Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wajah Riska, putri bungsu pasangan Dayat Sunjaya dan Atin dari Cianjur, Jawa Barat, berubah tegang. Matanya melotot memandangi para tamu asing yang berkunjung ke rumah barunya. Meski sangat menyukai apel, Riska menolak pemberian orang yang tak dikenalnya.
Reaksi Riska, 6 tahun, itu lazim terjadi pada korban penculikan. Itu merupakan efek trauma. Riska adalah salah satu korban yang selamat dari dua bulan penyekapan komplotan Toni Buntung di sebuah kompleks perumahan di Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, akhir September lalu. Selain dia, ada korban-korban lain yang selamat yang juga mengalami trauma.
Menurut S.R.R. Pudjiati Azhar, pengajar pada Bagian Psikologi Perkembangan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, trauma yang muncul akibat tindakan kekerasan—termasuk penculikan—bersifat sangat individualistis. Reaksi yang muncul sangat berbeda antara tingkat usia satu dan yang lain. “Anak yang mudah menyesuaikan diri (easy child) mungkin lebih kuat menghadapi kekerasan ketimbang anak yang rewel (difficult child),” Pudjiati memberi contoh.
Mungkin Riska termasuk anak yang mudah menyesuaikan diri. Namun, menurut Pudjiati, setiap anak di bawah umur yang mengalami penculikan pada dasarnya merasakan tiga hal: terganggunya rasa aman yang semula dimiliki, hilangnya kepercayaan terhadap orang dewasa selain orang tuanya, dan kecemasan terhadap sesuatu atau situasi tertentu.
Bagi anak, rumah dan lingkungannya merupakan tempat teraman. Tapi, begitu dia diambil dari lingkungan itu, tumbuhlah perasaan tak lagi aman di lingkungannya sendiri. Sementara itu, pada usia mereka, tingkat ketergantungan pada orang dewasa sangat tinggi sehingga, ketika orang dewasa yang seharusnya menjadi tempat bergantung itu menculiknya, timbullah rasa tak percaya lagi terhadap mereka. Selain itu, perlakuan dan keadaan yang dialami anak sewaktu diculik akan menjadi kenangan tak terlupakan.
Menurut Pudjiati, kecemasan yang muncul karena pengalaman itulah yang paling dapat terlihat. Misalnya, jika saat diculik anak disekap dalam kamar tertutup, dapat berakibat anak itu takut berada dalam kamar seorang diri atau takut pada gelap. “Kecemasan yang berlebihan itu dapat berkembang menjadi fobia,” psikolog pada Lembaga Psikologi Terapan UI itu menambahkan.
Pudjiati mengaku pernah menangani korban penculikan ketika pecah konflik antarpenduduk di Poso, Sulawesi Tengah, pada tahun 2000. Seorang anak perempuan berusia 13 tahun yang diculik bersama orang tua dan saudaranya mengalami trauma. Sebabnya, anak itu mendapat tekanan berat. Rumah dan harta keluarganya habis dibakar, hidup berpindah-pindah, dan setiap hari hanya makan pisang mentah. “Ternyata pengalaman itu sangat membekas sehingga, ketika situasi pulih, anak ini masih trauma jika melihat pisang, bahkan mendengar katanya saja,” Pudjiati bercerita.
Menurut Pudjiati, dalam menangani anak-anak yang mengalami trauma, penting menciptakan rasa aman dan menumbuhkan kepercayaan anak terhadap lingkungannya.
Untuk menciptakan rasa aman dan kepercayaan itu, para ahli menggunakan teknik bermain. Teknik ini dipakai untuk menangani anak-anak balita atau usia sekolah yang memang tidak mudah menunjukkan perasaannya melalui kata-kata. Bermain merupakan sebuah keterampilan yang dimiliki semua manusia secara alamiah.
Teknik bermain dapat dipakai untuk mengungkapkan perasaan anak. Pada anak yang terus-menerus menangis, misalnya, Pudjiati memakai boneka. “Anak diajak bersama membujuk boneka itu agar berhenti menangis,” Pudjiati menjelaskan.
Cara lain adalah dengan media. Menggambar, misalnya. Anak-anak biasanya menyukai aktivitas menggambar. Juga melalui cerita atau dongeng.
Menurut Pudjiati, tak ada rentang waktu pasti berapa lama seorang anak dapat dipulihkan. “Yang menjadi pegangan kita adalah terjadinya perubahan-perubahan,” katanya. Misalnya, setelah diculik, anak menjadi gagap, suka ngompol, atau mengisap jempol. Tanda bahwa anak itu sudah merasa aman adalah jika kebiasaan mengisap jempol atau ngompolnya hilang.
Setelah berhasil menumbuhkan rasa aman, anak harus belajar percaya pada orang lain. Anak harus dapat membedakan orang-orang yang menjadi tempat bergantungnya 100 persen—misalnya orang tua atau keluarga inti—dengan orang lain.
Dalam penanganan anak korban penculikan, Pudjiati menekankan pentingnya peran aktif keluarga, selain bantuan tenaga ahli. “Keluarga dituntut kesabaran lebih dan toleransi terhadap efek-efek negatif yang muncul dari peristiwa itu,” ujarnya. Penanganan harus dilakukan sedini mungkin karena, jika tak ditangani, anak dapat terganggu jiwanya dan tak dapat berkomunikasi dengan lingkungan.
Namun, Pudjiati menambahkan, masyarakat masih belum banyak yang menyadari perlunya penanganan psikologis seperti ini. “Masih banyak yang menganggap psikologi sebagai penanganan bagi orang gila,” tuturnya.
Dody Hidayat, Upiek Supriyatun (Cianjur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo