Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Senyum kecil tersungging di bibir Effendi Gazali, yang duduk di ujung deretan kursi pemohon di ruang sidang Mahkamah Konstitusi. Anggota Aliansi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak itu hadir bersama sejumlah koleganya, antara lain ahli sosiologi politik Universitas Indonesia, Hamdi Muluk. Sejenak saling tatap, Effendi dan Hamdi berjabat tangan begitu Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva membacakan bagian akhir putusan, Kamis siang pekan lalu.
"Permohonan pemohon mengenai penyelenggaraan pilpres dan pemilu anggota lembaga perwakilan secara serentak beralasan menurut hukum," kata Hamdan, yang didampingi tujuh hakim konstitusi lain.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan Effendi dan kawan-kawan. Mahkamah menyetip sejumlah pasal pada Undang-Undang Pemilihan Presiden. Menurut Mahkamah, pasal yang mengharuskan pemilihan presiden dilaksanakan setelah pemilihan anggota legislatif bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. "Ini kemenangan rakyat, kemenangan konstitusi," ujar Effendi, yang juga pengajar komunikasi politik di Universitas Indonesia.
Aliansi Masyarakat Sipil menggagas gugatan judicial review pada November 2012. Aliansi beranggotakan individu itu menilai pemilihan presiden yang dilakukan setelah pemilihan anggota legislatif seperti sekarang ini telah menjadi ajang praktek politik "dagang sapi" di antara partai politik. Menurut mereka, presiden terpilih pun kerap disandera kepentingan koalisi partai yang dibentuk atas dasar kepentingan sesaat. Sejak itu, Effendi dan kawan-kawan menggaungkan perlunya pemilihan presiden dilaksanakan bersamaan dengan pemilihan anggota legislatif.
Pada Januari 2013, Aliansi memasukkan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Mereka meminta Mahkamah menguji sejumlah pasal pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008. Yang mereka gugat adalah Pasal 3 ayat 5, Pasal 12 ayat 1, Pasal 14 ayat 2, dan Pasal 112. Mereka meminta pasal-pasal itu diuji dengan Pasal 22-E ayat 1 dan 2 serta Pasal 6-A ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945.
Setelah mendengarkan argumen pihak pemohon judicial review, pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Konstitusi sebenarnya sudah menentukan sikap pada 26 Maret 2013. Mayoritas hakim yang hadir dalam rapat permusyawaratan hakim sepakat mengabulkan permohonan Effendi dan kawan-kawan. Namun Mahkamah Konstitusi baru membacakan putusannya pekan lalu-setelah Ketua Mahkamah Konstitusi dua kali berganti.
Dalam sidang penyampaian kesimpulan para pihak, 19 Maret 2013, Aliansi meminta Mahkamah memutus uji materi itu sebelum 9 April 2013. Harapan Effendi dan kawan-kawan, bila permohonan mereka dikabulkan, putusan itu bisa berlaku pada Pemilu 2014.
Aliansi juga mengirimkan surat untuk menanyakan nasib permohonan mereka pada 20 Mei 2013. Namun Mahkamah Konstitusi saat itu menjawab akan segera membacakan putusan jika sudah ada putusannya. "Padahal putusan sudah ada sejak Maret," ujar Effendi.
Tak sabar menanti, pada 21 Oktober tahun lalu, Effendi dan kawan-kawan kembali mendatangi Mahkamah. Mereka meminta putusan segera dibacakan. Mahkamah kembali berjanji membacakan putusan pada akhir Oktober atau awal November. Ternyata janji itu pun tak dipenuhi. Mahkamah baru membacakan putusan pekan lalu.
Dalam pertimbangan putusannya, Mahkamah Konstitusi antara lain merujuk pada risalah rapat Komisi A Majelis Permusyawaratan Rakyat sewaktu membahas amendemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945. Risalah rapat itu secara jelas menyebutkan pemilihan umum dilaksanakan lima tahun sekali untuk memilih anggota legislatif dan presiden. Artinya, pemilihan itu harus dilaksanakan secara berbarengan. Tapi amanat rapat itu disimpangkan dalam Pasal 3 ayat 5 Undang-Undang Pemilihan Presiden.
Mengutip argumentasi Effendi dan kawan-kawan, Mahkamah juga berpendapat pemilihan anggota legislatif dan presiden yang terpisah mengakibatkan pemborosan anggaran negara.
Namun permohonan Effendi dan kawan-kawan agar ketentuan ambang batas perolehan suara 20 persen dihapuskan supaya partai bisa mengajukan calon presiden tak dikabulkan Mahkamah. Menurut Mahkamah, yang berwenang mengubah ketentuan electoral threshold dalam Pasal 9 Undang-Undang Pemilihan Presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pembentuk undang-undang.
Mahkamah juga menyatakan ketentuan tentang pemilu serentak baru berlaku pada 2019. Dengan kata lain, sejak 2019, pemilihan presiden akan dilakukan bersamaan dengan pemilihan anggota DPR, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah. Sedangkan pada Pemilu 2014, pemilihan presiden tetap dilakukan setelah pemilihan DPR, DPRD, dan DPD.
Menurut Mahkamah, pelaksanaan pemilihan serentak juga harus diatur dalam undang-undang. Waktu yang tersisa sebelum Pemilu 2014-kurang dari tiga bulan-tak cukup untuk membuat Undang-Undang Pemilu baru yang lengkap. Bila pemilu serentak dipaksakan pada 2014, menurut Mahkamah, persiapan yang sudah memasuki tahap akhir bisa terganggu. Selain bakal menimbulkan kekacauan, perubahan mendadak bisa menimbulkan ketidakpastian hukum.
Putusan Mahkamah ini tidak bulat. Hakim konstitusi Maria Farida Indrati menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Menurut Maria, uji materi atas ketentuan yang sama pernah diputuskan Mahkamah Konstitusi, pada 2008. Waktu itu, Mahkamah menolak gugatan uji materi yang diajukan Mayor Jenderal Purnawirawan Saurip Kadi (sebagai individu), Partai Bulan Bintang, dan Partai Hati Nurani Rakyat.
Lagi pula, kata Maria, meski Pasal 22-E ayat 2 menyebutkan pemilihan umum dilakukan sekali dalam lima tahun, bukan berarti pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden harus dilakukan serentak. Merujuk pada Pasal 22-E ayat 6, ujar Maria, ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dalam undang-undang. "Tata cara pelaksanaan pilpres diserahkan kepada DPR dan presiden," katanya. "Itu tidak terkait dengan pengaturan serentak atau tidaknya pemilihan umum."
Meski memuji putusan Mahkamah Agung, Effendi dan kawan-kawan tetap kecewa karena pemilu serentak baru dilaksanakan pada 2019. Effendi masih mempertanyakan alasan Mahkamah menunda-nunda pembacaan putusan. "Kalau dibacakan sejak April lalu, alasan tahapan pemilu bakal terganggu tidak akan ada," ujarnya.
Ketua Majelis Syura Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra, yang juga menggugat pasal syarat electoral threshold pencalonan presiden, mempersoalkan pula penundaan pembacaan putusan Mahkamah. Yusril malah mencurigai Mahkamah ditekan partai-partai besar agar pemilu serentak baru dilaksanakan pada 2019.
Achmad Sodiki, mantan hakim konstitusi yang hadir dalam rapat musyawarah pada Maret tahun lalu, menampik kecurigaan Yusril. Menurut dia, Mahkamah memang sudah mengambil sikap pada Maret 2013. Dalam musyawarah itu juga tak ada perdebatan yang berarti. Sodiki, yang sempat berpendapat sama dengan Maria Farida, akhirnya setuju mengabulkan uji materi. Namun permintaan pemohon agar putusan segera dibacakan tak bisa dipenuhi karena draf final putusan tak kunjung jadi.
Idealnya, menurut guru besar hukum Universitas Brawijaya ini, perkara di Mahkamah Konstitusi diputus secara berurutan, sesuai dengan nomor perkara. Tapi prinsip "urut kacang" itu tak bisa dilakukan karena maraknya gugatan atas hasil pemilihan kepala daerah. Menurut undang-undang, sengketa pemilihan kepala daerah harus selesai dalam 14 hari. "Putusan pilkada tak bisa kami tunda," ujar Sodiki.
Febriyan, Prihandoko
Menutup Celah Dagang Sapi
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menunda pemilu serentak hingga 2019 dinilai sebagai "jalan tengah" yang tepat. Dengan penundaan pemilu serentak, setidaknya semua pihak punya waktu untuk "menghela napas".
Menurut guru besar ilmu politik Universitas Airlangga, Surabaya, Ramlan Surbakti, kekhawatiran terhadap pemilu serentak tak perlu berlebihan. Soalnya, kata dia, secara teori, penyatuan pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif lebih banyak manfaat ketimbang mudaratnya.
Di antara manfaat itu, kelak pemilih akan lebih melihat sosok calon presiden ketimbang partai pengusungnya. Calon yang memiliki visi-misi yang baik lebih berpeluang terpilih, terlepas dari partai yang mencalonkan dia. Sebaliknya, partai pengusung calon presiden terpilih akan tetap diuntungkan. "Kecenderungannya, pemilih seorang calon presiden juga akan memilih partai pengusung dia," ujar Ramlan.
Bila partai pengusung calon presiden terpilih berhasil mendominasi kursi Dewan Perwakilan Rakyat, kata Ramlan, hasilnya akan lebih bagus. Ketika menyusun kabinet atau membuat kebijakan, presiden tak perlu berkompromi lagi dengan partai-partai di parlemen. "Presiden bisa membuat kebijakan yang konsisten dengan visi-misinya saat kampanye," ujar Ramlan, yang juga mantan Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum. Dengan begitu, kata dia, pemerintahan akan berjalan efektif.
Pemilihan serentak juga bisa menegakkan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia. Saat ini, menurut Ramlan, sistem pemerintahan presidensial tak berjalan efektif. Meski memenangi pemilihan umum secara telak, kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kerap tak didukung mayoritas anggota DPR. Fraksi Demokrat, yang hanya menguasai 145 kursi, sering keok oleh fraksi lain yang menguasai 404 kursi parlemen.
Dengan pemilu serentak, partai yang memiliki kesamaan visi dan misi pun bisa terdorong berkoalisi sejak awal. Meski tetap akan menjual visi-misi partainya, partai serumpun itu bisa lebih kompak mengusung satu calon presiden. Menurut ahli hukum tata negara Refly Harun, koalisi yang dibentuk di tahap awal seperti itu akan lebih strategis dan ideologis. Tidak seperti koalisi saat ini, yang dia anggap hanya bersifat pragmatis. "Nanti partai-partai tidak bisa lagi dagang sapi di antara mereka," kata Refly.
Pemilu serentak juga diharapkan mengurangi jumlah partai secara alamiah. Dengan berkurangnya jumlah partai yang bertarung, jumlah suara pemilih yang hilang pun bisa ditekan. Ramlan punya bukti. Pada Pemilu 2009, tak kurang dari 19 juta suara yang hilang. Soalnya, dari 46 partai peserta pemilu saat itu, 38 partai gagal masuk ke DPR.
Keuntungan paling nyata dari pemilu serentak adalah penghematan biaya. Dalam penyelenggaraan pemilu selama ini, menurut Ramlan, biaya paling banyak dikeluarkan untuk gaji dan honor petugas. Biaya yang juga sangat besar dihabiskan untuk distribusi logistik pemilu, dari kertas suara, kotak suara, sampai pernak-pernik tempat pemungutan suara.
Persoalannya, menurut Ramlan, tinggal kesiapan partai untuk mendemokratisasi dirinya. Dalam pencalonan presiden, misalnya, partai tak bisa memaksakan figur ketua umumnya yang tak populer di masyarakat. Itulah untungnya pemilu serentak.
Edwin Fajerial, Rizki Puspita Sari
Gugatan untuk Serentak
Mahkamah Konstitusi membuat putusan bersejarah dalam sistem pemilihan umum di Indonesia. Berikut ini sejumlah pasal dalam Undang-Undang Pemilihan Presiden yang dianulir beserta argumentasi yang diajukannya.
Dikabulkan
Pasal 3
(4)Hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ditetapkan dengan keputusan KPU.
(5)Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Pasal 12
(1)Partai Politik atau Gabungan Partai Politik dapat mengumumkan bakal calon Presiden dan/atau bakal calon Wakil Presiden dalam kampanye pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD.
(2)Bakal calon Presiden dan/atau bakal calon Wakil Presiden yang diumumkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah mendapatkan persetujuan tertulis dari bakal calon yang bersangkutan.
Pasal 14
(2)Masa pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR.
Pasal 112
Pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan paling lama 3 (tiga) bulan setelah pengumuman hasil pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Ditolak
Pasal 9
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo