Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAMBIL meringis menahan sakit di kepala, Faisal Akbar meminta kakak dan ibunya tak usah lagi menjenguknya di ruang tahanan. Hari itu, 26 Desember 2011, Faisal sudah lima hari ditahan di Kepolisian Sektor Sijunjung, Sumatera Barat. "Kepala saya sudah terasa empuk, Bang. Tiap hari dipukul dengan kayu," kata remaja 14 tahun jebolan kelas IV Sekolah Dasar 22 Jorong Ambacang ini. Didi Firdaus, kakaknya, datang menemani ibu mereka mengantar nasi. "Sore itu Budri ditahan di sel yang sama," ujar Didi, Kamis pekan lalu.
Budri M. Zen, kakak Faisal yang usianya terpaut tiga tahun, ditangkap di rumahnya karena dituduh mencuri sepeda motor. Tuduhan ini didapat polisi Sijunjung dari keterangan Faisal, yang mengaku sudah mencuri 19 sepeda motor bersama kakaknya itu. Adapun Faisal ditahan karena dituduh mencuri kotak amal Masjid Nurul Yakin di Jorong Koto Tangah, Nagari Pematang Panjang.
Yusmanidar terisak mendengar jerit lirih Faisal. Apalagi ia melihat sekujur tubuh anak bungsunya itu biru lebam seperti bekas pukulan benda-benda tumpul. Kakinya terbungkus plastik dan ia kesulitan melangkah untuk mengambil nasi yang dibawa ibunya.
Hati perempuan buruh tani serabutan setengah baya ini makin perih saat Budri meminta keluarganya tak perlu menengok mereka lagi. "Pulanglah, Amak. Amak tak akan tahan melihat kami dipukul," katanya seperti ditirukan Yusmanidar. Itulah kalimat terakhir yang keluar dari mulut Faisal dan Budri. Setelah keduanya makan nasi yang dibawa Yusmanidar, janda empat anak ini meninggalkan tahanan. Dua hari kemudian, ia mendengar dua anaknya itu meninggal.
Tubuh Faisal dan Budri ditemukan tergantung di kamar mandi tahanan. Leher mereka terjerat kaus yang diikatkan ke besi ventilasi. Keduanya tergantung berdampingan dengan tubuh tersandar ke tembok. Di kaus putih Faisal tercecer darah. Kepala keduanya terkulai. Mata mereka terpejam seperti tidur dan mulut terkatup.
Polisi tak segera memberi tahu Yusmanidar atau keluarganya. Didi Firdaus baru mengetahui dua adiknya meninggal esoknya. Itu pun setelah mayat saudaranya dibawa ke Kepolisian Resor Sijunjung. Didi dan ibunya tak bisa segera melihat jenazah Faisal dan Budri karena polisi di sana mengatakan "masih memeriksa tubuh keduanya".
Baru malamnya, Didi bisa melihat jenazah adiknya. Saat itu juga ia membawa dua mayat itu ke Rumah Sakit M. Djamil di Padang, lima jam perjalanan dengan mobil. Laporan forensik tak segera mereka dapatkan, tapi mayat harus segera dikubur. Setelah selesai diperiksa, esoknya mayat Budri dan Faisal dibawa kembali ke Sijunjung untuk dimakamkan.
Saat itu tetua adat Sijunjung menyerahkan uang Rp 1,5 juta kepada Yusmanidar. "Ini uang dari kepolisian untuk sedekah. Nanti, kalau ada keperluan lain, akan diberi lagi," ujar Yusmanidar, menirukan ucapan tetua adat. Rupanya, itu "uang perdamaian" dari polisi Sijunjung. Setelah keluarga tahu Budri dan Faisal meninggal, Kepala Polsek Sijunjung Ajun Komisaris Syamsul Bahri meminta keluarga tak perlu mempermasalahkan kematian kakak-adik itu.
Dua hari setelah penguburan, pada 2 Januari 2012, juru bicara Kepolisian Daerah Sumatera Barat, Ajun Komisaris Besar Mainar Sugiarto, merilis penyebab kematian kakak-adik itu. "Mereka meninggal karena gantung diri," katanya. Menurut Mainar, itu kesimpulan dokter forensik Rumah Sakit M. Djamil yang membedah tubuh Faisal dan Budri.
Mainar menolak anggapan bahwa penyebab kematian keduanya adalah benda tumpul. "Tak ada penyiksaan," ujarnya. Tapi ia mengakui ada luka lebam di sekujur tubuh Faisal dan Budri. "Mungkin itu luka akibat dipukul warga saat ditangkap," katanya. Mainar mungkin silap bahwa yang ditangkap warga Jorong Koto hanya Faisal. Adapun Budri dibekuk polisi belakangan dan itu pun ia tak melawan.
Syahdan, pada 21 Desember 2011, Faisal menjalankan salat zuhur di Masjid Nurul Yakin. Desriman, warga setempat, yang melihat ada sepeda motor tanpa nomor polisi terparkir di halaman masjid, iseng mengintip ke dalam. Desriman terkejut karena remaja yang melakukan salat itu mirip dengan ciri-ciri pelaku pencurian kotak amal di Surau Irsyadunnas.
Beberapa hari sebelumnya, warga Desa Jorong heboh karena isi kotak amal di Surau Irsyadunnas tiba-tiba kosong melompong. Ada yang melihat pencurinya adalah remaja berambut pirang, suka memakai jaket merah dan celana pensil, plus menunggang motor Yamaha tak bernomor. Ciri-ciri ini klop dengan ciri anak yang sedang menjalankan salat itu.
Desriman pun menunggu Faisal selesai melakukan salat. Ia lalu mengajaknya ke rumah Muhsin Alatas, 35 tahun, warga yang memergoki pencuri kotak di Irsyadunnas. Muhsin langsung membenarkan bahwa Faisal pencuri kotak itu begitu melihatnya. Kedua petani ini pun menginterogasi Faisal.
Muhsin menampar pipi Faisal karena ia tak mengaku telah mencuri. Padahal di saku celananya ditemukan besi bengkok untuk mencongkel kotak amal. Setelah empat kali tamparan tapi Faisal tak mengaku juga, warga Jorong membawa dia ke kantor Wali Nagari. Setelah diberi minum dan rokok, Faisal akhirnya mengaku. Karena itu, warga Jorong kemudian menyerahkan Faisal ke kantor Polsek Sijunjung.
Desriman, yang turut mengantar Faisal, melihat bocah tersebut ditendang dadanya saat diinterogasi polisi. Beberapa polisi juga memukulnya. Karena masih ada warga, polisi membawa Faisal ke ruang belakang. "Saya dengar Faisal menjerit-jerit kesakitan," ujar Desriman kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Muhsin, yang dipanggil polisi sebagai saksi dua hari kemudian, melihat Faisal diborgol. Saat Faisal dipertemukan dengan Muhsin, polisi juga kerap menggetok kepala anak itu.
Karena itu, Wali Nagari—setingkat kepala desa—Pematang Panjang, April Marsal Dt. Penghulu Sati, menyesalkan pernyataan Mainar tentang luka di tubuh Faisal yang disebutnya akibat kekerasan warga. Menurut dia, warga tak memukuli Faisal ketika menginterogasinya. Tamparan ke pipinya juga tak berbekas sama sekali.
Luka lebam pada tubuh Faisal dan Budri masih terlihat sampai mayatnya diotopsi. Lembaga Bantuan Hukum Padang yang menelusuri kematian Faisal-Budri juga menyimpulkan luka itu bukan karena bunuh diri. "Mereka disiksa sebelum tewas," kata Roni Saputra, tim pencari fakta dari LBH, sambil menunjukkan foto mayat Faisal-Budri.
Tim juga menunjuk kejanggalan lain dari keterangan polisi. Sampai hari ini, misalnya, Mainar Sugiarto masih yakin penyebab kematian adalah gantung diri. Padahal catatan forensik yang menjadi dasar kesimpulan penyebab kematian Faisal dan Budri baru dikeluarkan Rumah Sakit M. Djamil pada 4 Januari 2012 atau dua hari setelah rilis Mainar.
Kepada tim LBH, kata Roni, dokter Rika Susanti, yang mengotopsi jenazah mengatakan kematian dua bersaudara itu dipicu kekurangan oksigen karena adanya kekerasan benda tumpul di leher. Sedangkan luka lebam, sayatan, dan darah yang meleleh dari hidung diduga muncul dua-tiga hari sebelum Faisal-Budri tewas. "Dokter tak pernah menyimpulkan penyebab kematian itu gantung diri," ujar Roni.
Roni, yang memeriksa toilet tahanan, juga merasa aneh dengan tinggi besi ventilasi tempat keduanya menggantung diri. Jarak besi itu dari lantai kira-kira dua meter. Tinggi Faisal-Budri sekitar 165 sentimeter dan panjang kaus yang menjerat 60 sentimeter. Artinya, kata Roni, kaki keduanya menapak di lantai, tidak menggantung—yang mengakibatkan leher mereka patah dan menjadi penyebab kematian. LBH menduga Faisal-Budri telah tewas sebelum tergantung.
Markas Besar Kepolisian RI sudah mengirim tim ke Sijunjung. Tim menyimpulkan Faisal-Budri memang tewas karena bunuh diri. Indikasinya, kata juru bicara Polri, Inspektur Jenderal Saud Usman Nasution, kakak-adik itu berpelukan sambil menangis setelah makan siang sebelum ditemukan tewas beberapa jam kemudian.
Sembilan polisi Sijunjung, termasuk Kepala Polsek Syamsul Bahri, sudah diperiksa tim dari Mabes Polri. Sejauh ini, kata Saud, belum ada tanda-tanda penyalahgunaan wewenang dalam memeriksa dan menahan Faisal-Budri. "Jadi, belum ada sanksi," kata Saud. "Kesalahan mereka hanya lalai yang menyebabkan tahanan meninggal."
Kejadian tragis yang dialami dua remaja Sijunjung ini membuat Komisi Nasional Perlindungan Anak turun tangan. Menurut ketuanya, Arist Merdeka Sirait, komisinya akan menggandeng Komisi Nasional Hak Asasi Manusia membentuk tim mengusut kematian ini. "Polisi harus mau membandingkan hasil investigasi mereka dengan penelusuran kami," katanya.
Bagja Hidayat, Ananda W. Teresia (Jakarta), Andri El Faruqi (Sijunjung), Febrianti (Padang)
Petaka Roli dan Wandi
GUBUK berdinding kayu yang semula tenang itu mendadak riuh. Belasan polisi dan petugas kejaksaan, dua pekan lalu, mendatangi rumah di Kecamatan Abung Semuli, Lampung Utara, itu. Penghuni gubuk pun jadi panik. Para tamu mencari Roli, 18 tahun, dan Wandi, 19 tahun. "Mereka mau menangkap keduanya kembali," kata Ali, paman Roli dan Wandi, kepada Tempo pekan lalu.
Ali bersama kerabat lainnya yang juga tinggal di gubuk itu kini kembali cemas. Masih terbayang bagaimana dua keponakannya itu saat ditangkap polisi setelah dituduh membunuh Sariyun, mandor perkebunan dekat rumah mereka. Jenazah Sariyun ditemukan pada 30 Juni 2010 dengan penuh luka. Pengadilan negeri memvonis keduanya sebagai pelaku, tapi di tingkat banding mereka dibebaskan. Menurut Ali, setelah adanya putusan bebas itu, Roli dan Wandi memutuskan merantau ke luar Lampung. "Kini mereka entah di mana," kata Ali.
Jaksa yang datang ke rumah mereka dua pekan silam itu membawa surat keterangan dari Mahkamah Agung. Surat itu menyebutkan mengabulkan permohonan kasasi jaksa atas kasus ini. Mahkamah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Lampung yang membebaskan mereka pada 3 Mei 2011. Sebelumnya, pada 24 Februari 2010, Pengadilan Negeri Lampung Utara menghukum keduanya sembilan tahun penjara.
Roli dan Wandi mengaku mendapat siksaan saat ditangkap polisi. Penyiksaan itu terjadi sejak di Prabumulih, Sumatera Selatan, tempat mereka ditangkap, hingga kantor Polres Lampung Utara. Selama perjalanan sekitar 12 jam dengan mata ditutup lakban, Roli mengaku tubuhnya digebuki linggis serta tangan-kakinya disundut rokok. Sebelumnya, kakinya digencet pintu mobil. "Saya sampai kencing di celana menahan sakit," kata Roli kepada Tempo saat kasus ini bergulir di Pengadilan Negeri Lampung.
Penyiksaan yang dialami Wandi tak jauh berbeda. Hantaman gagang pistol polisi masih membekas di pelipis kirinya hingga kasus ini disidangkan. Penyiksaan terhadap keduanya baru berhenti setelah mereka menyerah, mengaku membunuh Sariyun. "Kami sudah tak kuat lagi," kata Wandi. Mereka kemudian "menyerahkan" barang bukti potongan kayu dari pohon karet sebesar lengan. Kayu itu mereka akui sebagai alat menghajar Sariyun. Setelah itu, Mursalin, paman mereka, menusuk korban dengan celurit—ini masih pengakuan Roli dan Wandi. Perihal penyiksaan ini dibantah Kepala Polres Lampung Utara Ajun Komisaris Besar Frans Sentoe. "Setelah dilakukan pemeriksaan internal, tak ada petugas yang terlibat dan tidak ditemukan kekerasan terhadap keduanya," kata Frans Sentoe.
Di Pengadilan Negeri Lampung Utara, penyiksaan ini terkuak ke publik. Shafrudin, pengacara keduanya, menyebutkan alat bukti batang kayu itu hanya akal-akalan polisi. Barang bukti celurit juga tak pernah ditemukan. Seorang saksi mengaku melihat tiga pria yang berada di dekat korban sebelum terbunuh, tapi itu bukan Roli atau Wandi. Shafrudin juga menghadirkan tujuh saksi yang menyatakan Roli dan Wandi berada jauh dari lokasi kejadian saat pembunuhan itu. Tapi semua itu tak menyelamatkan keduanya. "Hakim pengadilan tinggilah yang kemudian justru menggunakan alibi ini," kata Shafrudin.
Karena itulah Shafrudin terkejut ketika mengetahui Mahkamah Agung mementahkan putusan pengadilan tinggi. Menurut advokat dari Kantor Bantuan Hukum Universitas Lampung itu, seharusnya polisi dan jaksa menghubunginya sebelum mereka mendatangi rumah Roli dan Wandi untuk melakukan eksekusi. Karena putusan MA itu belum ia peroleh, Shafrudin menduga surat yang dibawa polisi dan jaksa ke rumah kliennya tersebut hanya akal-akalan untuk menangkap mereka. "Kalau putusan MA benar seperti itu, kami akan melawan, kami akan mengajukan peninjauan kembali," katanya.
Mustafa Silalahi (Jakarta), Nurochman Arrazie (Lampung Utara)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo