PERKEMBANGAN anak, sekarang, lebih mengikuti norma androgini. Anak lelaki menjadi semakin perasa, dan anak perempuan semakin asertif, atau lebih berani mengemukakan pendapat. Gejala pada anak ini menunjukkan, penelitian kerja otak -- yang menyimpulkan bahwa wanita lebih perasa dan pria lebih rasional tidak mempunyai bukti yang konsisten," kata Prof. Dr. Saparinah Sadli. Maka, pada dasarnya, tidak cukup alasan untuk membedakan secara diametral perilaku pria dan wanita. Perbedaan pria dan wanita, ujar guru besar psikologi itu, tidak kodrati. Perbedaan antara keduanya lebih banyak akibat mitos yang diwarnai pandangan stereotip. Menurut premis yang diyakini hampir sepanjang sejarah kebudayaan manusia, perbedaan jenis kelamin membuat pria dan wanita berbeda tota dalam hampir semua hal. Ilmu pengetahuan berusaha membuktikan "keniscayaan" ini sejak sekitar 100 tahun silam. Upaya yang kemudian dikenal bertumpu pada acuan genderisme ini meliputi penelitian dalam bidang biologi, psikologi, biopsikologi, antropologi, dan sosiologi. Tapi, belun satu pun kesimpulan pasti di temukan. Saparinah menilai, selain kondisi fisik dan fungsi reproduksi, perbedaan pria dan wanita malah semakin sulit dipastikan. Beda perilaku dan kemampuan pria dan wanita, misalnya, makin kabur. Hasil penelitian mutakhir menunjukkan bahwa penilaian Saparinah itu ternyata benar. Mingguan Newsweek, bulan lalu menurunkan sebuah laporan panjang perkembangan penelitian genderisme paling akhir. Laporan itu menunjukkan bahwa genderisme mulai memasuki titik balik: premis yang ingin dibuktikan itu justru meragukan. Salah satu sektor penelitian yang mempengaruhi titik balik adalah penelitian perilaku anak-anak seperti diungkapkan Saparinah Sadli. Berubahnya keadaan -- misalnya meningkatnya kesempatan wanita bekerja yang mempengaruhi pola pendidikan anak-anak -- ternyata mencairkan batas-batas perilaku anak pria dan wanita. Berbagai penelitian sebelumnya menemukan adanya perbedaan aktivitas otak pada lelaki dan wanita. Pada umumnya, pria menggunakan belahan otak kanan, dan wanita lebih mengandalkan belahan kiri. Karena prinsip kedua belahan otak berbeda, sejak masa kanak terlihat anak perempuan lebih emosional, dan anak pria lebih rasional. Sejalan dengan prinsip ini, hasil tes menunjukkan bahwa anak wanita umumnya lebih terampil di bidang bahasa dan anak pria unggul di bidang matematika. Kesimpulan itu meragukan. Khususnya, setelah Prof. Dr. Janet Shibley Hyde, dari Universitas Wisconsin, meneliti sejumlah besar hasil tes kemampuan anak-anak dalam bidang bahasa dan matematika. Ia menemukan terdapat perbedaan antara hasil tes anak-anak generasi 1960 an dan generasi 1970-an ke atas. Sejak 1970-an, jumlah anak wanita yang lebih unggul di bidang matematika semakin besar. "Penyebabnya, sejak tahun-tahun itu, orang-tua umumnya mulai melepaskan pandangan stereotip gender," kata Hyde. Sejumlah peneliti lain membenarkan Hyde. Juga diakui terjadi perubahan dalam pola pendidikan anak-anak di banyak keluarga. Meningkatnya jumlah ibu yang kerja di luar rumah membuat makin banyak bapak ikut membesarkan anak. Keadaan ini ternyata punya konsekuensi besar. Judith G. Sementa justru menemukan para ibu yang sering menimbulkan perbedaan gender pada anak-anak. "Mereka biasanya mendidik anak wanita dengan memberi pengertian," kata peneliti dari Universitas Rochester itu. Dan inilah pangkalnya, mengapa anak wanita umumnya lebih altruistis (mengutamakan kepentingan orang lain) dibandingkan dengan anak pria. Meseka luga mempunyai empathy (sambungan rasa) yang peka. Anak pria biasanya dididik ibunya dengan jalan memarahi atau, kalau perlu, dengan memukul. Kyle Pruett, Direktur Pusat Studi Anak-Anak Universitas Yale, menemukan cara mendidik para bapak. "Ternyata bapak tidak terlalu memperhatikan perbedaan gender dalam mendidik. Mereka lebih mendekati anak secara individual," katanya. Mereka membiarkan anak wanita main bola bila si anak menghendakinya. Dan ada juga yang tak melarang anak lelakinya yang iseng mengecat kuku meniru kebiasaan ibu. Bertambahnya peran bapak dan menjadi imbangnya peran ibu dalam mendidik sangat mempengaruhi perilaku anak. Hasilnya, menurut Pruett, anak-anak yang tidak mengenal perbedaan gender mempunyai kesempatan mengembangkan semua kemampuannya. Kapasitas dan penampilan mereka umumnya lebih baik. Namun, perbedaan dan pembedaan pria dan wanita agaknya tidak akan berubah radikal dalam waktu dekat. Akhirnya, sikap liberal di rumah masih harus menghadapi sikap masyarakat. Anak-anak segera mengikuti stereotip gender begitu menjalani sosialisasi. Dalam penelitiannya, Prof. Jerome Kagan, psikolog kenamaan dari Universitas Harvard, menemukan sampai berusia dua tahun, anak pria dan wanita hampir tidak menunjukkan perbedaan perilaku. Anak pria tak lebih agresif dari anak wanita. Namun, dalam usia lima tahun -- ketika anak-anak masuk sekolah hampir otomatis anak wanita menjalankan peran wanita, dan anak pria mulai bersikap agresif. Sikap stereotip gender itu bahkan diperlihatkan anak-anak yang dibesarkan oleh orangtua liberal. Hasil tes menunjukkan bahwa anak-anak pria secara otomatis memperlakukan sebuah potongan kayu sebagai pistol, padahal ayahnya tidak pernah memberikan pistol air kepadanya. Seorang anak wanita yang dites, sebenarnya menghadapi kenyataan bahwa ayahnya lebih sering mengambil tugas dapur daripada ibunya yang bekerja. Namun, ketika ia harus menentukan dalam tes "siapa yang harus memasak di sebuah rumah boneka", anak tadi memilih: boneka ibu. Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini