Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Ancan milik siapa ?

Di pesisir brebes, desa pulo gading. muncul daratan baru (reklamasi atau ancan). lurah rahmat sutarjo yang memperjualbelikannya dipecat. kisah reklamasi terjadi di kurao pagang, padang.

28 November 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENDUDUK Desa Pulogading, Brebes, Jawa Tengah, bagai dikarunia berkah kemakmuran. Bagaimana tidak. Pengendapan lumpur laut di pesisir utara pantai desa itu, setelah puluhan tahun, menjelma jadi tanah daratan (reklamasi) seluas 360 hektar. Ternyata, tanah yang disebut penduduk setempat ancan (tanah timbul) itu amat cocok untuk usaha tambak ikan bandeng dan udang windu. Di areal tersebut kini menghampar ratusan hektar tambak dan juga permukiman baru. Ancan juga telah muncul sepanjang jarak antara wilayah pertambakan itu dan batas air laut, kendati masih berwujud setengah rawa berlumpur putih. Bagi penduduk Pulogading, ancan merupakan berkah yang mereka anggap berasal dari sawah nenek moyang mereka yang dulu tenggelam dimakan air laut. Namun, rezeki munculnya tanah daratan baru itu ternyata tak sepenuhnya bisa dinikmati penduduk di desa itu. Pasalnya, tanah reklamasi -- yang diketahui terjadi sejak tahun 1967 -- kebanyakan sudah dijual pak lurahnya pada para pendatang atau orang dari desa lain. "Tak secuil pun saya ikut memiliki tanah timbul itu, apalagi menikmati hasilnya," kata Slamet, 43 tahun, petani setempat yang punya empat orang anak. Padahal, ancan yang sudah jadi tanah dan dibentuk tambak bisa berharga sampai Rp 6 juta per hektarnya. Ancan yang masih berupa rawa pun sejak Juli lalu sudah dikapling dengan patok bambu bercat merah oleh sebuah tim dari Muspida kecamatan. Artinya, rawa yang akan jadi daratan lima tahun lagi itu sudah berpemilik. Setidaknya, sudah ada 80 buah kapling, dengan ukuran 2 hektar per kapling. "Kalau beli kapling, ya, pesan sama Pak Lurah," ujar seorang petambak di Desa Pulogading. Urusan pengaplingan dan jual-beli ancan agaknya bisnis tersendiri buat Lurah Pulogading, Rahmat Sutarjo. Penduduk desa memang semakin kecewa. Bukan hanya lantaran warga setempat tak memperolehnya, tapi ternyata sebagian kapling ancan dihadiahkan ke pejabat di kecamatan dan kabupaten. Sebagian lainnya dijual Pak Lurah -- pada warga desa lain -- dengan harga Rp 1.2 juta per hektar. Hasil penjualannya? "Hanya untuk keperluan pribadi Pak Lurah," kata Slamet, yang berbadan kecil itu. Sebab itu pula segenap warga Pulogading mengadukan lurahnya ke Bupati Brebes. Buntutnya, dua pekan lalu, jabatan Rahmat Sutarjo dicopot. Penggantinya Sersan Mayor Pol Soetrisno. Rahmat Sutarjo, 33 tahun, mengaku hanya sekadar meneruskan tradisi jual-beli tanah timbul sebagaimana yang dilakukan lurah sebelumnya. Lagi pula, minat masyarakat untuk memilikinya begitu besar. "Agar tak terjadi percekcokan di antara mereka, saya tertibkan," kata lelaki yang baru mengemban tugas lurah selama 7 bulan ini, menjelaskan campur tangannya dalam soal pemilikan tanah timbul. "Ee, malah kena getahnya," tutur ayah empat anak itu. Tapi, siapakah sebenarnya yang berhak menjadi pemilik tanah reklamasi seperti di pantai Brebes itu? Bupati Brebes, Syafrul Supardi, menandaskan bahwa tanah itu milik negara. Karena itu, tidak dibenarkan jual-beli, dan untuk kepentingan pribadi. Kejadian yang melibat Lurah Pologading, "Jelas itu penyelewengan," ujarnya. Sikap Bupati pun tegas pada aparat desa yang ketahuan melakukannya. "Bisa dikenai tindakan administratif atau diajukan ke pengadilan," kata Syafrul. Prof. Boedi Harsono, 65 tahun, juga berpendapat bahwa tanah reklamasi seperti itu memang milik negara. Contoh yang sama pernah terjadi di pesisir Semarang dan Cirebon. Pemerintah mengatur tanah reklamasi itu sebagai obyek land reform, untuk kemudian didistribusikan pada petani yang menggarapnya. Dengan begitu, "Penggunaannya'kan mantap dan tertib," ujar guru besar Hukum Agraria FH UI itu. Kisah tanah reklamasi juga pernah populer di Sumatera Barat, sekitar tahun 1981. Ketika itu di tengah Sungai Kuranji, di Kelurahan Kurao Pagang, Kecamatan Nanggalo, sekitar 7 km dari Kota Padang, terbentuk kawasan seluas tiga hektar. Kini kawasan yang berasal dari pengendapan lumpur sungai itu -- kerap dijuluki "Pulau Malvinas" -- telah menjadi permukiman sekaligus tempat berladang. Tak kurang dari 650 buah rumah papan dan pondok menyemaraki kawasan yang sering jadi langganan banjir itu. Luasnya pun terus bertambah setiap tahun. Demikian juga jumlah penduduknya. Rupanya, tak sulit mendapatkan sepetak tanah di situ. Kepemilikan tanah, kabarnya, berpegang pada hukum adat yang disebut Silia Jariah. Yakni, cukup membayar ganti rugi -- bisa dicicil ataupun tunai -- pada penghuni sebelumnya. Hanya dengan uang Rp 300 ribu, sepetak tanah seluas 300 meter bisa segera dimiliki. Hanya saja, pihak kelurahan masih menganggap kawasan itu sebagai permukiman liar. Para pemukimnya, yang tak ber-RT dan RW, juga dikategorikan liar. Tak heran bila pejabat setempat pernah disibukkan urusan penertiban kepemilikan tanah reklamasi itu. Kelanjutannya? Hingga kini, "Status 'Pulau Malvinas' masih dalam tingkat penyelesaian," kata Aristo Munandar, 36 tahun, bekas camat Nanggalo. Laporan A. Ulfi (Jakarta), Heddy Lugito (Yogyakarta), dan Fachrul Rasyid (Padang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus