Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEJENGKELAN Masrin Hadi sudah memuncak. Kepala Dinas Perindustrian, Perdagang an, dan Penanaman Modal Kota Solo ini tampaknya sudah tak peduli lagi dengan risiko yang bakal dihadapi. Akhir bulan lalu, sebuah lapor an rahasia ia kirim ke sejumlah lembaga pemerintah, di antaranya Kejaksaan Agung, Departemen Dalam Negeri, Kantor Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Dewan Perwakilan Rakyat serta Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Di situ Masrin menumpahkan unek-uneknya. Ia menyatakan dirinya diperas oknum Kejaksaan Negeri Solo yang tengah menyidik kasus dugaan korupsi proyek pusat jajan industri kecil Kota Solo. Sang oknum mengajaknya berkompromi, asal Masrin menyediakan setumpuk rupiah. Syarat lainnya, ia dilarang menceritakan kongkalikong ini dengan wartawan.
Oknum penyidik yang dimaksud Masrin adalah Kepala Seksi Pidana Khusus, Teguh Subroto, dan Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara, Wahyudi Djoko Triyono. ”Mereka seperti monster berkepala banyak yang selalu menakut-nakuti,” ujar Masrin kepada Tempo pekan lalu.
Kasus ini berawal saat Masrin diperiksa kedua jaksa tersebut pada 25 September 2007. Bekas Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Solo itu, menurut jaksa, paling bertanggung jawab atas macetnya pembang unan proyek pusat jajan senilai Rp 2 miliar yang telah dirancang sejak 2005.
Masrin diperiksa sebagai saksi. Pemeriksaan berlangsung siang malam. Pagi hari dimulai pukul 09.00-11.00 dan malamnya dilanjutkan dari pukul 22.00 hingga pukul satu dini hari. ”Usai diperiksa saya bilang akan melawan, lalu jaksa menjawab kasus ini tak diperpanjang,” kata Masrin.
Di depan pemeriksanya, Masrin menolak bertanggung jawab atas kemacet an proyek tersebut. Menurut dia, kemacetan itu warisan pejabat sebelum dirinya. Ia justru berusaha melanjutkan dengan sejumlah perubahan. Salah satunya, memasukkan dua staf Bappeda Kota Solo, Joni Hari Sumantri dan Harjana, sebagai panitia proyek.
Perubahan lainnya yang ia buat, nilai proyek yang tadinya Rp 2 miliar pada anggaran perubahan 2006 hanya dialokasikan Rp 500 juta. Sisa kekurang annya, Rp 1,5 miliar, oleh DPRD, kata Masrin, diputuskan diambil dari kas pemerintah. ”Setelah saya uraikan de ngan lancar dan jelas seperti itu, penyidik berpesan saya tidak bercerita kepada wartawan,” katanya.
Pada 26 September, giliran Abdul Muthalib, pimpinan proyek, diperiksa kejaksaan. Sehabis diperiksa, Abdul melapor ke Masrin: penyidik menawari penghentian pemeriksaan. Sebagai imbalannya, kata Abdul, jaksa meminta duit yang jumlahnya disarankan dikonsultasikan dengan Masrin. Abdul me ngutip istilah jaksa untuk kasus yang me nimpa dirinya dan Masrin, ”Ibarat beras sudah siap untuk dimasak. Dilanjutkan atau tidak, itu kewenangan jaksa.”
Abdul meminta Masrin menghu bungi penyidik Wahyudi Djoko Triyono melalui telepon seluler, tapi tak tersambung. Kemudian Masrin beralih menghubungi Teguh Subroto. Teguh merespons de ngan mengajak bertemu. ”Tapi, saya tolak,” ujar Masrin.
Pembicaraan menyangkut penghentian pemeriksaan diteruskan melalui telepon esok harinya, 27 September. Hanya saja, percakapan telepon selama 1 menit 41 detik belum sampai menyebut jumlah uang. ”Masih sebatas basa-basi,” kata Masrin. Percakapannya dengan Teguh itu sendiri direkam oleh Masrin.
Dalam surat pengaduannya yang dikirim ke sejumlah instansi itu, Masrin menyatakan penyidik Kejaksaan Negeri Solo terkesan mencari-cari kesalahan pejabat pemerintah daerah. ”Pemeriksaan berlanjut atau berhenti tergantung biaya dalam jumlah tertentu,” katanya. Menurut Masrin, berbagai proyek telah dan tengah menjadi obyek bidikan aparat kejaksaan. ”Saya punya banyak data. Akan saya ungkap jika nanti Komisi Pembe rantasan Korupsi memeriksa saya,” ujarnya.
Ia lantas mencontohkan salah satunya, yakni penggunaan anggaran daerah untuk Kejaksaan Negeri Solo saat kunjungan ke Eropa serta sumbangan perayaan hari Adyaksa beberapa waktu lalu yang menghabiskan dana Rp 146 juta.
Tapi, kepada Tempo, sejumlah jaksa yang disebut-sebut ”memeras” Masrin itu menampik cerita Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Penanam an Modal Kota Solo ini. Teguh Subroto, misalnya, kendati mengakui pernah dihubungi Masrin Hadi, ia membantah mengajak bertemu Masrin di suatu tempat. Apalagi menawarkan jalan damai. ”Yang saya bicarakan dengan Pak Masrin: saya minta agar menghubungi Pak Wahyudi. Bukan ajakan damai,” kata nya. Ia juga menolak menyatakan pernah menyebut istilah ”beras yang tinggal dimasak”. ”Itu perkataan Pak Abdul Muthalib,” katanya.
Kepala Kejaksaan Negeri Solo, Momock Bambang Samiarso, menyatakan tak percaya anak buahnya mencoba memeras Masrin. Menurut dia, yang diperbuat Masrin Hadi adalah buntut kepanikannya diperiksa penyidik. ”Saya sudah cek ke penyidik. Mereka bilang, omongan Pak Masrin tidak benar,” katanya.
Yang terjadi, kata Momock, justru sebaliknya. Teguh dan Wahyudi ditawari bingkisan Masrin, tapi mereka menolak ”ha diah” Masrin tersebut. Menurut Momock, de ngan kejadian ini ia makin yakin pada kasus pembangunan pusat jajan memang ada penyimpangan. Pemeriksaan terhadap Masrin, ujarnya, baru tahap awal. ”Tunggu saja pemeriksaan lanjut an untuk Pak Masrin.”
Namun, Masrin berkukuh bahwa laporannya benar adanya. Ia menyatakan tak akan mencabut laporannya ke berbagai instansi di Jakarta. ”Lihat saja nanti, saya atau jaksa yang ngglundung (salah). Saya akan ungkap semuanya,” ujarnya.
Kasus Masrin versus jaksa ini mendapat perhatian dari Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAI) Solo. Koordinator MAI, Boyamin Saiman, meminta Komisi Kejaksaan segera turun tangan memeriksa kasus ini. Dugaan ada transaksi uang dalam proses penyidik an, ujar Boyamin, tak bisa dibiarkan. ”Jika didiamkan bisa runyam.”
Menurut Boyamin, MAI juga mencatat sejumlah kasus dugaan korupsi yang justru selama ini seperti tak ditangani serius oleh kejaksaan. ”Seperti kasus dugaan korupsi di lingkungan DPRD Kota Solo, Rumah Sakit Moewardi, dan Pasar Klitikan Notoharjo.” Seharusnya, menurut dia, kejaksaan membongkar kasus-kasus ini. Berkaca dari kasus Masrin ini, ujar Boyamin, Kejaksaan Agung dan Komisi Kejaksaan harus turun tangan memeriksa para jaksa tersebut.
Elik S., Imron Rosyid (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo