Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KASUS salah tangkap yang menimpa Devid Eko Priyanto dan Imam Hambali mengingatkan orang pada kasus Sengkon-Karta. Tragedi yang menimpa rakyat kecil dari Bekasi, Jawa Barat, ini terjadi pada 1974. Pada saat itu, dua petani ini ditangkap dengan tuduhan merampok dan membunuh pasangan suami-istri Sulaiman-Siti Haya, warga Desa Bojongsari. Pembunuhan itu membuat geger warga Bekasi.
Kasus ini kemudian bergulir ke pengadilan. Pada 1977, Pengadilan Negeri Bekasi memvonis Sengkon (50 tahun) 12 tahun penjara dan Karta (45 tahun) 7 tahun. Dalam berita acara pemeriksaan polisi, keduanya juga mengaku membunuh Sulaiman dan Siti. Sengkon dan Karta dijebloskan ke penjara Cipinang, Jakarta, setelah mendekam di penjara Bekasi.
Tatkala berada di Cipinang inilah mereka bertemu dengan Genul, 35 tahun, keponakan Sengkon, yang dibui lantaran kasus pencurian. Di sinilah Genul membuka rahasia yang membuat pamannya, Sengkon, sengsara: dialah sebenarnya pembunuh Sulaiman dan Siti.
Terbongkarnya kasus salah tangkap terhadap Sengkon dan Karta itu mengejutkan dunia peradilan. Adalah Albert Hasibuan, yang saat itu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, yang ikut turun tangan membebaskan kedua terpidana. Saat itu Sengkon sudah menjalani hukuman lima tahun, sedangkan Karta tiga tahun. Genul akhirnya diadili dan divonis 12 tahun penjara karena terbukti membunuh Sulaiman dan Siti. Adapun dua temannya yang ikut membantunya masing-masing dihukum 10 dan 6 tahun.
Kendati Genul sudah mengaku, bukan berarti saat itu Sengkon dan Karta dibebaskan. Penyebabnya, putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atas suatu perkara pidana tidak bisa ditinjau. Ini lantaran, saat itu, lembaga herziening (peninjauan kembali) sudah dibekukan Mahkamah Agung. Barulah ketika Ketua Mahkamah Agung Oemar Seno Adji membuka kembali lembaga herziening, Sengkon dan Karta dinyatakan bebas murni.
Keluar dari penjara, Sengkon dan Karta menuntut ganti rugi Rp 100 juta kepada lembaga peradilan yang salah memvonisnya. Upaya ini tak membawa hasil. Mahkamah Agung menolak tuntutan tersebut dengan alasan Sengkon dan Karta tidak pernah mengajukan permohonan kasasi atas putusan Pengadilan Negeri Bekasi pada 1977. ”Secara formal kemudian tidak pernah ada pernyataan maaf, apalagi ganti rugi dari penegak hukum,” kata Albert Hasibuan kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Nasib Sengkon dan Karta setelah keluar dari Cipinang tidak lalu membaik. Sengkon dirawat di rumah sakit karena tuberkulosisnya makin parah, sementara Karta—bapak 12 anak itu—harus menemui kenyataan pahit: keluarganya kocar-kacir entah ke mana. Tanahnya yang selama ini ia andalkan untuk menghidupi keluarga sudah ludes dijual. Tanah itu dijual istrinya untuk menghidupi anak-anaknya dan membiayai dirinya saat diproses di polisi dan pengadilan.
Pada 1988, setelah bertahun-tahun diserang tuberkulosis, Sengkon akhirnya meninggal. Rekan sependeritaannya, Karta, sudah pergi lebih dulu. Ia tewas dalam kecelakaan lalu lintas pada 1982.
Ditemui Tempo pada Kamis pekan lalu di rumahnya, Desa Jatirangon, Bekasi, Tunih, istri Sengkon, masih mengingat jelas saat suaminya diciduk polisi. ”Bapak waktu itu sedang terbaring sakit, lalu dibawa oleh polisi,” ujar perempuan 53 tahun itu. Rumah yang sekarang ditempatinya masih rumah yang dulu ketika masih bersama Sengkon. Setelah dibawa polisi, Sengkon tak pernah kembali.
Tunih baru empat tahun menikah dengan Sengkon tatkala suaminya dituduh membunuh Sulaiman. Untuk menghidupi dua anaknya yang saat itu masih kecil-kecil dan membiayai Sengkon selama berurusan dengan aparat, Tunih menjual tanah dan segala harta benda yang ia miliki.
Setelah Sengkon bebas, kehidupan keluarganya tak langsung membaik. ”Bapak enggak bisa kerja lagi karena TBC-nya parah dan terlalu banyak bekas luka di badannya,” ujarnya. Matanya tampak basah saat menceritakan peristiwa pilu yang terjadi sekitar 25 tahun silam itu. ”Sampai sekarang tak ada satu pun aparat yang menghukum suami saya itu minta maaf,” kata ibu empat anak dan nenek enam cucu itu. Ironis, penegak hukum tak memahami apa arti kata maaf.
Anne L. Handayani, Gabriel Wahyu Titiyoga, Agung Sedayu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo