Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUKUL tujuh pagi. Di Mae Sot, Bo Kyi belum benar-benar bangun. Di telepon selulernya, seorang kawan menyampaikan informasi genting. Seorang mantan tahanan politik rezim Burma ditahan dan akan dideportasi. ”Artinya, kembali dipenjarakan, dan bisa berarti kematian bagi nya,” pria 42 tahun itu bercerita dalam surat elektroniknya kepada Tempo, dua pekan silam.
Bo Kyi mencoba mengingat-ingat na ma pejabat lokal yang mungkin bisa mem bantu. ”Setelah beberapa telepon, sa ya menemukan orang yang bisa membantu.... Benar-benar tepat waktu,” ujar pria yang kini tinggal di Mae Sot, ka wasan perbatasan Thailand dengan Burma.
Begitulah hari-hari yang kerap dilalui Sekretaris Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik Burma ini. ”Kehidupan di perbatasan bagi saya dan teman-teman merupakan perjuangan terus-menerus,” ia menegaskan. Tak hanya membantu para mantan tahanan politik, ia juga menyelundupkan dan menyebarluaskan dokumen pelanggaran hak asasi manusia di penjara Burma.
Mereka masih harus berjuang untuk keselamatan sendiri, karena sering harus kucing-kucingan dengan para agen intelijen Burma dan Thailand. Namun, setiap menghadapi kesulitan, ayah bocah lima tahun itu selalu mengingat kehidupannya saat masih di Burma.
Mantan aktivis All Burma Federation of Student Unions ini merasakan ke hidupan penjara dua kali dengan total hukuman sekitar tujuh tahun. Delapan kali dia ditahan. ”Saya kerap disiksa dan tak mendapat perawatan,” kata nya. Ia dibui junta karena menyerukan pembebasan mahasiswa yang ditahan, dianggap me racuni pikiran masyarakat dengan ide demokrasi dan hak asasi ma nusia. Ia ba ru dilepas pada Oktober 1998.
Di penjara, dia menggunakan waktu de ngan belajar bahasa Inggris. ”Saya ber harap, suatu hari nanti kemampuan ba hasa Inggris saya akan berguna untuk memperjuangkan teman-teman yang di penjara,” ujarnya. Dan memang terbukti.
DI pinggiran Mae Sot, Dr. Cynthia Maung juga tak kenal lelah. Di klinik yang dibangun bersama kawan-kawan sepelariannya, dia merawat rakyat Burma, baik yang di Mae Sot maupun yang menyeberang dari Burma. Kebetulan di Mae Sot ada jembatan yang menghubungkan Thailand dengan kawasan Irrawaddy di Burma, tempat orang bisa menyeberang selama sehari.
Sejak meninggalkan Burma setelah kerusuhan 1988, tepatnya pada 21 September 1988, dia dan 14 rekannya menyebe rang. Setelah keleleran di belantara tujuh hari, mereka berhasil mencapai Tha i land. Hingga Desember 1989, dia ber hasil membangun Pusat Kesehatan Mae Tao. ”Pada mulanya hanya untuk ke pentingan darurat para pengungsi,” ujarnya.
Namun kini, menurut Cynthia, kli nik nya merawat 300-400 orang setiap hari. Ia dibantu sekitar 200 staf dan 400 trainee. Pelayanan pun dikembangkan, tak hanya di Mae Sot. Cynthia dan para staf juga menyeberang ke belantara Burma, membantu rakyat yang tak terjangkau fasilitas kesehatan dari junta.
Bahaya selalu menghadang. ”Itu da erah hutan, dan ranjau darat ada di mana-mana,” katanya. Apalagi di da erah Burma timur ini masih sering terjadi bentrokan bersenjata antara pasukan rezim dan kelompok pemberontak bersenjata.
BEGITU banyak orang di Mae Sot berbuat untuk negerinya, Burma. Ada Soe Aung, Zin Lin, San Aung, dan lain-lain, yang berjuang di NCUB (Koalisi Nasio nal Uni Burma yang menjadi wadah gerakan seluruh rakyat Burma) mau pun NCGUB (Koalisi Pemerintahan Nasional Uni Burma, sebuah pemerintahan hasil pemilu 1990 yang tak diakui junta dan bergerak di pengasingan).
Di Amerika Serikat, bertahun-tahun Thaung Htun dan kawan-kawan bergerilya di markas Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sementara ”Perdana Menteri” Sein Win terus bersuara lantang dari Maryland, agar situasi buruk dan kekejaman junta militer pimpinan Jenderal Senior Than Shwe tetap didengar oleh masyarakat internasional. ”Kami terus membujuk,” ujarnya ketika dihubungi Tempo dua pekan lalu.
Dia dan rekan-rekannya tak kenal lelah terus melobi. Para diplomat di Perserikatan Bangsa-Bangsa, pejabat Thailand, ASEAN, Uni Eropa, semua dikunjungi. ”Kami memang harus terus mengkampanyekan ke semuanya,” kata Soe Aung, juru bicara NCUB.
Hampir semua pelarian politik dari Burma tak pernah lagi berhubungan dengan keluarganya di tanah air. ”Mereka bisa dihukum tujuh tahun,” kata Sann Aung, Kepala Kantor Perwakilan NCGUB di Bangkok, menjelaskan hukuman bagi keluarga kalau dihubungi oleh para aktivis di luar negeri.
Sein Win termasuk beruntung. Setelah sepuluh tahun terpisah, pada 2000 istri dan anaknya berhasil menyeberang ke Thailand dan berkumpul dengannya di Maryland. Yang lain harus memendam keinginan bertemu keluarga. ”Saya bekerja lebih keras lagi kalau mengingat keluarga di Burma,” kata Bo Kyi, yang menikah di pengasingannya di Mae Sot.
Bukan tak pernah rasa putus asa melanda para aktivis ini. ”Kadang kami frus trasi,” Sein Win mengaku. Tak se mua orang yang dia lobi menerima de ngan antusias. ”Seperti sekarang, ketika rak yat Burma dipukuli, dibunuh di jalan an, ditahan, responsnya lamban sekali.”
Namun akhirnya mereka merasa tak boleh patah semangat. ”Kami memiliki harapan untuk rakyat kami,” ujar Soe Aung. Demikian pula Sein Win. Menurut dia, rakyat Burma memberikan inspirasi. Meski harus menghadapi kebrutalan junta, mereka mencoba tak menyerah. ”Kami tahu benar apa yang mereka hadapi, dan kami tak boleh berhenti.”
Purwani Diyah Prabandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo