Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Kisah Keluarga Penculik

Toni Buntung dan dua anaknya sudah sering keluar-masuk penjara. Ide menculik muncul setelah menonton televisi.

5 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA kartu tanda penduduk yang dipegangnya, tertera nama Tono Andriyanto. Ia lahir di Jakarta pada 16 Juli 1956. Tapi lelaki keturunan Tionghoa ini biasa dipanggil Toni. Mula-mula dijuluki Toni Ompong karena giginya rampal, belakangan sebutannya menjadi Toni Buntung, setelah kedua tangannya perotol. Tangan kanannya buntung hingga pergelangan dan jari tangan kirinya sudah tak utuh lagi karena terbabat senjata tajam saat berkelahi.

Kendati cacat, ia amat disegani oleh istri, dua anak, dan seorang menantunya. Di bawah komando si Buntung, dalam enam bulan terakhir, mereka melakukan serangkaian kejahatan yang menggegerkan: menculik bocah-bocah dari keluarga yang tidak kaya. Daerah operasinya amat luas, dari Jakarta, Jawa Barat, sampai Jawa Tengah. Tak kurang dari 10 anak telah menjadi korban dan dua di antaranya dibunuh. Ada pula yang diperkosa sebelum dibunuh atau dilepas.

Keluarga Toni Buntung bak kawanan penjahat yang kompak. Istrinya, Maryati alias Tan Mon Lai, dan menantunya, Imas, bertugas ”mengasuh” korban dalam penyekapan. Dua anaknya, Jefri Saputra (suami Imas) dan Deny Saputra, kebagian tugas mengincar dan ”memetik” korban.

Mereka memang tak asing dalam dunia bromocorah. Toni dua kali mendekam di penjara lantaran perkelahian dan perampokan. Sedangkan kedua anaknya adalah alap-alap kendaraan bermotor yang sering masuk bui.

Perkenalan Toni Buntung dengan dunia hitam dimulai sejak muda. Ia anak keempat dari enam bersaudara. Saat usianya menginjak 10 tahun, ayahnya, yang sehari-hari berjualan mi, meninggal dunia. Empat tahun kemudian, ibunya menikah lagi. Perubahan ini membuat Toni tak betah di rumah. Setiap hari ia lebih suka tidur di Terminal Lapangan Banteng atau Monumen Nasional. Sekolahnya di Sekolah Teknik Menengah Kebon Jeruk, Jakarta Barat, hanya dijalaninya sampai kelas dua. ”Saat itu saya mulai minum minuman keras dan mencuri,” katanya.

Kehidupan jalanan yang dilakoni mengasahnya untuk survive. Tak jarang ia harus berkelahi agar bisa makan. Kebiasaan adu jotos itu membuat gigi depannya bersih disikat pukulan lawan. Dan sejak saat itu, Tono Andriyanto menyandang nama Toni Ompong.

Perkelahian jua yang menyebabkan ia berkenalan dengan penjara. Pada 1978, ia berkelahi memperebutkan wilayah kekuasaan. Sebuah tusukan senjata tajam yang mengarah ke perut lawan membuatnya mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta, selama 8 bulan. Setelah ”lulus” dari Cipinang, Toni Ompong kembali bergelut di dunia yang keras. Ia mengaku punya pengaruh di kalangan preman Glodok dan Kemayoran, Jakarta.

Jalan hidup yang ditempuh Toni tak banyak berubah setelah dia menikahi Maryati, janda dengan dua anak, pada 1979. Untuk menghidupi keluarganya, ia masih mengandalkan uang yang diperoleh dari jalanan. ”Sebenarnya saya tidak punya anak buah. Mungkin mereka hanya takut dan setor ke saya,” tuturnya kepada TEMPO.

Dua tahun kemudian, lahir Jefri Saputra. Munculnya si mungil mengusik hatinya. Ia berjanji membersihkan tangannya yang kerap berlumuran darah. Sumpah itu dituangkan dalam bentuk tato di paha kirinya, berbunyi, ”Demi Anakku Jefri, Aku Kembali ke Jalan yang Benar.”

Selang beberapa tahun, lahir anak keduanya, Deny Saputra. Karena kebutuhan keluarganya semakin besar, Toni lupa pada janjinya. Ia pun menekuni profesi lamanya. Puncaknya, bersama tiga kawannya ia melakukan perampokan di Jakarta. Akhirnya, Toni tertangkap dan dihukum 3 tahun penjara.

Keluar dari penjara Sukamiskin, Jawa Barat, pada 1984, ulah Toni justru menjadi-jadi. Ia juga pernah terlibat perkelahian di jalanan yang membuat kedua tangannya buntung. Perut dan dadanya pun penuh bekas luka sabetan senjata tajam. Sejak saat itulah dia dijuluki Toni Buntung.

Karena tangannya tidak bisa lagi memegang senjata tajam, ia banting setir menjadi tukang tipu dengan melibatkan anak dan istrinya. Mereka pura-pura hendak pelesir dengan menyewa mobil dari tempat penyewaan. ”Di tengah perjalanan, sopirnya kami kasih kopi yang sudah dicampur bubuk kecubung. Setelah sopir tertidur, kami ambil mobil dan surat-suratnya,” ungkap Toni bangga.

Modus lainnya, ia mendatangi tempat penyewaan mobil dengan membawa KTP palsu. Begitu mobil di tangan, langsung dijual. ”Saya sudah tidak ingat dijual ke mana karena yang menjual biasanya Jefri,” katanya.

Merasa ruang gerak menipu dan mencuri mobil mulai sempit, keluarga Toni Buntung lantas berdiskusi. ”Dari ngobrol sama Jefri dan Deny, saya usul untuk menculik anak. Saya hanya mencontoh seperti yang diberitakan di televisi,” ucap Toni. Ia memang gemar menonton televisi, terutama acara kriminalitas. Akhirnya mereka sepakat mengubah profesi menjadi penculik anak.

Komando operasional dipegang langsung oleh Toni. Jefri dan Deny bertugas sebagai pemetik. Sedangkan Maryati dan Imas bertanggung jawab terhadap makanan si bocah yang diculik. Bahkan sering Imas juga ikut membantu memetik korban.

Korban pertama keluarga penculik ini adalah Putri Nabila, 23 bulan. Nabila dibawa kabur Deny, yang juga teman kerja Sari, ibu korban, di Glodok. Korban ditemukan meninggal pada 8 Maret lalu. Sukses menculik Nabila membuat mereka ketagihan. Serangkaian penculikan pun dilakukan sampai akhirnya komplotan ini ditangkap polisi akhir September lalu.

Hampir semua keluarga korban didekati dulu sampai cukup akrab sebelum anaknya diculik. Bahkan, dalam kasus penculikan Widya Wirada Andini, 4 tahun 6 bulan, di Bogor, Deny sudah mengenal ayah korban. Sang ayah, Rahmad Nizar, adalah petugas Lembaga Pemasyarakatan Paledang, Bogor. Deny pernah dipenjarakan di sana karena mencuri kendaraan bermotor.

Yang penting, menurut Toni, keluarga korban harus bisa dihubungi setelah anaknya diculik. Mereka malah menghindari anak orang kaya. Alasannya, kalau menculik anak orang kaya, dibutuhkan modal besar. ”Kita harus bergaul dulu sama mereka. La, dari mana saya punya uang? Apalagi biasanya anak orang kaya selalu dikawal,” kata Toni beralasan.

Selama melakukan operasi, mereka berpindah-pindah kontrakan. Ketika menculik seorang korban bernama Dwi (yang akhirnya dibunuh), mereka sempat mengontrak rumah di daerah Pondok Gede, Jakarta Timur, selama dua bulan. Toni dan keluarganya mengambil dua rumah sederhana. Satu rumah ditempati Toni, Maryati, dan Deny. Satunya lagi ditempati Jefri dan Imas beserta anak mereka yang berusia dua tahun.

Rumah kontrakan yang terletak di gang sempit itu punya 10 pintu berderet-deret, dipisahkan lorong selebar satu meter. Lorong itu ditutupi asbes agar air tak bertempias kala hujan. Menurut tetangganya, Toni dan keluarganya datang ke kompleks rumah petak itu pada tengah malam dan langsung setuju mengontrak.

Imas dan Maryati sering bertegur sapa dengan tetangga mereka. Sedangkan Toni—yang mengaku sebagai kuli angkut di Pasar Kramat Jati—dan kedua anaknya sering terlihat nongkrong di jembatan dekat rumah. Di perkampungan inilah akhirnya mereka menjebak Dwi, anak sebuah keluarga yang pas-pasan.

Hanya, kelihaian Toni dan anak-istrinya tak berlangsung lama. Setelah ditangkap polisi Cilacap akhir September lalu, petualangan mereka berakhir. Bahkan Jefri tewas setelah ditembak polisi karena akan melarikan diri.

Benarkah keterlibatan Toni di dunia kelam karena tak bahagia saat kecil? Itu dibantah oleh kakak iparnya, Nyonya Tinus, yang tinggal di Sokaraja, Banyumas. ”Ah, enggak juga. Nyatanya, kami baik-baik saja. Itu masalah Toni sendiri,” ucapnya. Ia mengaku, sejak delapan tahun lalu tak pernah berhubungan lagi dengan Toni dan keluarganya.

Menurut Anton Medan, seorang bekas preman, Toni juga tidak ada apa-apanya di belantika ”perpremanan” Jakarta. Ia hanya seorang preman kecil. Anton juga tak mengenal Toni meskipun Toni mengaku kenal dengan Anton Medan dan Johny Indo. ”Saya tak kenal dia. Mungkin kasusnya enggak besar,” katanya. Ia menambahkan, ”Kalau yang berkuasa di Glodok dulu memang ada yang namanya Ompong, tapi sudah meninggal.”

Bagi Anton, Toni Buntung sudah amat keterlaluan. Bukan sekadar tega menculik dan menghabisi anak-anak, Toni juga tega menjebloskan keluarganya sendiri. Sebejat-bejat penjahat, kata Anton, biasanya ogah menjerumuskan istri dan anaknya ke dunia hitam.

Agus S. Riyanto, Syaiful Amin, Ari Adji (Cilacap)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus