ULAMA, umara, dan cendekiawan, 160 orang, Senin ini berkumpul di Bali Room, Hotel Sahid, Jakarta. Juga ada tamu dari Malaysia, 19 orang, Brunei 3 orang, dan Singapura 3 orang. Mereka mengikuti Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) hingga 25 November. Menurut Menteri Agama Munawir Sjadzali, MUI, dalam usianya 12 tahun, sudah menjadi penghubung antara pemerintah dan umat. Peran MUI, juga memberi fatwa (opini hukum), baik diminta maupun tidak oleh pemerintah. MUI disebut "penjamin" bahwa tak akan ada undang-undang dan produk hukum lain yang bertentangan dengan ajaran dan hukum Islam. Ketua Umum MUI, K.H. Hasan Basri, menyebutkan, salah satu capaian MUI yang utama: menyusun konsep pembinaan kader ulama (PKU). Konsep ini telah diajukan ke Presiden Soeharto. "Tanggapan Presiden positif dan akan membantu sepenuhnya." Banyak ulama telah wafat. Mereka orang yang terpilih di zamannya. "Ulama itu memang langka," kata Hasan Basri. Dan itu diakui oleh Ketua Muhammadiyah, K.H. A.R. Fakhruddin, dan Dr. Taufik Abdullah, peneliti dari LIPI. Karena zaman yang sudah berubah itu, tentu tuntutannya juga lain: perlu ulama lebih atau "plus". Untuk PKU itu MUI akan memakai sistem pesantren, yang berspesialisasi ilmu dan pendalaman materi secara ilmiah. Program ini empat semester, dan tiap mata kuliah, mereka harus 16 kali tatap muka. Jadi, MUI akan membuat pesantren model "universitas". Soal kader ulama ini juga dibicarakan NU di Munas dua pekan lalu di Cilacap. NU akan membuka pesantren untuk kader ulama, yang berfungsi sebagai mubalig, pembimbing, dan pemikir. Sedangkan yang dari perguruan tinggi juga layak disebut ulama. "Asal mereka mendalami agama," kata Kiai Achmad Siddiq, pada TEMPO. Satu capaian lain di MUI, selama masa kerjanya telah disusun tata cara pedoman fatwa. Ini dibuat untuk menjelaskan bagaimana MUI menetapkan fatwanya. Prof. Ibrahim Hosen, Ketua Komisi Fatwa dan Hukum MUI, menyebutkan "masalah yang layak MUI" adalah yang beredar luas. Jika bersifat nasional, MUI Pusat yang menetapkan fatwanya. Jika itu tumbuh di daerah, MUI Daerah berhak mempersoalkannya ke MUI Pusat. Misalnya, soal Porkas. Ini layak fatwa. Di Komisi Fatwa dan Agama MUI, soal ini dibicarakan dengan intensif. Untuk itu, ada pedomannya. Pertama, dirujuk ke Quran dan Hadis. Jika tak ada ketentuan hukumnya, lalu dilihat apa ada konsensus ulama terdahulu. Jika di ijma' tak ada, baru ditetapkan fatwanya lewat qiyas -- membandingkan satu kasus dengan kasus lain yang pernah ada. Setelah itu, ditetapkan hukumnya. Jika ada soal baru, misalnya pencangkokan organ tubuh, MUI mengundang para ahli. Di NU, merujuk kitab kuning sudah tradisi. Metodenya tak beda dengan yang dilakukan ulama di MUI. Misalnya ketika Komisi A Munas Alim Ulama NU di Cilacap memutuskan hasil peternakan tak wajib dizakati. Fatwa ini dirujuk dari kitab kuning -- yang berisi pendapat ulama berbagai mazhab, dan bukan dari Syafi'i saja. Lain di Muhammadiyah yang sudah ada Usul Fikih atau Kaedah Tarjih. Menurut K.M. Thahir Badrie dari Majelis Tarjih, fatwa atau opini hukum itu ditetapkan langsung dari Quran dan Hadis. Tak banyak merujuk ke kitab kuning, meski diakui di situ ada peninggalan ulama. Keputusan diambil secara voting. Di NU keputusan ditetapkan melalui sidang perumus. Tak langsung. Begitu pula di MUI. Ahmadie Thaha
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini