja 11 paket pengadaan barang senilai Rp 300 miliar turun ketika Dirjen Pajak dijabat Darmin Nasution. Darmin menggantikan Hadi sejak 27 April 2006. "Pengadaan ini untuk mendukung modernisasi teknologi informasi di semua kantor pajak," kata Pulung Sukarno, bekas Kepala Bagian Perlengkapan Ditjen Pajak, Kamis pekan lalu.

Laksana dua sisi mata uang, modernisasi sistem informasi perpajakan mempunyai keunggulan sekaligus kelemahan. Keunggulannya, sistem pajak di Indonesia semakin terintegrasi dan wajib pajak juga makin mudah mengakses pelayanan pajak. Kelemahannya, sistem ini rawan penyalahgunaan.

Kasus dugaan korupsi pengadaan Sistem Informasi Perpajakan yang kini tengah diusut kejaksaan, misalnya. Pengadaan barang teknologi informasi pada 2006 itu ditengarai sarat rasuah. Berpedoman pada hasil audit BPK, kejaksaan menilai pengadaan tiga paket barang senilai Rp 43,7 miliar itu merugikan negara. Angka kerugian ditaksir Rp 12,8 miliar. Pulung Sukarno dan bekas kepala pengadaan proyek itu, Bahar, sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Dalam penerapannya, sistem ini juga rawan diselewengkan. April 2010, Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya menangkap tiga pegawai di lingkungan Kantor Wilayah Ditjen Pajak Jawa Timur I karena memalsukan setoran tagihan pajak. Mereka adalah Kepala Seksi Penagihan Kantor Pelayanan Pajak Rungkut Edwin, pegawai KPP Karangpilang Suhertanto, dan operator consul KPP Mulyorejo Dino Artanto.

Kepada polisi, ketiganya mengaku kejahatan tersebut dilakukan dengan cara mengubah database wajib pajak. Database diubah supaya para wajib pajak yang masuk perangkap kejahatan pemalsuan setoran pajak itu bisa terdeteksi. Dengan modal database tagihan wajib pajak yang sudah direkayasa, mereka meminta tagihan ke wajib pajak. Kerugian negara akibat kejahatan itu mencapai puluhan miliar rupiah.

Namun, menurut Kepala Kantor Wilayah Ditjen Pajak Jawa Timur I saat itu, Ken Dijugiastedi, database pajak tidak bisa dibobol. Bekas Direktur Informasi Perpajakan di era Hadi Purnomo ini menyatakan, pengubahan data hanya bisa dilakukan kantor pusat. Modus yang dilakukan Suhertanto dkk, kata dia, adalah menyalin data, lalu data itu disalahgunakan. "Ini lebih ke penipuan dan pemalsuan," katanya.

Menurut sumber Tempo, sistem teknologi informasi berbasis komputer memang menjadi lahan baru sejumlah pegawai pajak yang bermental korup. Dengan teknologi itu, kata dia, oknum pajak itu memainkan setoran dan tagihan kepada wajib pajak. Mereka juga membuat faktur fiktif untuk mengelabui targetnya. Praktek ini, kata sumber Tempo, tidak hanya dilakukan pegawai rendahan. "Ada istilah Geng IT untuk yang menggarap lahan ini," katanya.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Dedi Ruadedi tidak membantah masih oknum pajak yang memainkan sistem informasi pajak. Dengan integritas rendah, kata dia, oknum pegawai pajak yang biasa menguasai teknologi informasi kerap memanfaatkan kelemahan yang ada. Karena itu, kata Dedi, pihaknya terus menyempurnakan sistem tersebut. Sedangkan soal Geng IT, Dedi membantah. "Itu cuma isu," katanya.

Anton Aprianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus