Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERITA gembira tersebut tak bisa langsung disampaikan M. Sholeh kepada kliennya, Oei Alimin Sukamto. Kendati mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, begitu proses pengujian itu berlangsung, Alimin menghilang. "Saya tidak tahu di mana keberadaannya," kata Sholeh.
Kamis dua pekan lalu, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pengusaha ban asal Surabaya itu. Mahkamah menghapuskan frasa "perbuatan tidak menyenangkan" yang tercantum dalam pasal tersebut. Nah, lantaran tak tahu di mana "rimbanya" Alimin, Sholeh menitipkan kabar itu kepada kerabat Alimin di Surabaya. Menurut Sholeh, Alimin menghilang sejak setahun lalu. Sholeh menduga kliennya mengalami stres akibat perkara yang menimpanya.
Alimin, 48 tahun, lewat pengacaranya itu, pada Desember 2012 mengajukan permohonan uji materi atas Pasal 335 KUHP yang "ditikamkan" polisi kepadanya. Sebelumnya, sejak September 2012, dia menjadi tersangka dengan tuduhan melakukan perbuatan tak menyenangkan atas laporan pengusaha Hariyono Winarta. Pasal ini intinya menyatakan seseorang bisa dihukum penjara hingga setahun jika terbukti melakukan perbuatan tidak menyenangkan terhadap orang lain. Perbuatan apa yang disebut "tak menyenangkan" itu tak ada definisinya. Itu sebabnya, pasal ini disebut pasal karet atau pasal keranjang sampah.
Yang pasti, sejak polisi menjadikannya sebagai tersangka dengan pasal 335 itu, kehidupan bapak dua anak ini langsung berbalik. Usaha bisnis ban Alimin di Jalan Waspada Nomor 98, Surabaya, terbengkalai. Dua tahun belakangan, karyawannya tak pernah melihat sang bos lagi. "Padahal toko ini dulu ramai," ujar Yadi, salah seorang karyawan Alimin, kepada Tempo pekan lalu. "Kami tidak tahu di mana dia sekarang."
Peristiwa yang menimpa Alimin berawal pada 4 Agustus 2012 di Hotel Meritus, Surabaya. Kala itu, kata Sholeh, Alimin yang sudah lama berkawan dengan Hariyono menemui temannya itu di Meritus, hotel milik Hariyono, sekitar pukul 23.30.
Di sana, keduanya terlibat pembicaraan yang memanas. Ujung-ujungnya, Hariyono memukul Alimin. Tak terima diperlakukan demikian, Alimin menantang Hariyono. "Jangan pukuli aku di sini. Kalau berani, kita duel di Jembatan Suramadu," ujarnya. Hariyono tak mengindahkan tantangan itu. Bahkan sejumlah anak buahnya ikut menghajar Alimin. "Sampai pingsan," kata Sholeh.
Alimin melaporkan pemukulan dirinya ke Kepolisian Sektor Genteng pada 5 Agustus 2012 pukul 01.00. Namun, hingga pukul 06.00, polisi tak mengetik laporannya. Beberapa jam kemudian, Hary Moelyono, teman Hariyono, gantian melaporkan Alimin ke polisi. Dasar laporannya: perkataan Alimin kepada Hariyono yang mengajak duel di Jembatan Suramadu. "Anehnya, meski Alimin melaporkan lebih dulu, nomor laporannya di belakang nomor laporan Hariyono," ujar Sholeh.
Menurut kerabat Alimin, setelah melapor ke polisi, Alimin mendapat intimidasi sejumlah orang. Intinya, jika ia tak meminta maaf kepada Hariyono, persoalan akan jadi panjang. Ketakutan, Alimin lalu menghubungi Hariyono. "Saat bertemu, Hariyono meminta ganti rugi Rp 3 miliar," kata kerabat Alimin yang minta namanya tak disebutkan itu. Alimin menawar, dan "harga damai" pun disepakati: Rp 500 juta. Uang itu ditransfer Alimin ke rekening Hary Moelyono. Tahap pertama Rp 150 juta, selanjutnya Rp 50 juta.
Tapi Hariyono ternyata tak menarik pengaduannya. Proses hukum terus berjalan. Alimin bahkan selama pemeriksaan ditahan sepuluh hari di sel polisi. Pada 24 September 2012, ia ditetapkan sebagai tersangka. "Polisi mudah menetapkan status tersangka dalam waktu singkat. Berbeda dengan laporan Alimin yang tak berproses," ucap Sholeh.
Soal laporan Alimin, kata Sholeh, polisi mengatakan membutuhkan waktu penyelidikan 30 hari. Selama proses pun tak ada perkembangan meski telah dihadirkan 12 saksi. Alimin mengusulkan polisi melakukan pemeriksaan CCTV yang ada di Hotel Meritus. "Namun CCTV itu tak pernah diminta polisi setelah pihak hotel menyatakan rusak," ujar Sholeh.
Penanganan berkas Alimin yang melaporkan Hariyono dengan melakukan penganiayaan di Polda Jawa Timur pada 30 Agustus 2012 juga terhenti. Sebaliknya, laporan Hariyono bahwa Alimin melakukan pemukulan dan perbuatan tak menyenangkan terus berjalan di kepolisian. Hariyono juga menggugat perdata Alimin untuk membayar sisa "utang damai"-nya Rp 300 juta. Kasus ini sudah diputus oleh Pengadilan Negeri Surabaya pada 21 Agustus 2013. Pengadilan memerintahkan Alimin membayar sisa utangnya tersebut.
Pengacara Hariyono, Amos H.Z., menuding Alimin biang persoalan ini. Menurut dia, keributan di Hotel Meritus bermula dari Alimin yang saat itu mabuk. Alimin juga mendorong Hary Moelyono sampai jatuh. Menurut Amos, sepekan setelah peristiwa itu, Alimin menelepon kliennya mengajak damai. "Alimin menyanggupi membayar Rp 500 juta, dan meminta saya yang membuatkan surat perjanjian," katanya. Menurut Amos, kasus kliennya sudah di kejaksaan dan Alimin masuk daftar pencarian orang. "Dia sekarang DPO," ujarnya.
PADA November 2012, Alimin menemui Sholeh. "Saat itu, dia seperti mentok, merasa tak ada jalan keluar," kata Sholeh. Dia meminta Alimin mempelajari akar permasalahannya. "Permasalahannya itu adalah dipakainya pasal 335. Itu pasal karet," ujarnya. Saat itu, Sholeh melihat inilah momentum untuk mengajukan permohonan uji materi pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
"Saya usulkan kepada Alimin, dan dia setuju," katanya. Pada 13 Desember, mereka pun mengajukan permohonan pengujian pasal itu ke Mahkamah Konstitusi.
Upaya keduanya tak sia-sia. Mahkamah menyatakan frasa pasal 335 ayat 1 butir 1 "perbuatan tidak menyenangkan" inkonstitusional dan tak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Hakim konstitusi juga menyatakan pasal 335 ayat 1 butir 1 menjadi: "Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu dengan memakai kekerasan atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain."
Dalam putusan itu, Mahkamah juga memasukkan pendapat saksi ahli hukum pidana, M. Sholehuddin. Menurut dia, frasa "perbuatan tak menyenangkan" diambil dari bahasa Belanda onaangename bejegening. Nah, menurut Sholehuddin, itu salah karena seharusnya yang tepat "memperlakukan orang secara tak menyenangkan". "Perbuatan tidak menyenangkan itu subyektivitasnya tinggi dan obyektivitasnya rendah," kata dosen Universitas Bhayangkara, Surabaya, itu.
Menurut pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti yang juga pernah menjadi anggota staf ahli Kejaksaan Agung, Andi Hamzah, frasa ini sudah diusulkan dihapus sejak 30 tahun lalu. Menurut dia, karena pengertiannya sangat subyektif, pasal ini menjadi permainan aparat hukum. Andi mengatakan, dengan putusan Mahkamah, aparat hukum semestinya otomatis menghentikan kasus yang dijerat dengan "pasal keranjang sampah" itu.
Kepada Tempo, Kepala Divisi Humas Markas Besar Kepolisian RI Inspektur Jenderal Ronny Frankie Sompie menyatakan Kepolisian akan mengikuti putusan Mahkamah. "Namun kami tidak akan menghentikan kasus yang sudah berjalan dengan laporan perbuatan tidak menyenangkan," ucapnya. Terhadap kasus demikian, kata Ronny, Kepolisian akan menyesuaikannya dengan pasal yang ada dan mengkonsultasikan hal ini dengan para pakar hukum piÂdana.
Wakil Jaksa Agung Andhi Nirwanto bersikap sama. "Kasus yang sudah ada biarkan berjalan, putusan final ada di hakim," ujarnya.
Yuliawati, Edwin Fajerial, Tri Artining Putri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo