Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WAJAH Imam Hambali begitu cerah ketika datang ke Pengadilan Negeri Jombang, Jawa Timur, Selasa pekan lalu. Dia mengumbar senyum kepada setiap orang yang menyapanya. Sesekali jarinya yang lentik nan terawat membenahi poni di dahinya.
Imam datang untuk mendukung rekannya, Maman Sugianto, yang didakwa membunuh Muhammad Asrori. ”Dia harus diputus bebas karena kami tidak bersalah,” ujar pemilik Salon Ayu di Desa Kalangsemanding, Jombang, itu.
Imam, 35 tahun, Maman, 28 tahun, dan Devid Eko Priyanto, 19 tahun, dituduh Kepolisian Sektor Bandarkedungmulyo, Jombang, telah bersekongkol membunuh Asrori pada akhir September 2007. Mereka, menurut polisi, mengubur mayat korban di kebun tebu desa itu. Yakin atas hasil penyidikan polisi, pada awal Mei lalu Pengadilan Negeri Jombang menghukum Imam dan Devid masing-masing 17 dan 12 tahun penjara.
Lalu kisah mereka seperti riwayat Sengkon-Karta 34 tahun silam (lihat ”Tanpa Maaf, Apalagi Ganti Rugi”). Ini setelah terdakwa pembunuhan berantai Very Idam Henyansah alias Ryan mengaku, satu dari sepuluh mayat yang dikubur di belakang rumahnya di Jati Wates, Jombang, adalah Asrori.
Untuk membuktikan pengakuan Ryan, polisi telah melakukan tes genetis pada mayat yang diduga sebagai Asrori. Hasilnya positif: 16 penanda genetis pada mayat itu 99,99 persen sama dengan milik orang tua Asrori (Tempo, 7 September).
Lantas mayat siapa di kebun tebu itu? Dia adalah Fauzin Suyanto, asal Nganjuk. Ia dibunuh Rudy Hartono alias Rangga.
Berkat bukti baru itu, pada 3 Desember lalu Mahkamah Agung membatalkan vonis Pengadilan Negeri Jombang untuk Imam dan Devid. Keduanya cabut dari lembaga pemasyarakatan Jombang keesokan harinya.
Kini, tinggallah Maman yang tersisa, karena Pengadilan Negeri Jombang tak kunjung kelar memutus kasusnya. Rencananya, pada Senin pekan ini Pengadilan Negeri Jombang bakal membacakan tuntutan jaksa dan mendengarkan pembelaan Maman.
Diduga kuat, jaksa akan menuntut bebas Maman. Sayangnya, jaksa Suhadi, penuntut umum di pengadilan, menolak memberikan keterangan tentang dugaan itu. Tapi, ”Apa pun tuntutan jaksa, membebaskan Maman atau tidak, kami tetap (akan) menyampaikan pembelaan,” ujar Slamet Yuono, kuasa hukum Maman dari kantor pengacara O.C. Kaligis, Kamis pekan lalu.
Apakah akan ada gugatan balik kepada polisi? Ditemui bersamaan di Pengadilan Negeri Jombang, Imam dan Devid mengatakan tak akan menggugat polisi dan para hamba wet yang telah salah menghukum. ”Lupakan saja,” ujar Imam. Devid, bekas asisten di salon milik Imam, mengamini. ”Alhamdulillah, sudah bebas,” ujarnya.
Keduanya mengaku, yang paling penting sekarang adalah melanjutkan hidup. Imam berencana merintis kembali salon kecantikannya dengan uang santunan Rp 5 juta dari O.C. Kaligis. Salon itu akan dibangun di samping rumahnya. ”Saran Pak O.C., salonnya diberi nama Salon Kemat Cs,” ujarnya. Kemat adalah nama panggilan Imam.
Devid juga berencana segera kembali bekerja. ”Semoga enggak susah cari kerja karena dianggap membunuh orang,” kata dia.
Padahal, sebagai korban salah tangkap, keduanya berhak menuntut balik dan mendapatkan ganti rugi. Itu sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jika korban menggugat balik dengan pasal pidana, penggantiannya Rp 3 juta. Jika yang ditempuh gugatan perdata, ganti rugi yang bisa dituntut lebih besar. ”Tergantung tindakan pelanggaran hukum oleh aparat,” ujar praktisi hukum Albert Hasibuan.
Namun Imam dan Devid mengaku punya alasan untuk tak menggugat polisi. Alasan itu pula yang membuat kantor O.C. Kaligis ikut menganjurkan agar mereka tak menggugat para hamba wet. Pertama, keduanya berpikir satu saat mungkin akan membutuhkan polisi. ”Mereka tidak mau dimusuhi polisi karena menggugat balik,” kata Slamet. Alasan kedua, menurut Slamet, mereka menderita trauma jika harus bolak-balik ke kantor polisi dan pengadilan.
Trauma itu memang gampang dilihat di wajah Imam dan Devid. Datang ke pengadilan cerah-ceria, Imam langsung muram ketika Tempo menanyakan soal penyiksaan oleh polisi. ”Seperti mimpi panjang,” ujarnya.
Selama 14 bulan dibui, kata Imam, masa paling mengerikan berlangsung di tahanan polisi. Di sana ia dipaksa polisi mengaku telah membunuh Asrori. ”Saya dicambuk dengan sabuk (merek) Diesel, dipukul, ditonjok, ditampar. Banyak hal. Ditodong pistol juga pernah, dua kali,” ujarnya.
Ia mengaku lupa berapa kali disiksa polisi. ”Hampir setiap waktu,” ujarnya. ”Saya hanya menangis.”
Siksaan juga mampir kepada Devid. Tampaknya trauma Devid lebih dalam. Wajah mantan asisten di salon milik Imam itu masih pias. Sepanjang persidangan Maman, ia tak banyak bicara. Ia juga tak pernah jauh dari ibunya, Siti Rohana. Sesekali ia terlihat melamun.
Seperti Imam, Devid—sulung dari tiga bersaudara—mengaku lebih aman berada di lembaga pemasyarakatan Jombang ketimbang di tahanan polisi Bandarkedungmulyo. ”Siksaannya macam-macam,” ujarnya. Sudah begitu, selama dia di tahanan polisi, keluarganya dilarang menjenguk. ”Saya lebih baik hidup di lembaga pemasyarakatan daripada ditahan di kantor polisi,” kata Devid, yang menghabiskan banyak waktunya di bengkel penjara.
Nasib Maman tak lebih baik. Istrinya, Ratna Kulsum, mengatakan suaminya kerap dipukul dengan kursi kayu dan dicambuk dengan tali yang terbuat dari karet ban. ”Bahkan suami saya tidak boleh pakai pakaian ketika disiksa,” ujarnya.
Polisi enggan menanggapi kisah penyiksaan itu. Namun lembaga penegak hukum itu mengaku telah salah tangkap orang. Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar Kepolisian Indonesia Inspektur Jenderal Abubakar Nataprawira mengatakan para polisi yang bertanggung jawab sudah diperiksa tim Profesi dan Pengamanan Kepolisian Daerah Jawa Timur.
Ada 15 polisi yang diperiksa. Di antaranya mantan Kepala Kepolisian Resor Jombang Ajun Komisaris Besar Dwi Setiadi berikut kepala resersenya, Ajun Komisaris Irfan, dan tiga penyidiknya. Anggota Kepolisian Resor Mojokerto dan saudara terdakwa Maman, Ajun Inspektur Satu Muhammad Zen Maarif, ikut diperiksa. Ia memukuli Maman lantaran malu karena menyangka saudaranya ikut membunuh Asrori. Mantan Kepala Polsek Ajun Komisaris Anang Nurwahyudi, sekarang Kepala Kepolisian Ngoro, Mojokerto, juga diperiksa.
Jumat pekan lalu, pemeriksaan itu kelar. Hasilnya dilimpahkan ke Kepala Kepolisian Wilayah Bojonegoro, atasan yang berhak menghukum para polisi itu. ”Mereka dinonjobkan,” ujar Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Jawa Timur Komisaris Besar Pudji Astuti.
Polisi juga sudah meminta maaf atas kesalahan itu. Slamet mengatakan, sebagai institusi, polisi sudah meminta maaf dua kali. Permintaan maaf itu disampaikan Kepala Kepolisian Jawa Timur Inspektur Jenderal Herman S. Sumawiredja dalam pertemuan dengan keluarga korban, pertengahan Oktober lalu, dan dalam pertemuan Jakarta Lawyers Club pada 11 November silam.
Namun, menurut Siti Rohana, sejauh ini belum ada permintaan maaf secara pribadi dari polisi yang terlibat dalam kasus penyiksaan itu kepada Devid. ”Tak satu pun,” ujarnya. Kenapa sulit betul meminta maaf kalau sudah nyata bersalah?
Anne L. Handayani, Agung Sedayu, Rohman Taufiq, Dini Mawuntyas (Jombang), Sujatmiko (Bojonegoro)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo