Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Jerat Teranyar Rina

Jaksa memakai pasal pencucian uang untuk menjerat mantan Bupati Karanganyar Rina Iriani. Hartanya yang diduga hasil korupsi terserak di mana-mana.

27 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAGAR tembok setinggi dua meter mengurung lahan seluas hampir separuh lapangan sepak bola itu. Posisinya persis di sudut dua jalan utama perumahan Jaten Permai Indah, Karanganyar, Jawa Tengah. Di kedua sisi lahan, Jalan Parkit dan Jalan Getas Raya, terpasang papan putih dengan tulisan "tanah ini disita jaksa penyidik dalam perkara korupsi atas nama tersangka Rina Iriani Ratnaningsih".

Warga sekitar baru mengetahui lahan tersebut milik bekas Bupati Karanganyar setelah papan dipasang pada Kamis, 9 Januari lalu. Sebelumnya, mereka mengira tanah itu milik pengembang perumahan. "Kata orang-orang, tanah itu punya Pak Tony," ujar Parjono, pemilik warung yang berhadapan dengan lahan itu.

Sebelum menancapkan papan tanda pembeslahan sekitar pukul 10.00, tim penyidik dari Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah mendatangi rumah Rina di Jalan Angsana. Rumah bertingkat dua itu tampak mencolok, lebih besar dan mewah dibanding rumah sekitarnya. Tim jaksa dipimpin Kepala Seksi Penyidikan Sugeng Riyanta.

Sesudah mengucap salam, Sugeng dan kawan-kawan masuk dari pintu pagar garasi menuju ruang tengah. Tak lama kemudian Rina turun dari lantai dua melalui tangga di garasi, menyambut tamu dadakan itu. Bersama tim penyidik, Rina lantas kembali naik ke lantai dua.

Dua jam berselang, tiga pengacara Rina datang. Mereka adalah Slamet Yuono, M. Taufiq, dan M. Yagari Bastari. Ketiganya menyusul Rina ke lantai atas. Hening beberapa saat, suara mirip orang bertengkar tiba-tiba terdengar hingga ke luar rumah. Tim kuasa hukum Rina rupanya memprotes penggeledahan rumah dan penyitaan harta Rina.

Tapi tim jaksa jalan terus. Sekitar pukul 15.00, para jaksa turun dari lantai dua sembari menenteng sebuah koper besar. Isinya antara lain perhiasan dan sertifikat tanah. "Kami menyita 71 item benda bergerak dan tidak bergerak," kata Sugeng setelah penggeledahan.

Barang yang disita hari itu termasuk 33 jenis perhiasan emas dan berlian yang tersimpan dalam dua kotak. Lalu ada delapan sertifikat tanah, uang tunai Rp 126 juta, buku tabungan, dan deposito. Hingga hari itu, jaksa sudah menyita 16 sertifikat tanah yang diduga milik Rina. Tanah itu tersebar di Karanganyar, Sukoharjo, Klaten, dan Semarang.

Sugeng menyatakan Rina berusaha menyamarkan hartanya. Misalnya, ia mengaku hanya punya dua rekening di bank. Padahal penyidik menemukan ada lebih dari 50 rekening atas namanya. Penyidik juga menyita Honda CR-V dan Toyota Camry milik Rina. Sebelumnya, dalam laporan kekayaan terakhir ke Komisi Pemberantasan Korupsi pada Desember 2011, Rina mengaku hanya memiliki Toyota Avanza dan Daihatsu Taruna.

Soal mobil, menurut Sugeng, penyidik hampir saja terkecoh. Soalnya, mobil Honda CR-V itu memiliki dua surat tanda nomor kendaraan. Surat pertama bernomor AD-8000-RZ, sedangkan surat kedua bernomor AD-1-TM. "Setelah kami cek, ternyata nomor rangka dan mesinnya sama," kata Sugeng.

n n n

Rina menjadi tersangka korupsi pada pertengahan November lalu, sebulan sebelum lengser dari jabatan bupati. Tuduhan jaksa atas Bupati Karanganyar dua periode itu tak main-main. Ia dituduh menyelewengkan Rp 11 miliar dana subsidi perumahan yang digelontorkan Kementerian Negara Perumahan Rakyat pada 2007-2008. Dari total Rp 35 miliar dana subsidi untuk wilayah Karanganyar, menurut jaksa, lebih dari Rp 18 miliar bocor ke mana-mana.

Pengusutan kasus ini telah menjebloskan tiga orang ke penjara. Mereka adalah Tony Iwan Haryono, mantan suami Rina, serta Fransiska Riyana Sari dan Handoko Mulyono, bekas Ketua Koperasi Serba Usaha Sejahtera. Ketiganya, menurut jaksa, menggangsir dana subsidi untuk rumah orang miskin melalui koperasi jejadian yang dibuat Tony. Tony sudah divonis 4 tahun 10 bulan penjara dalam kasus ini. Adapun Handoko dan Fransiska masing-masing empat dan dua tahun penjara.

Dalam dokumen putusan atas nama Handoko terungkap ada pengeluaran sekitar Rp 16,26 miliar di luar urusan subsidi perumahan. Dana itu disebutkan untuk kepentingan pribadi Tony dan Rina. Dana untuk Rina biasanya diambil Utit Dwi ­Se­tyowati (bendahara Rina Center), Susmiyati (asisten pribadi), dan Rina sendiri.

Sepanjang Agustus-Oktober 2008, misalnya, ada 15 kali penyerahan uang koperasi kepada Utit. Jumlah totalnya Rp 1,47 miliar. Lalu, mulai Juli 2008 hingga Januari 2010, tercatat 31 kali penyerahan uang lewat Susmiyati dengan jumlah Rp 2,29 miliar. Adapun dana yang langsung diambil Rina sekitar Rp 2,33 miliar.

Terungkap pula catatan pengeluaran miliaran rupiah untuk beberapa partai politik. Diso­kong sembilan partai, pada pemilihan langsung 2008, Rina menjadi Bupati Karanganyar untuk kedua kalinya.

Uang miliaran itu umumnya diserahkan secara tunai. Hanya sedikit yang diberikan dalam bentuk cek. Kejaksaan beruntung mendapat bukti itu karena ternyata ada petugas pembukuan koperasi yang rajin membuat dan menyimpan kuitansi pengeluaran. Dalam persidangan bukti pengeluaran itu ditunjukkan jaksa sebagai bukti terjadinya penyelewengan.

Setelah memeriksa Rina dan puluhan saksi, pada 8 Januari lalu Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah kembali mengeluarkan surat perintah penyidikan. Kali ini jaksa menjerat Rina dengan pasal pencucian uang. Dengan pasal ini, bila terbukti bersalah, Rina bisa dihukum hingga 20 tahun penjara.

Jaksa tak hanya melacak harta atas nama Rina. Menurut seorang sumber Tempo, para penyelidik juga sudah menyita dua rumah di kompleks perumahan Lor In Residence, Solo. Kedua rumah itu dibeli Rina atas nama salah satu anaknya, Wijaya Kusuma. Di kompleks yang sama, jaksa masih menelisik tiga rumah lain yang diduga juga milik Rina tapi disamarkan sebagai milik seorang pengusaha. "Pengusaha itu dekat dengan Rina," ujar sumber ini.

Sejauh ini pengembang perumahan ­elite dekat Bandara Adi Soemarmo, Solo, itu belum bisa dimintai konfirmasi perihal rumah-rumah Rina tersebut. "Saya sedang banyak pekerjaan," kata seorang karyawan Lor In Residence yang disebut-sebut menangani transaksi pembelian kelima rumah itu.

Di samping tanah, aliran dana ke sejumlah rekening Rina dan keluarganya pun ditelusuri jaksa. Yang jadi pijakan jaksa, antara lain, analisis laporan harta kekayaan pejabat negara yang dibuat KPK. Menurut dokumen yang salinannya diperoleh Tempo itu, Rina memiliki 14 rekening tabungan dan deposito yang tak pernah dia laporkan. Selain itu, terdapat 25 rekening tabungan dan deposito milik keluarga Rina yang tak dilaporkan. Total saldonya, pada November 2013, tercatat Rp 2 miliar dan US$ 249 ribu (sekitar Rp 2,5 miliar).

Untuk pejabat setingkat bupati, saldo sebesar itu barangkali tak terlalu fantastis. Hanya, penelisikan lanjutan oleh tim KPK mengungkapkan terdapat lebih dari seratus setoran dana tak wajar terjadi pada Januari 2006-Juli 2012. Total aliran dana mencurigakan itu Rp 15,7 miliar dan US$ 414 ribu (sekitar Rp 4 miliar). Dalam salah satu transaksi, misalnya, rekening Rina pernah menerima setoran Rp 950 juta.

Rina dan tim kuasa hukumnya gigih melawan. Mereka menuding penyitaan harta itu tak memenuhi prosedur. Mereka pun melaporkan jaksa ke Komisi Kejaksaan dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Pengacara Rina, M. Taufik, mengatakan penyidik hanya mengantongi izin pengadilan untuk menyita 16 item barang. Faktanya, ada 75 item barang yang disita jaksa. "Kejaksaan telah merampok aset milik klien kami," kata Taufiq.

Menurut Taufik, harta Rina yang disita jaksa adalah hasil usaha kliennya, bukan dari korupsi. Tanah di sejumlah kota itu, misalnya, dibeli Rina sebelum menjadi bupati. Begitu pula uang di rekeningnya. Kalaupun ada tabungan yang terlihat besar, kata dia, itu dari bisnis tanaman anturium jemani, tanaman hias yang sempat menjadi tren beberapa tahun lalu. "Satu pohon saja bisa dijual hingga Rp 400 juta," ucap Taufik.

Sebaliknya, Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah Masyhudi berkukuh semua aset Rina yang disita diduga kuat hasil korupsi. "Kalau itu tak terkait dengan korupsi, penyidik tak mungkin menyitanya," ujar Masyhudi.

Jajang Jamaludin, Ahmad Rafiq, Ukky Primartantyo (Solo), Sohirin (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus