MENGGUGAT sebuah keputusan pemerintah, rasanya, hampir tak pernah ada selama ini. Tapi inilah yang terjadi, Sabtu pekan lalu, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gabungan Pengusaha Penjual dan Penyewa Video Kaset (Gapalwavi) DKI Jakarta menuntut agar Surat Edaran Direktur Pembinaan Film dan Rekaman Video tanggal 9 September 1987 dibatalkan. Tuntutan yang sama diminta juga terhadap Instruksi Dirjen Radio, Televisi, dan Film (RTF) tanggal 10 April 1986. Gugatan Gapalwavi memang bukan tanpa alasan. Sebab, dengan keputusan pemerintah itu, tak ada lagi kompromi bagi peredaran video berkotak kaset hitam. Sebagai gantinya, video kaset itu harus berwarna sesuai dengan golongannya: warna hijau untuk film semua umur, biru untuk 13 tahun ke atas, merah untuk 17 tahun ke atas. Dengan begitu, kontrol terhadap jenis film bisa dilakukan dengan mudah. "Kalau tidak dikendalikan, tentu akan macam-macam," ucap Dewabrata, Direktur Pembinaan Film dan Rekaman Video. Dan bila video kaset hitam masih kedapatan beredar, begitu bunyi surat edaran, akan disita dan dimusnahkan. Tentu saja ketentuan tersebut membuat para Penjual dan Penyewa Video Kaset (Palwa alias rental) bagai disengat listrik. Menurut M.L. Tobing, 57 tahun, Ketua Umum Gapalwavi Jakarta, ke-276 palwa anggota organisasi ini membeli video kaset hitam secara resmi. Bahkan bertanda tera lulus sensor. Artinya, "Bukan kaset gelap," sambung Tobing, "bagaimana bisa mau dimusnahkan begitu saja." Bagi Tobing, upayanya memperkarakan kebijaksanaan Dirjen RTF dan bawahannya itu sekadar koreksi. "Bagaimanapun, Dirjen 'kan bukan dewa," kata Tobing. Keputusan pemerintah ini tampaknya membuat para pengusaha palwa bingung. Soalnya, sekitar 80% kaset yang mereka jadikan tumpuan usaha berkotak hitam. Malah dalam catatan Gapalwavi Jakarta, setidaknya 6 juta buah video kaset hitam beredar di Nusantara. Setiap anggota organisasi yang terbentuk dua tahun lalu itu rata-rata mengusahakan 2 ribu hingga 5 ribu video kaset hitam, yang dibeli dengan harga sekitar Rp 25 ribu per buah. Kerugian yang diderita para Palwa bukan hanya kehilangan video kaset hitam saja. Juga modal turut amblas. Tobing itu misalnya, yang memiliki 2.000-an kaset, diperkirakan akan rugi Rp 50 juta. Modal itu diperolehnya sebagai kredit KIK/KMKP dari BDN sebesar Rp 24 juta. Dan baru dibayar 60%. Kebijaksanaan pemerintah itu, "mematikan usaha pengecer kecil seperti kami ini," ucap Tobing. Mochtar Pakpahan, kuasa hukum penggugat, berpendapat instruksi Dirjen RTF dan direkturnya itu sangat meresahkan pengusaha video rental. Dia menyatakan, kliennya memiliki surat izin usaha perdagangan yang sah. Dengan instruksi pemusnahan kaset video kotak hitam itu, setiap pengusaha menderita kerugian Rp 40 juta sampai Rp 100 juta. Persoalan itu sebenarnya pernah dibawa Gapalwavi ke DPR RI, pertengahan bulan lalu. "Memang tak adil kalau cuma palwa yang menanggung kerugian, sedangkan penjual semula tidak kena," kata Ben Messakh, anggota FKP DPR. Lalu, Dirjen Subrata waktu itu memenuhi undangan para wakil rakyat itu. Hasilnya, batas waktu beredar diulur, dari tanggal 10 Oktober jadi 31 Oktober -- meskipun tak seragam untuk semua wilayah. Namun, usaha pengunduran itu tak membuat para pemilik rental video itu tenang. Buktinya, di Bandung, 13 ribu lebih kaset berkotak hitam -- yang diambil dari 104 palwa -- dimusnahkan, awal bulan ini. Kendati 107 palwa yang tergabung dalam Koperasi Penjual dan Penyewa Video Kaset (Kopalwavi) Jawa Barat tak banyak protes, toh mereka gundah juga. "Siapa yang nggak sedih lihat barang miliknya dibakar," ujar seorang pemilik palwa yang kena musibah itu. "Eksekusi itu terlalu cepat, kami belum siap." Terlalu cepat? "Pemerintah sudah memberi keleluasaan selama dua setengah tahun," kata Dewabrata, pada Suhardjo Hs. dari TEMPO. Sejak SK Menteri Penerangan akhir tahun 1983 -- yang berlandaskan Keppres No. 13 tahun 1983 -- sudah disebutkan pemutihan video kaset hitam dilakukan dalam waktu 6 bulan setelah SK itu terbit. Tapi baru tahun 1986 keluar instruksi Dirjen RTF. Kemudian diikuti surat edaran dari Dewabrata itu. Bahwa persoalan dibawa ke pengadilan, "Silakan saja," kata Dewabrata, yang menyatakan Gapalwavi tidak di bawah naungan Departemen Penerangan. Subrata malah menganggap gugatan itu -- yang diundurkan sidangnya karena belum ada kuasa tergugat -- hal yang wajar saja. "Setiap produk kebijaksanaan pemerintah 'kan memerlukan penjelasan, bisa di forum khusus, atau lewat pengadilan," kata Subrata, yang kini menjadi Staf Ahli Menteri Penerangan, pada Moebanoe Moera dari TEMPO. Happy Sulistyadi dan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini