Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di ruang tunggu tahanan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Amar Abdullah tak berucap. "Saya ingin bebas," katanya pelan. Kamis sore pekan lalu, lelaki 38 tahun itu tengah menunggu sidang kedua kasusnya. Agenda hari itu: pembacaan eksepsi.
Sejak 7 Desember 2011, Amar menjadi penghuni sel Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta Timur. Namun bukan semata sumpeknya ruang tahanan yang membuat dia ingin bebas. Pria kelahiran Medan itu tak tahan lagi dengan sakit yang mendera matanya.
Setengah tahun sudah mata kanan Amar buta permanen. Dokter mengharuskan Amar berobat jalan dua pekan sekali agar infeksi tak merambat ke otak atau mata kirinya. "Sejak di tahanan, mata saya belum diperiksa," ujar Amar.
Nasib yang menimpa dirinya itu terjadi pada 11 Juli 2011. Sekitar pukul 14.45, Amar bergegas menuju pusat kebugaran di kawasan Matraman, tempat dia bekerja sebagai instruktur. Dari rumahnya di Gang Kapuk 1, Jalan Kayumanis VI, dia berjalan kaki. Mengambil jalan pintas, Amar melewati gang-gang sempit permukiman padat.
Saat dia melewati rumah Fenly M. Tumbuan di Gang Jarak 2, seekor anjing tiba-tiba menyalak di balik pintu pagar. Amar terkesiap. Dia menendang pintu besi yang setengah terbuka ke jalan. "Saya refleks karena kaget," kata Amar.
Mendengar bunyi tendangan, istri Fenly, Tiona Pangaribuan, keluar dan mengejar Amar. Adu mulut pun terjadi. Fenly datang menyusul. Dia memungkasi pertengkaran itu dengan embel-embel, "Kita selesaikan di luar."
Amar ngeloyor pergi, sedangkan Fenly berbalik ke rumahnya. Tak lama berselang, Fenly ke luar lagi, membuntuti Amar. Setelah dikuntit hampir 1 kilometer, Amar berbalik. "Kenapa kamu terus mengikuti? Saya mau bekerja," kata Amar, yang sebelumnya tidak pernah mengenal Fenly.
Mulai dari sini, ada dua versi cerita. Kepada polisi, Fenly mengaku diserang duluan. Katanya, Amar menendang pinggang kiri dan memukul telinganya. Sebaliknya, menurut Amar, Fenly yang tiba-tiba menyerang, dengan melayangkan pukulan beruntun ke mata Amar.
Tak ada saksi yang melihat persis kejadian di mulut Gang Sengon 3, Jalan Kayumanis VIII, itu. Faktanya, saat ditolong warga, Amar sudah ambruk di tanah. Dia pun kesulitan melihat karena darah dari kedua matanya terus mengucur.
Malamnya, Amar dioperasi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Namun mata kanannya tak terselamatkan. Amar syok. Berbulan-bulan ia memilih berdiam diri di rumah petaknya yang berpenghuni tujuh orang, termasuk mertua dan adik iparnya. "Saat Idul Fitri pun dia tidak berani ke masjid," kata istri Amar, Sri Hayati Safitri alias Neneng.
Kasus penganiayaan Amar oleh Fenly lebih dulu masuk ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Hakim memvonis Fenly dua setengah tahun penjara pada 8 Januari lalu. Namun vonis atas Fenly bukan akhir penderitaan Amar. Sehari sebelumnya, polisi melimpahkan berkas lain dari kasus yang sama ke kejaksaan. Sore itu juga jaksa langsung menahan Amar, dengan tuduhan melakukan perbuatan tidak menyenangkan.
Amar berkali-kali meminta penangguhan penahanan. Namun hakim dan jaksa tak menggubrisnya. Pada 14 Desember 2011, hakim justru memperpanjang masa penahanan Amar sampai 12 Januari 2012. Amar sendiri baru menerima surat pemberitahuan pada 6 Januari 2012. Itu pun setelah pengacara memprotesnya.
Dalam sidang perdana 4 Januari lalu, jaksa penuntut Prinuka Arrom membacakan dua lembar dakwaan atas Amar. Jaksa menjerat Amar dengan Pasal 335 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ancaman hukumannya maksimal satu tahun penjara.
Pada sidang itu, Amar kembali meminta penangguhan penahanan. Kali ini ia melampirkan hasil visum dan surat keterangan dokter RSCM. Tapi, alih-alih mengabulkan permohonan Amar, hakim malah memperpanjang masa penahanan hingga 12 Maret 2012. Artinya, meski belum ada vonis bersalah, Amar dipastikan menghuni tahanan selama empat bulan.
Pada sidang kedua, Amar tak hanya menangkis dakwaan jaksa. Dia kembali meminta penangguhan penahanan. Namun hakim tetap tidak mengabulkannya. Kalau mau berobat jalan, kata ketua majelis hakim Amron Sodik, dia tinggal meminta surat pengantar dari kepala penjara. "Tidak perlu penangguhan penahanan," kata Amron. Padahal, menurut kuasa hukum Amar, Yuherman, kepala rumah tahanan selalu meminta surat pengadilan sebelum mengeluarkan surat pengantar.
Diabaikan jaksa dan hakim, Amar justru mendapat simpati berbagai kalangan. Neneng bercerita, teman sekolah dasar Amar yang bermukim di London, misalnya, menelepon langsung dan menyatakan dukungan. Sang teman pun berjanji menggalang solidaritas untuk Amar.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga menelisik kasus ini. Anggota Komnas HAM, Saharuddin Daming, mengatakan indikasi pelanggaran hak asasi dalam kasus Amar sangat kuat. Merujuk pada hukum acara pidana, Daming mengatakan, seseorang hanya bisa ditahan jika dikhawatirkan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, mengulangi perbuatan pidananya, dan diancam hukuman di atas lima tahun penjara. "Nyatanya, Amar selalu kooperatif." Menurut Daming, penahanan Amar yang buta dan sangat memerlukan perawatan sangat tidak berdasar.
"Pengadilan telah berubah menjadi monster bagi pencari keadilan," katanya.
Jajang Jamaludin, Atmi Pratiwi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo