Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah desa bernama Michelwinnaden, Provinsi Swabia, Jerman, 2002. Dua orang kakek, Richard, 78 tahun, dan Eduard, 77 tahun, bernostalgia, menapak tilas perjalanan "berbahaya" mereka ke Swiss pada 1942.
Saat itu Hitler berkuasa. Tahun 1936 didirikan Reichszzentrale zur Bekamfung der Homosexualitat und Abtreibung, sebuah badan yang mengeluarkan daftar nama yang dicurigai gay dan lesbi. Homoseksualitas dianggap tindakan kriminal. Nazi menganggap gay penghalang bagi terwujudnya cita-cita ras Jerman unggul. Karena merekalah tingkat kelahiran menurun.
Richard dan Eduard saat itu adalah pasangan homo muda. Mereka mengenang bagaimana Gestapo mencokok banyak orang di bar-bar homo. Sejarawan memang mencatat, pada 1937-1940 saja lebih dari 90 ribu orang masuk daftar dan sekitar 50 ribu orang dimasukkan ke kamp konsentrasi. "Di sana mereka banyak yang dikastrasi," kata Richard. Itulah sebabnya mereka baru berani muncul lagi pada umur 51 tahun. Di tengah ketakutan, diam-diam mereka berkunjung ke Zurich. Saat itu Swiss adalah satu-satunya negara di Eropa yang mengakui gay. Berbagai homo dari belahan Eropa akhirnya berkumpul membentuk organisasi "Lingkaran Zurich 1942". "Saya ingat kami berdansa bersama, ada fashion, seorang mengenakan mantel bulu, lalu telanjang ."
Itulah bagian dari film Talk Straight: The World of Rural Queers, karya sutradara Jochen Hick, pemenang pertama kategori film dokumenter Teddy Award 2003, sebuah sesi kompetisi khusus untuk film gay/lesbian dalam festival film Berlin. Film ini diputar di Festival Q yang berlangsung di Jakarta, hingga pekan lalu. "Untuk pemenang kategori film nondokumenter Teddy Award, Thousand Peace of Clouds Encircling the Sky, Love, You Are Never Stopped Being Love, karya sutradara Julian Hernandez dari Meksiko," kata John Badalu, Direktur Q Film Festival yang juga menjadi juri Teddy Award 2003.
Judul film Hernandez yang panjang itu diambil dari kalimat Pierre Paolo Passolini. Passolini, kita tahu, adalah sutradara Italia, seorang gay, penganut Marxis yang terpengaruh Antonio Gramsci. Dan film-filmnya terkenal kontroversial, karena mengetengahkan seksualitas dari berbagai segi "liar". Salo, misalnya, diadaptasi dari novel Marquis de Sade, 120 Days of Sodommeski ia juga membuat film tentang Kristus. Pada 1975, Passolini tewas secara brutal, dicincang-cincang. Spekulasi mengatakan ia dihabisi oleh seorang pelacur pria.
Festival Qkepanjangannya Queerselama seminggu di Jakarta menyajikan 53 film, terdiri dari film biasa, film pendek dan dokumenter, pameran fotografi, dan seni rupa. Sebuah peristiwa cukup besar. Tahun lalu, ketika dimulai, hanya diputar beberapa film. Queerterjemahan dari eksentrik, anehsebuah gejala yang paling buntut dari konsekuensi demokrasi. Sebuah perayaan sikap kaum gay, lesbi, biseksual, transeksual, bahwa desire begitu kompleks, dan dimensi kemanusiaan plus estetikanya tidak cukup terekspresi dalam horizon heteroseksual.
Tentu saja, Festival Q Jakarta tidak seradikal Festival Queer di Barat yang sering penuh parade itu. Masih terkesan hati-hati, minim poster, iklan di jalanan, dan pada publik luas tidak ada penonjolan bahwa inilah sesungguhnya acara estetika gede-gedean bertajuk gay dan lesbi. "Terus terang, saya tidak berani menampilkan blak-blakan pada poster kata gay dan lesbi, karena riskan," tutur Badalu. Tahun lalu ia sempat mendapat ancaman dari sebuah organisasi keagamaan. "Saya mendapat telepon akan dibunuh," tambahnya. Toh, tanpa publikasi yang luas itu, festival ini cukup menyedot penonton.
Berlangsung di delapan tempat di Jakarta, Festival Q bahkan sukses menghadirkan beberapa sutradara dan produser film gay asal Kanada, Inggris, dan Jepang. Paul Lee, doktor filsafat, sutradara film gay asal Kanada keturunan Hong Kong yang memiliki nama besar di dunia perfilman gay karena perannya membidani tumbuhnya festival film jenis ini di berbagai negara, hadir. Paul memuji festival di Jakarta ini terorganisasi dengan bagus. Menurut dia, sekarang festival film gay/lesbi telah berlangsung di 32 negara. Festival film gay terbesar di dunia adalah di San Francisco, yang berlangsung sejak 1976. Berlin di urutan kedua.
Di Asia, festival film gay pertama berlangsung di Tokyo diselenggarakan semenjak 13 tahun lalu. Setelah itu Hong Kong, Korea, dan Bangkok. "Tahun ini saya membantu memunculkan pertama kalinya festival film gay di Kazakhstan dan Uzbekistan," kata Paul Lee. Ia menceritakan betapa sulitnya dan berisikonya di sana membuat kegiatan ini. Materi DVD harus dibawa sendiri. Sebab, bila melalui kurir atau dikirim via pos, takut disortir. Pertemuan dengan aktivis gay dilaksanakan "secara sembunyi-sembunyi" di taman dan lobi-lobi hotel. Alhasil, Indonesia jauh lebih liberal dalam hal ini.
Tamu lain yang datang adalah Tom Abell, pendiri Peccadillo Pictures, distributor dan produser khusus film gay/lesbi asal London. Menurut Abell, juga di Inggris, mulanya film gay dan lesbi tak populer. Film gay hanya eksis di festival terus dan kemudian menghilang. Menyadari ini, ia kemudian mendirikan perusahaan distributor khusus sirkulasi film gay/lesbi. "Pada 1987, BBC memproduksi Two of Us. Ini film pendidikan untuk anak-anak yang menerangkan apa itu gay/lesbi," ujarnya. Film ini mulanya direncanakan untuk televisi tapi kemudian tak jadi ditayangkan. Abell lalu mendistribusikan kepada guru-guru sekolah. Inilah pertama kali film gay disebarluaskan ke umum. Sekarang, menurut Abell, produser/distributor film gay bermunculan, membuat film gay bisa diterima lebih luas sebagai kewajaran.
Ada 53 film yang diputar di Festival Q Jakarta ini, semuanya diperoleh panitia secara gratis. Biasanya, dalam suatu festival film gay, untuk pemutaran penyelenggara diharuskan membayar screening fee kepada para sutradaranya. Karena rata-rata sutradara (luar negeri) bersimpati pada Festival Q Jakarta ini, beruntunglah panitia tak perlu keluar biaya untuk penayangannya. Tema-tema yang disajikan 53 film ini bervariasi: mulai dari tema keterkucilan sampai seluk-beluk problema percintaan gay dan biseksual. Namun kurasi panitia terasa agak longgar. Kuldesak, misalnya, jelas tidak tergolong film gay, toh ikut ditayangkan.
"Pervola juga menurut saya bukan film tentang gay," komentar Rayya Makarim, penulis naskah film. Film karya sutradara Belanda Orlow Seunke ini bercerita tentang kakak beradik Simon dan Hein yang melakukan perjalanan di tengah salju lebat buat menguburkan bapaknya. Di tengah perjalanan sang kakak menyadari adiknya seorang homo. Rayya sendiri kini tengah bekerja sama dengan Orlow Seunke. Ia membuat skenario film layar lebar berjudul Frenchman Vienyard yang akan disutradarai Orlow.
Rata-rata film yang ditampilkan di festival ini dari sutradara gay sendiri. Savage Night (La Nuit Fauvages), film bagus dari Prancis, diangkat dari kisah nyata biseksualitas novelis Cyril Corald. Ia mengidap HIV. Ia menyutradarai dan memerankan Jean yang tak lain personifikasi dirinya sendiri. Film ini melukiskan bagaimana Jean bertualang dalam dunia underground gay di Parisdan pada saat bersamaan berpacaran dengan seorang wanita 17 tahun bernama Laura. Dan yang mengharukan, cinta Laura terhadap Jean. Meski mengetahui Jean mengidap HIV, ia tetap mau berhubungan seks tanpa kondom. Cyril sendiri meninggal empat hari sebelum filmnya meraih penghargaan film terbaik Cezar Price 1994 di Prancis. Romane Bohringer, yang memerankan Laura, diganjar aktris terbaik di Cezar Price.
Pada titik ini timbul pertanyaan menggelitik: apakah kedalaman film yang bertema lesbi dan gay memang hanya bisa ditampilkan oleh sutradara yang juga gay dan lesbi? Bukankah banyak film yang menyinggung tema gay atau lesbi tapi tidak disutradrai sutradara gay dan lesbi, namun sangat menyentuhseperti Philadelphia, film besutan Jonathan Demme yang menampilkan Tom Hanks sebagai lawyer gay yang mengidap AIDS? Atau Fire, film garapan Deepa Mehta yang pemutarannya di bioskop-bioskop di India diprotes secara vandalis oleh aktivis perempuan partai kanan Shiv Sena karena dianggap menodai Hindu, atau Hours karya sutradara Stephen Daldry? Persoalannya, adakah film seperti ini di mata para gay atau lesbi sendiri juga cukup merepresentasikan persoalan mereka.
Di sini pandangan bisa berbeda. Imaizumi Koichi, seorang sutradara gay Jepang yang dalam Festival Q Jakarta ini hadir untuk pemutaran filmnya Naughty Boys, beranggapan lain. Koichi sebelumnya adalah aktor lebih dari 100 film porno gay di Jepangyang disebut industri film pink (merah jambu, warna simbol kaum gay) tapi kemudian terjun ke area penyutradaraan. "Saya membuat film karena rata-rata film tentang gay yang dibuat oleh sutradara bukan gay tidak dimengerti oleh orang-orang gay sendiri," katanya. Mereka khawatir, sutradara non-gay akan jatuh pada stereotipe umum.
Contoh kecil pendapat seperti inimisalnya juga terjadi di dunia sastra Indonesia. Belakangan banyak muncul novel yang mengangkat tema gay atau lesbi. Supernova karangan Dewi Lestari yang terkenal itu, misalnya, menyinggung persahabatan dua orang homo. Bagi banyak gay, pertemanan homo yang dilukiskan Dee sangat berbeda dengan kenyataan perkawanan gay. Juga novel Garis Tepi Seorang Lesbian, karya Herlinatiens, pengarang dari Yogya. Novel setebal 324 halaman yang diberi kata pengantar oleh antropolog Belanda Dr. Saskia Wieringa ini justru dianggap mendiskreditkan lesbi. Sebuah resensi anonim di www.budaya-q.com, sebuah situs tentang budaya gay dan lesbi, mengatakan novel ini bertaburan istilah seperti butch, femme, belok, yang oleh pengarangnya mungkin dianggap sangat informatif bagi pembaca, padahal bagi kalangan lesbian sendiri dianggap basi.
Rata-rata film yang disutradarai gay atau lesbi menampilkan adegan sanggama. Itu yang mungkin mem-bedakan dengan film bertema homo/lesbi garapan sutradara non-Philadelphia, Fire, atau Hours di atas, yang memang steril terhadap adegan tubuh. Pada film-film yang bagus (lihat resensi film-film pilihan TEMPO) memang itu memberikan renungan problematik tentang discovery of the self yang berbeda dengan kalangan hetero. Toh, Rayya Makarim tetap tidak tidak setuju bahwa sutradara non-gay/lesbi dianggap tak bisa mengangkat secara mendalam tema-tema gay dan lesbi. "Itu tergantung risetnya. Untuk membuat film tentang pembunuhan kan tak harus menjadi pembunuh," kias Rayya.
Ia mencontohkan Wong Kar Wai. Sutradara asal Hong Kong ini bukan homo tapi filmnya secara bagus mampu menampilkan suasana bernuansa gay. Dalam festival ini film Kar Wai yang diputar adalah Happy Together. "Semua film Wong Kar Wai menampilkan cinta yang menggantung, nggak ketemu-ketemu, seperti banyak yang dialami para gay," kata Badalu. Contoh kecil juga dalam pameran seni rupa Agung Kurniawan bertajuk Sex, Lies and Drawing dalam festival ini. Agung Kurniawan, perupa Yogya, bukan gay, tapi karya yang sesungguhnya bertemakan kekuasaan itu bagi beberapa penonton gay dianggap sangat mendesirkan nuansa homoerotik (lihat: Dari Santo Sebastian sampai Pieta).
Persoalan di atas belum lagi menjawab pandangan yang mempertanyakan mengapa kebanyakan sutradara gay/lesbi mengusung tema identitas. Seolah identitas menjadi suatu yang bersifat "politik". Dapatkah muncul film dengan tema non-identitas tapi tetap bisa menghasilkan perspektif yang khas gay atau lesbi? Ambivalensi seperti itu agaknya juga yang membayangi pameran tiga fotografer gay dan lesbi bertajuk Roman Homo(gen) dalam festival ini. Selama ini mereka belum pernah pameran. Dan tiba-tiba muncul dengan label fotografer gay dan lesbi. Seolah-olah diutamakan lebih dahulu perbedaan orientasi seksual mereka daripada kualitas karya.
Di Barat kaum gay telah mendapat tempat. Di London, misalnya, gay telah menjadi anggota parlemen. Di Kanada, seperti kata Paul, pemerintah memperbolehkan saluran televisi gay. The Wall Street Journal pernah melakukan penelitian dengan hasil mengejutkan. Dibandingkan dengan umumnya penduduk AS, pendapatan rata-rata, tingkat pendidikan, persentase liburan ke luar negeri kaum gay tiga kali lebih besar Teori-teori mutakhir dalam ilmu sosial bukan lagi menempatkan gay sebagai minoritas. Sosiolog Eve Sedgwick, dalam buku terkenalnya, The Epistemology of the Closet, menegaskan bahwa homoseksualitas adalah pasangan yang tak terelakkan dari heteroseksual. Sejarah peradaban dibentuk antara pemikiran kaum homo dan hetero yang saling melengkapi. Banyak pemikir atau seniman besar memang datang dari kalangan gay, misalnya Oscar Wilde atau komponis Tchaikovsky. John Maynard Keynes, yang buah pikirannya dipraktekkan kapitalismetidak hanya di Amerika tapi juga hidup sehari-hari kita di Indonesiajuga adalah gay.
Toh di tengah segala bentuk pengakuan eksistensi itu, Talk Straight di atas, yang notabene dibuat tahun 2000-an, masih menyajikan adanya fakta homofobia pada kaum gay di Eropa. "Itu membuat kami syok. Itulah sebabnya kami memenangkan film itu," kata Badalu. Menurut Badalu, memang di balik segala pengakuan eksistensi itu, selalu terdapat kesunyian. Banyak, misalnya, menurut dia, kaum homo tak suka dengan Mardi Grass karena terlalu menampilkan sosok hura-hura. Itulah mungkin sebabnya, meski telah mendapat tempat normal (terutama di Barat) rata-rata film gay tetap saja berbicara tentang depresi dan sering tak menampilkan happy ending. Definisi queer sendiri, menurut David M. Halperin, pengarang buku One Hundred Years of Homosexuality (ia menyebut Foucault sebagai seorang santo dalam Saint Foucault, Toward a Gay Hagiography) kadang menenggelamkan persoalan dan esensi homo dan lesbi.
"Kenapa kamu tidak mencari laki-laki normal, tinggalkan laki-laki queer itu," bentak ibu Laura kepada Laura dalam film Savage Night. Tapi sontak Laura meradang, "Mengapa Mama menyebut queer? Itu sebutan yang menghina," katanya. Ini menunjukkan bahwa istilah queer sendiri juga problematik.
Apa pun alasannya, festival ini sendiri dapat dibaca sebagai gejala tumbuhnya generasi baru gay. Menurut Badalu, satu perbedaan antara gay generasinya dan generasi Dede Oetomo: gay sekarang lebih terbuka dengan informasi. Pada zaman Dede, para gay baru berani "menyatakan diri" pada umur 30-an atau 40-an, tapi kini bahkan ada yang telah mulai saat SMU. Festival ini direncanakan rutin. Boleh jadi, pada tahun-tahun depan festival ini malah justru "ramai". Seperti kita tahu, Rancangan Undang-Undang KUHP yang akan diajukan ke DPR itu penuh "polisi moral" terhadap wilayah privat, termasuk wilayah privat gay atau lesbi. "Di sini tahapnya memang masih dalam perjuangan," kata John Badalu, sebuah pernyataan yang relevan.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo