Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi Jurnalis Independen Jakarta atau AJI Jakarta bersama Lembaga Bantuan Hukum Pers mengatakan draf revisi Undang-Undang atau revisi UU Penyiaran akan membawa masa depan jurnalisme di Indonesia menuju masa kegelapan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ketua AJI Jakarta, Afwan Purwanto, mengatakan salah satu hal krusial dalam revisi undang-undang ini ialah Standar Isi Siaran (SIS) yang memuat batasan, larangan, dan kewajiban bagi penyelenggara penyiaran, serta kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang tumpang tindih dengan Dewan Pers.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Berdasarkan draf tertanggal 27 Maret 2024, RUU membatasi kerja-kerja jurnalistik maupun kebebasan berekspresi secara umum. Afwan menyebut negara kembali berniat untuk melakukan kendali berlebih (overcontrolling) terhadap ruang gerak warga negaranya.
“Hal ini tentu tak hanya berdampak pada pelanggaran terhadap hak atas kemerdekaan pers, tetapi juga pelanggaran hak publik atas informasi,” kata Afwan lewat keterangan tertulis yang diterima Tempo, Rabu, 15 Mei 2024.
Ketua LBH Pers Ade Wahyudin membeberkan pasal-pasal yang berpotensi melanggar hak kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi. Pertama, Pasal 50B ayat (2). Pasal ini memuat larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi; larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual dan transgender; larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan dan pencemaran nama baik.
Kemudian, Pasal 8A huruf q. Pasal ini akan memberikan kewenangan kepada KPI untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang Penyiaran. Adapun Pasal 42 mengatur muatan jurnalistik dan penyelesaian sengketa jurnalisik penyiaran dilakukan oleh KPI.
Ade mengatakan larangan terhadap penayangan eksklusif jurnalistik merupakan bentuk keengganan pemerintah membenahi penyelenggaraan negara. “Alih-alih memanfaatkan produk jurnalistik investigasi eksklusif sebagai sarana check and balances bagi berlangsungnya kehidupan bernegara, pemerintah justru memilih untuk menutup kanal informasi tersebut,” ujar Ade.
Di samping itu, Ade mengatakan larangan terhadap penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual dan transgender, merupakan wujud diskriminasi terhadap kelompok LGBTQ+. Larangan ini semakin mempersempit ruang berekspresi dan melanggengkan budaya non-inklusif dalam kerja-kerja jurnalistik.
LBH Pers dan AJI Jakarta juga menilai pemerintah berusaha mereduksi independensi Dewan Pers dan fungsi UU Pers. Ade menuturkan Pasal 8A huruf q juncto 42 ayat (1) dan (2) pada draf revisi UU Penyiaran menimbulkan tumpang tindih antara kewenangan KPI dengan kewenangan Dewan Pers. Pasal tersebut juga menghapus Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers sebagai rujukan dalam menilai siaran-siaran produk jurnalistik, mengalihkan penilaian menggunakan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan SIS.
“Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum pada mekanisme penyelesaian sengketa pers,” kata Ade.
LBH Pers dan AJI Jakarta mendesak Presiden Jokowi dan DPR RI untuk meninjau ulang urgensi revisi UU Penyiaran. Mereka juga meminta DPR RI menghapus pasal-pasal problematik yang berpotensi melanggar hak kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi.
“AJI Jakarta dan LBH Pers mendesak DPR RI dan pemerintah melibatkan Dewan Pers dan kelompok masyarakat sipil yang memiliki perhatian khusus terhadap isu-isu yang beririsan,” kata Ade.