Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Anak lewat hula-hula dan ni ompu

10 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIA datang dari keluarga yang taat. Ayahnya, Malim Sinaga, semasa hidupnya adalah imam jemaat Pelebegu (penyembah arwah) -- sebuah kepercayaan animisme pada etnis Batak Toba dulu kala. Kakeknya, Tuan Pardamaran, dikenal sebagai dukun yang kuasa merobohkan batang pisang dengan sinar matanya. Itulah A.B. Sinaga, 46 tahun, yang sekalipun telah memperdalam ilmu kekristenannya ke Roma, Italia (1970-1972), dan Belgia (1972-1975), ia tetap akrab dengan akar kultural nenek moyangnya. Tak heran, dari makalah itu ia muncul sebagai ahli adat. "Tidak sebagai uskup," katanya pada TEMPO. Tak ayal lagi, para peserta panel itu pun kagok sekaligus kagum, tatkala ia merentang jawaban adat Batak Toba dalam mengatasi kasus kemandulan. Pertama, disebutnya ritual Mangalap Tua Ni Hula-hula (memohon doa restu hula-hula). Perangkat ini, katanya, berupa kunjungan pasangan mandul itu ke rumah hula-hula. Di sini sang hula-hula telah menggelar pelbagai perangkat adat. Baik makanan maupun los yang melambangkan kesuburan. Seremoni diawali menantu pria yang dengan khidmat memohon maaf jika pernah alpa dan melakukan kesalahan pada masa lalu. Seraya memohon kiranya mereka diberkati agar kelak bisa menimang-nimang turunan penerus marga. Bak gayung bersambut, kedua mertuanya mengambil sehelai ulos dan menyelebungkannya ke bahu menantu dan putri mereka. Layaknya mempersatukan toni (semangat) pasangan itu, doa-doa pemberkatan pun dibacakan. Sebelum makan bersama, sang hula-hula, yang diikuti handai tolan dekat, bergilir menabur beras penguat semangat ke haribaan pasangan yang malang itu. Seraya berseru "horas, horas" (Selamat, selamatlah). Jika ritual ini belum manjur juga, boleh melangkah ke seremoni Mangalap Tua Ni Sahala Ni Ompu (memohon restu roh nenek moyang). Upaya ini dilakukan pada ritual Mangongkal Hoh (menggali belulang nenek moyang untuk dimakamkan pada tempat yang lebih layak). Tapi ini hanya dilakukan terhadap arwah nenek moyang yang memiliki sahala (tuah atau daya) melebihi orang kebanyakan. Ada tiga jenjang arwah nenek moyang yang dipercayai punya berkat. Yaitu, begu, sumangot, dan tertinggi adalah sombaon. Dalam kepercayaan Pelebegu, ketiga derajat arwah ini punya fungsi ganda. Selain sangat dihormati juga bisa menurunkan berkat -- seperti sifat Ilahiat (Allah). Tatkala belulang nenek moyang itu diangkat dari makamnya, istri dan suami mandul itu pun merangkul belulang itu. Ia menyentuh dan mengelusnya dengan daun sirih. Lalu, menembangkan andung (lagu-lagu sendu) dengan maksud bisa menerima curahan daya penguat jiwa. Dengan ritual itu ia berharap, kesuburan bisa merasuk ke dirinya dan suaminya. Tapi ritual ini tak hanya ditujukan untuk mengatasi kasus kemandulan belaka. Juga diperkenankan bagi siapa yang memohon sinur na nipinahan (berbiak ternak) maupun gabe na niula (melimpah hasil tani). Upaya paling puncak adalah ritual Mangabing Debata Idup. Upacara ini dilakukan bila musim paceklik tiba, wabah penyakit menebar, atau beberapa perempuan dirundung mandul. Pemimpin marga pun memutuskan memberi persembahan kepada Silaon Nabolon (dewa kesuburan) di ruma parsantian (rumah persembahan) yang dulu kala dimiliki tiap-tiap marga. Khusus ibu-ibu malang itu, masing-masing menggendong Debata Idup (Allah Hidup) dalam patronase Silaon Nabolon tadi. Bentuknya berupa patung nenek moyang yang dipahat dan diukir sebesar bayi. Kemudian gendang pun dipalu bertalu-talu dan serunai ditiup dengan irama merintih-rintih. Dalam suasana sakral itulah seorang datu (dukun) menerbangkan doa-doa ke langit. Para pemimpin marga dalam perangkat Dalihan Natolu pun menari dengan khusyuk. Saat itulah minyak guri-guri sijionggi dipercikkan dari sebuah botol kecil ke arah vagina para wanita malang itu. Upacara suci ini berlangsung beberapa hari. Pada hari terakhir, raga-raga (altar persembahan) yang tergantung di ruma parsantian itu pun diturunkan. Tiap wanita yang pada hari pertama telah menaruh daun sirih yang sudah ditandai mengambil milik masing-masing dari dalam altar itu. Nah, pada saat itulah peruntungan memberi isyarat. Jika daun sirihnya layu berarti nasib dukanya masih berkepanjangan. Tapi jika masih tetap lembap, pertanda akan meraih keberuntungan di masa depan. Ya anak yang didambakan akan lahir dan rezeki pun tumpah ruah. Tradisi ini masih berlangsung hingga kini. Walaupun langka. Uskup Sinaga bahkan menyaksikan ritual Mangabing Debata Idup itu pada 1978 di Pulau Samosir, Danau Toba. Sikap pastoralnya? "Ya, itulah puncak kekafiran orang Batak Toba," katanya. Tapi ia lebih memilih sikap persuasi dan edukasi. "Katolik berjuang mengagamakannya," katanya. Bersihar Lubis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus