Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di ruang tamu berukuran 40 meter persegi itu, kehidupan baru dimulai setelah pukul 10 pagi. Begitulah biasanya tuan rumah, Gus Mus, menerima tamu. Namun akhir jam bertamu hampir tak ada. Tak jarang hingga dinihari.
Di ruang yang hanya beralas karpet tanpa kursi tersebut, tamu datang silih berganti. Mengalir dari berbagai daerah, dengan aneka keperluan. Dari yang mau mengobrol, menyampaikan undangan diskusi atau baca puisi dan undangan pernikahan, sampai orang tua santri yang minta doa.
Ada tiga sajian untuk siapa pun yang datang: kopi harum nan kental, kudapan kampung, serta tawa sang tuan rumah. Saat kami bertamu ke rumahnya di Rembang, Jawa Tengah, bulan lalu, ketiga sajian itu ada.
Tapi bukan hanya karena ketiganya dia selalu kebanjiran tamu setelah pukul sepuluh. Gus Mus enak diajak mengobrol apa saja. Selain tokoh agama, dia juga budayawan. Kadang melukis, tapi lebih sering bersyair. Karya sastranya banyak dipuji. Pada Oktober lalu, dia menerima Undip Award untuk bidang seni budaya dan pemersatu multikulturalisme.
Menurut Agus Maladi, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro yang juga anggota tim juri penghargaan itu, syair dan cerita pendek Gus Mus sarat ajakan untuk mempersatukan multikulturalisme. "Gus Mus yang kiai tak menjadikan agama sebagai sekat untuk menyuarakan kebinekaan dan pluralisme," Agus menjelaskan.
Sebelumnya, dia telah mendapat berbagai penghargaan. Pada 1999, Gus Mus mendapat penghargaan dari Partai Persatuan Pembangunan kategori ulama teladan. Pada 2007, dia mendapat penghargaan dari Partai Keadilan Sejahtera kategori ulama. Tengah tahun lalu, ganti Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta memberinya gelar doktor kehormatan untuk bidang kebudayaan Islam.
Gus Mus memang sosok yang disegani, terutama di kalangan pesantren dan Nahdlatul Ulama—di sini dia duduk sebagai wakil rais aam.
Menurut Masdar F. Mas’udi, Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Gus Mus adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah NU. "Gus Mus menjadi kompas pergerakan NU." Dialah yang terlibat langsung dalam gerakan kembali ke Khittah 1926, gerakan untuk mengembalikan NU ke tujuan awal pendirian, yakni sebagai gerakan sosial keagamaan, bukan organisasi politik.
Selain itu, Gus Mus berkontribusi penting dalam penentuan sikap NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal dan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk final negara Indonesia di Muktamar di Situbondo pada 1984. "Gus Mus adalah tokoh yang mengawal perumusan Khittah dan penerimaan asas tunggal day by day," kata Masdar lagi.
AChmad Mustofa Bisri nama lengkapnya. Tapi dia biasa disapa Gus Mus. Gus adalah panggilan untuk putra kiai. Mus adalah kependekan dari Mustofa. Nama itu diambil dari kakeknya. Ayahnya Kiai Bisri Mustofa dan ibunya Ma’rufah. Pasangan ini diberkahi Gus Mus pada 10 Agustus 1944.
Soal nama yang dibolak-balik ini sempat menimbulkan masalah. Paspor anaknya, Muhammad Bisri, sempat diragukan. "Namanya Muhammad Bisri Mustofa bin Achmad Mustofa Bisri, tinggal di Jalan KH Bisri Mustofa," kata bapak tujuh anak ini.
Waktu kecil, Gus Mus hidup di lingkungan pesantren pimpinan sang ayah. Nama bekennya Pesantren Rembang, tapi nama resminya Pesantren Raudlatut Thalibin—taman para penuntut ilmu. Sebelum nyantri, dia masuk Sekolah Rakyat bersama abangnya, Muhammad Cholil Bisri. Kiai Cholil, yang lebih tua dua tahun dari Gus Mus, ini meninggal pada 2004.
Meski akrab, waktu kecil keduanya kerap bertengkar. Jika kumpul lebih dari lima menit, pasti berkelahi. Bahkan perseteruan itu terus hingga remaja. Permusuhan berhenti ketika Cholil belajar ke Arab Saudi.
Selain rindu, Mus kasihan karena abangnya menderita. Uang beasiswa terlalu kecil dan Cholil pun kurus kering. Cholil kemudian dibawa pulang dan sejak saat itu mereka tak bertengkar. "Cholil adalah orang yang paling dekat dengan saya setelah Ibu," kata Gus Mus.
Ibu adalah sosok yang sangat berpengaruh terhadap Gus Mus. Ia menggambarkan, hari-hari sang ibu dihabiskan untuk salat, zikir, puasa, dan berdoa. "Karena itu, saya tak perlu melakukan salat istikharah manakala ragu memutuskan pilihan. Cukup bertanya kepada beliau," ujarnya.
Dia menolak saat diminta menjadi Ketua Umum Pengurus Besar NU dalam muktamar di Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, pada 1999, dan muktamar 2004 di Donohudan, Solo, Jawa Tengah. Penolakannya karena ibunya tak mengizinkan. "Lha wong enggak jadi Ketua NU saja enggak pernah di rumah, apalagi kalau jadi Ketua NU," begitu jawab ibunya.
Bahkan, ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memintanya menjadi Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, Gus Mus juga menolak karena sang ibu melarang. "Cukup kakakmu (Kiai Cholil) saja," kata ibunya. Cholil adalah salah satu deklarator PKB dan juga pernah menjadi wakil ketua dewan syura.
Sesungguhnya menolak ajakan Gus Dur bukanlah perkara mudah baginya. Gus Mus sangat dekat dengan Abdurrahman. Keduanya mulai dekat ketika sama-sama menuntut ilmu di Al-Azhar, Kairo, Mesir. Hubungan lekat tersebut terus berlanjut hingga keduanya pulang dan Gus Dur menjadi presiden. Hingga akhir hayat Gus Dur, keduanya adalah sahabat.
Meski dekat, Gus Mus tak takut mengkritik Gus Dur. Misalnya saat hampir semua nahdliyin (orang NU) gembira saat Gus Dur terpilih menjadi presiden. Saat kiai sepuh diundang ke Istana dan mengucapkan selamat, Gus Mus justru mengucapkan belasungkawa, karena beratnya amanat yang dipikul Gus Dur. "Saya berbisik kepadanya agar hati-hati dengan bithaanah, yakni orang-orang yang akan mengelilinginya," katanya.
Sepeninggal ayahnya pada 1977, bersama Kiai Cholil, Gus Mus meneruskan mengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin. Lima tahun kemudian ia mulai terjun ke politik. Pada 1982-1992, Gus Mus menjadi anggota DPRD Jawa Tengah mewakili PPP dan pada 1992-1997 menjadi anggota MPR.
Setelah itu, ia menepi dari panggung politik. Selama menjadi wakil rakyat, ia merasa tak banyak yang bisa diperbuat untuk rakyat. Ia minggir justru setelah jatuhnya Soeharto, ketika panggung politik terbuka lebar dan orang beramai-ramai memasukinya.
Gus Mus sebenarnya ikut merumuskan pendirian Partai Kebangkitan Bangsa. Namun ia tak hadir dalam deklarasi. "Saya memilih menepi," katanya. Tapi, karena menghormati Gus Dur dan Kiai Cholil, ia ikut menuliskan tanda tangan sebagai deklarator.
Belakangan Gus Mus kecewa terhadap perkembangan PKB. Semangat PKB agar bisa menjadi aspirasi politik warga NU tak maksimal. "Apalagi PKB saat ini, yang terlibat di dalamnya tidak tahu-menahu sejarah PKB, paling tahunya hanya selentingan. Sudah begitu, sukanya bertengkar sendiri," katanya.
KETIKA masih kanak-kanak, Gus Mus melihat orang cacat duduk di kursi roda di kotanya. Dia tidak mengemis, tapi menawarkan jasa melukis wajah. Gus Mus muda sering menemaninya. "Dari seniman jalanan itu, saya mulai tahu bagaimana menggambar wajah, membuat garis, mengarsir, dan sebagainya," tuturnya.
Sejak kecil Gus Mus memang suka menggambar. Saat mengaji, pinggiran halaman kitab kuning dia jadikan "kanvas". Ia menggambar santri yang sedang mengaji atau yang tertidur. "Lucu-lucu," katanya.
Saat kuliah di Mesir, bersama Gus Dur ia menerbitkan majalah Pemuda Pelajar Indonesia. Jika ada sisa halaman kosong, Gus Dur memintanya mengisi dengan puisi atau gambar ilustrasi, biasanya berupa vignette.
Ia pun terus menggambar dan melukis ketika kembali ke Indonesia. Kreativitasnya kian berkembang. Saat masih merokok, Gus Mus juga melukis dengan klelet, cairan nikotin yang tersisa dalam pipa. Mulanya, saat hendak berkirim surat, klelet menetes di amplop. Lalu ia sekalian oles-oles dengan jari. "Eh, ternyata menjadi ilustrasi yang bagus," katanya. Kini dia berhenti merokok, dan suplai klelet tak ada lagi.
Kehidupan kesenian Gus Mus tak datar. Ia melahirkan karya kontroversial, Berzikir Bersama Inul, yang dipamerkan di Masjid Agung Al-Akbar, Surabaya, pada 2003. Lukisan itu mencitrakan sosok perempuan tengah bergoyang erotis di tengah lingkaran 15 kiai bersorban yang duduk bersila. "Saya dianggap pro dengan goyang ngebor Inul Daratista yang kontroversial," katanya.
Berzikir Bersama Inul, menurut Gus Mus, adalah kritik atas budaya materialisme di negeri ini yang sudah mendarah daging. Kondisi ini merasuk di seluruh elemen masyarakat, termasuk pejabat, bahkan kiai. Saking parahnya, ibadah juga hanya menjadi urusan daging, bukan roh. "Ada kiai, jika diundang orang kaya, tahlilnya panjang. Kalau yang mengundang orang miskin, doanya pendek," katanya. Goyang ngebor adalah simbol daging yang paling daging.
Sementara itu, dunia tulis-menulis juga terus dia geluti. Begitu pulang ke Indonesia, ia mengandalkan honor menulis di berbagai media, seperti Intisari, Aktuil, Prisma, Prima, Femina, Kartini, Jawa Pos, Kompas, Tempo, dan Suara Merdeka. Ia pelajari karakter tulisan dan kebijakan redaksinya. "Saya menulis, mengalir saja. Ada puisi, cerpen, laporan perjalanan, ataupun kolom."
Dulu ia menggunakan nama samaran supaya tidak dikaitkan dengan nama besar ayahnya. "Saya menjadi M. Ustav Abi Sri," katanya. Ketika merasa sudah mulai dianggap, baru dia menggunakan nama asli.
Sebagai seorang kiai di kota kecil Rembang, Gus Mus tak buta teknologi. Ia pun dikenal sebagai kiai gaul. Tak jarang ia membuka-buka akun Facebook ataupun Twitter di iPad-nya. "Saya suka bergaul," katanya. Pengikut Twitternya mencapai lebih dari 57 ribu.
Gus Mus menegaskan, tidak ada niat menggunakan media sosial untuk berdakwah. "Bahwa selanjutnya terjadi dialog dengan teman jejaring, dan itu dianggap dakwah, silakan saja," katanya.
Bagi Gus Mus, di media sosial, dinamikanya unik dan lucu. "Kita bisa berkomunikasi dengan pelajar sampai profesor. Dari penganggur sampai pesohor," kata dia.
Selain menggunakan jejaring sosial, Gus Mus aktif di pesantrenvirtual.com dan gusmus.net.
Dulu, semua aktivitas dunia maya Gus Mus dilakukan dengan komputer. Sekarang, ia lebih suka menggunakan sabak digital (komputer tablet). "Ada juga media yang menjuluki saya kiai iPad. Biarin saja," katanya. "Di dunia ini kita harus berpikir merdeka. Dianggap nyleneh, biar saja. Yang penting bermanfaat dan tidak dilarang Allah."
Sohirin, Purwani Diyah Prabandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo